Thursday 24 February 2011

Wasilah Dihukumi Sesuai Dengan Tujuannya

KAIDAH KEDUA

Wasilah Dihukumi Sesuai Dengan Tujuannya


Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini antara lain adalah bahwasannya perkara wajib yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula. Dan perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya. Demikian pula, sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut.

Demikian pula, tercabang dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut.

Kaidah ini merupakan kaidah yang sifatnya menyeluruh dan diikuti oleh beberapa kaidah lain sebagaimana disebutkan dalam asalnya.

Adapun yang dimaksud dengan wasilah adalah jalan-jalan yang ditempuh untuk menuju kepada suatu perkara tertentu, dan sebab yang menyampaikan kepadanya. Demikian pula, hal-hal yang tergantung padanya suatu perkara tertentu, dan kelaziman-kelaziman yang keberadaannya melazimkan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.

Maka apabila Allah U dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu maka itu adalah perintah untuk melaksanakan perintah tersebut dan hal-hal yang perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun inderawi. Hal ini dikarenakan Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Hikmah mengetahui apa yang menjadi konsekuaensi dari hukum-hukum yang Ia syariatkan kepada hambanya berupa kelaziman-kelaziman, syarat-syarat, dan penyempurna-penyempurna. Maka perintah untuk mengerjakan sesuatu merupakan perintah untuk hal yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal yang dilarang tersebut dan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.

Oleh karena itu, berjalan untuk melaksanakan sholat, untuk menghadiri majelis dzikir, silaturahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan selainnya masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula keluar untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabilillah sejak keluar dari tempat tinggalnya sampai pulang kembali maka ia senantiasa dalam pelaksanaan ibadah, karena keluarnya tersebut merupakan wasilah untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya. AllahU berfirman :

Yang demikian itu ialah Karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (QS. At Taubah : 120-121)

Dan di dalam hadits yang shahih, Nabi r bersabda :

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ أَوَ سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memperjalankannya atau memudahkan jalan beginya menuju ke surga. (HR. Muslim) [1]

Dan sungguh telah banyak hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan sholat, dan sesungguhnya setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan. [2]

Dan firman Allah U :

sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Yasin : 12)

Yang dimaksudkan dengan “bekas-bekas yang mereka tinggalkan”pada ayat di atas adalah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya.[3] Oleh karena itu, sebagaimana melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki untuk menuju kepada kemaksiatan juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain. Maka perintah untuk melaksanakan sholat adalah perintah untuk melaksnakan sholat dan perkara-perkara yang sholat tidak sempurna kecuali dengannya berupa thaharah, menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan sholat tidaklah bisa sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut.

Demikian pula seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidaklah bisa sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang diwajibkan tersebut, atau sunnah dikarenakan perkara yang sunnah tersebut.

Termasuk pula cabang kaidah ini adalah perkataan ulama [4] : Jika datang waktu sholat bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencarinya di tempat-tempat yang bisa diharapkan untuk mendapatkan air tersebut. Dikarenakan hal-hal yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan keberadaannya maka perkara tersebut juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga wajar asalkan tidak memadharatinya dan tidak menyebabkan kehabisan harta.

Dan masuk di dalam kaidah ini juga adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu perindustrian yang hal ini sangat dibutuhkan manusia dalam urusan agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil.

Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dan ilmu tersebut terbagi manjadi dua macam :

Pertama : Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat diperlukan oleh setiap manusia dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan yang berkaitan dengan muamalah. Setiap orang berbeda kadarnya sesuai dengan keadaan masing-masing.

Kedua : Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang merupakan tambahan dari yang hukumnya fardhu ain, yang ilmu tersebut dibutuhkan oleh muasyarakat luas.

Maka, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh seorang manusia secara pribadi hukumnya fardhu ain. Adapun ilmu yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi individu seseorang, namun masyarakat luas membutuhkannya maka hukumnya fardhu kifayah. Di mana, perkara yang fardhu kifayah ini jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang yang telah mencukupi maka gugur kewajiban sebagian yang lain, dan jika tidak ada sama sekali yang melaksanakannya maka wajib atas setiap orang. Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu kifayah, berupa adzan, iqamah, kepemimpinan yang kecil maupun yang besar, amar ma’ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu kifayah, pengurusan jenazah berupa memandikan, mengkafani, menyolatkan, membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya, persawahan, perkebunan, dan hal hal yang menyertainya.

Termasuk pula dalam kaidah ini adalah usaha seseorang dalam bekerja yang menjadi wasilah baginya untuk memenuhi apa yang menjadi kawajibannya, baik kepada dirinya sendiri, kepada isterinya, anak-anaknya, budaknya, dan juga binatang ternaknya, serta untuk melunasi hutangnya. Dikarenakan hal-hal tersebut hukumnya adalah wajib, maka usaha untuk menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut hukumnya juga wajib.

Demikian pula, tentang wajibnya mempelajari tanda-tanda datangnya waktu shalat, mengetahui arah kiblat, dan arah mata angin bagi orang yang membutuhkan hal tersebut. Hal-hal tersebut masuk juga dalam kaidah ini.

Dan termasuk pula dalam kaidah ini adalah bahwa ilmu-ilmu syar’i terbagi menjadi dua macam, yaitu ilmu yang menjadi tujuan, yaitu ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Maka wasilah untuk memahami ilmu Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu bahasa Arab beserta macam-macamnya, yang pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah sangat tergantung dari penguasaan seseorang terhadap ilmu bahasa Arab tersebut, maka menyibukkan diri untuk mempelajari ilmu bahasa Arab dengan tujuan tersebut hukumnya mengikuti hukum mempelajari ilmu-ilmu syar’i tersebut.

Termasuk pula dalam kaidah ini adalah mengenai perkara-perkara mubah yang menjadi wasilah dalam meninggalkan kewajiban, atau menjadi wasilah dalam melaksanakan sesuatu yang haram. Oleh karena itu, diharamkan jual beli setelah adzan kedua shalat Jum’at. Berdasarkan firman Allah U :

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS. Al Jumu’ah : 9)



Demikian pula haram hukumnya jual beli ketika dikhawatirkan terlewatnya waktu shalat fardhu, atau dikhawatirkan tertinggal dari shalat berjamaah yang wajib menurut pendapat yang benar dalam masalah ini.

Demikian pula diharamkan menjual sesuatu kepada orang yang akan menggunakannya untuk mengerjakan kemaksiatan. Seperti menjual anggur kepada orang yang akan menjadikannya menjadi minuman khamr. Atau menjual senjata kepada orang yang akan menggunakannya untuk menimbulkan fitnah, atau menjual senjata kepada perampok. Dan juga tidak diperbolehkan menjual telur atau semisalnya kepada orang yang akan menggunakannya untuk berjudi.

Demikian pula haram hukumnya melakukan tipu muslihat dalam semua jenis muamalah yang hal tersebut mengantarkan kepada perkara yang haram, seperti mengubah akad hutang kepada orang yang berhutang. [5] Dan juga jual beli ‘inah [6], serta tipu daya untuk menggagalkan syuf’ah dengan cara wakaf, atau menampakkan hasil yang bukan menjadi tujuan yang dimaksud, ataupun menampakkan adanya tambahan harga supaya tidak diambil oleh orang yang mempunyai hak syuf’ah tersebut.

Termasuk dalam kaidah ini pula adalah perbuatan orang yang diberi wasiat oleh orang lain, kemudian ia membunuh orang yang memberikan wasiat tersebut. Atau orang yang mendapatkan hak warisan, lalu ia membunuh orang yang memberikan warisan tersebut supaya segera memperoleh warisan tersebut. Maka keduanya mendapatkan hukuman dengan tidak mendapatkan wasiat atau warisan yang menjadi tujuannya tersebut. Demikian pula seorang suami ketika dalam keadaan sakit menjelang kematiannya, jika ia mentalaq isterinya supaya tidak mendapatkan warisan darinya, maka isteri tersebut tetap mendapatkan warisan dari suaminya tersebut.

Demikian pula, tentang perilaku tidak baik yang disengaja dilakukan suami kepada isterinya tanpa alasan yang benar dengan niatan agar isteinya tersebut minta cerai sehingga suami tersebut bisa mendapatkan harta ganti rugi dari isterinya, maka dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan baginya untuk mengambil harta tersebut dari isterinya. Sebagaimana firman Allah :



Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka. (QS. An Nisaa’ : 19)

Termasuk juga dalam implementasi kaidah ini adalah tentang pendapat di kalangan madzhab Hambali bahwasannya orang yang memberikan hadiah kepada orang lain disebabkan karena malu atau takut darinya maka wajib bagi yang diberi hadiah untuk tidak menerima hadiah tersebut. [7]

Banyak hal yang menjadi cabang kaidah ini masuk pula dalam kaidah berperannya maksud dan niat terhadap amalan-amalan. Dan suatu hal semakin tercakup dalam kaidah yang berbeda-beda maka semakin menunjukkan kuatnya hukum berkaitan dengan hal tersebut.

Oleh karena itu, sebagaimana tipu muslihat yang dilaksanakan sebagai wasilah untuk melaksanakan perkara yang haram atau meninggalkan kewajiban hukumnya adalah haram, maka muslihat yang dilaksanakan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi hak seseorang hukumnya diperbolehkan bahkan diperintahkan. Hal ini dikarenakan seorang hamba diperintahkan untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi haknya, dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya, baik dengan cara yang terang-terangan atau tersembunyi. Hal ini sebagaimana firman Allah tatkala menyebutkan mulihat yang dilakukan Nabi Yusuf supaya saudaranya tetap tinggal bersamanya :

Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. (QS. Yusuf : 76)



Semisal dengan hal itu pula adalah muslihat yang dilakukan dalam rangka memperoleh keselamatan jiwa dan harta benda. Sebagaimana yang dialkukan Nabi Khadhir dengan merusak perahu yang ia tumpangi supaya perahu tersebut tidak dirampas oleh raja yang zalim yang merampas setiap perahu bagus yang ia lihat. Oleh karena itu, hukum suatu muslihat mengikuti tujuan dilaksanakannya muslihat tersebut, apakah tujuannya baik ataukah tidak.

Termasuk pula dalam kaidah ini adalah firman Allah :



Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, (QS. An Nisaa’ : 58).



Sedangkan yang dimaksud dengan amanat adalah segala sesuatu yang seseorang mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya, berupa barang titipan, mengurusi anak yatim, menjadi nadzir wakaf, dan semisalnya. Maka termasuk dalam upaya untuk mengembalikan apa yang menjadi amanatnya tersebut kepada pemiliknya adalah menjaga amanat tersebut dengan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sesuai. Dan termasuk upaya menjaga amanat tersebut adalah mengurus apa yang diamanatkan dengan memberikan makanan dan sebaginya jika yang diamanatkan tersebut mempunyai ruh. Adapun yang termasuk upaya untuk menggunakan amanat tersebut adalah tidak teledor dan tidak berlebih-lebihan dalam menggunakannya.

Di antara cabang kaidah ini adalah bahwasannya Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, dan melarang mendekat kepada semua wasilah yang dikhawatirkan akan mengantarkan jatuh seseorang pada perkara yang diharamkan tersebut, seperti menyendiri dengan wanita yang bukan mahramnya, atau melihat kepada sesuatu yang diharamkan untuk dilaihat. Oleh karena itu Rasulullah bersabda ;

وَمَنْ وَقَعَ فيِ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فيِ الْحَرَامِ ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى ، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

Dan barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh ke dalam wilayah perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, dikhawatirkan ia akan masuk ia ke daerah larangan itu. Ingatlah bahwa setiap raja memiliki daerah larangan dan daerah larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. (HR. Bukhari) [8]

Termasuk cabang kaidah ini pula adalah adanya larangan dari mengerjakan sesuatu yang bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian, seperti menjual untuk menandingi jualan seorang muslim yang lain, melakukan akad di atas akad muslim yang lain, melamar wanita atas lamaran saudaranya sesama muslim, atau mengajukan perwalian atas pengajuan muslim yang lain. Sebagaimana termasuk cabang kaidah ini pula adalah memberikan dorongan untuk komitmen dengan kejujuran, baik dalam perkatan maupun perbuatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Adapun perkara yang tidak masuk dalam kaidah ini adalah permasalahan nadzar. Hal ini dikarenakan suatu hikmah tertentu yang khusus pada permasalahan tersebut. Di mana, menunaikan nadzar ketaatan hukumnya adalah wajib, sedangkan mengikat nadzar hukumnya makruh padahal menunaikan nadzar tidaklah bisa dilaksanakan kecuali dengan mengikat nadzar. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan untuk menunaikan nadzar [9] dan melarang dari mengikat nadzar. Sebagaimana sabda beliau :

إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ , وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيْلِ

Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, dan sesungguhnya nadzar itu dikeluarkan dari seorang yang bakhil. (HR. Bukhari) [10]

Hal ini dikarenakan mengikat nadzar mengurangi keikhlasan dalam amalan yang dinadzarkan tersebut, dan menyebabkan orang yang mengikat nadzar masuk kepada bala’ berupa kesempitan sedangkan awalnya ia berada dalam kelapangan. Demikian pula, mengikat nadzar merupakan suatu bentuk memberatkan diri sendiri.

Dan termasuk pula dalam cabang kaidah ini adalah perbuatan seseorang yang telah mentalaq isterinya sebanyak tiga kali, kemudian ia berupaya untuk bisa menikahinya lagi dengan cara tahlil. Maka perbuatan ini haram untuk ia lakukan, bahkan ia terlaknat dikarenakan perbuatannya tersebut, dan perbuatan tahlilnya itu pun tidak menyebabkan bolehnya ia menikahi isteri yang telah ia talaq tiga kali tersebut. Hal ini dikarenakan nikah tahlil itu bukanlah nikah yang hakiki, dan hanya gembarannya seolah-olah termasuk pernikahan, sedangkan hakikatnya adalah adalah perbuatan sia-sia semata.

Sebagaimana wasilah untuk melaksanakan suatu ibadah tertentu mempunyai hukum sesuai dengan ibadah yang dituju tersebut, maka hal-hal yang menyertai dan sebagai penyempurna suatu ibadah tertentu juga mengikuti hukumnya. Oleh karena itu, perginya seseorang untuk melaksanakan suatu ibadah adalah termasuk ibadah juga. Demikian pula, kembalinya seseorang dari melaksanakn ibadah tersebut menuju ke tempatnya semula juga termasuk ibadah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian shahabat:

إِنِّي لَأَحْتَسِبُ رُجُوْعِي إِلَى بَيْتِي مِنَ الصَّلاَةِ كَمَا أَحْتَسِبُ خُرُوْجِي مِنْهُ إِلَيْهَا

Sesungguhnya aku mengharap mendapatkan pahala dalam kepulanganku dari melaksanakan sholat sebagaimana aku mengharap dalam mendapatkan pahala dalam kepergianku untuk melaksanakan sholat. [11]

Wabillahi taufiq.























































































[1] HR. Muslim dalam Kitab Adz Dzikr wa Ad Du’aa’, Bab Fadhl Al Ijtima’ ‘ala Tilawatil Qur’an No. 2699 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dan lafaznya adalah :

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ


[2] Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwasannya ia berkata : Shalat seseorang dengan berjama’ah akan dilipatgandakan pahalanya melebihi sholat yang ia kerjakan di rumahnya, dan yang ia kerjakan di pasar, dilipatgandakan menjadi dua puluh kali lipat. Yang demikian itu dikarenakan apabila ia berwudhu dan memperbaiki wudhunya kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang mendorongnya pergi kecuali untuk melaksanakan shoal, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya satu langkah pun kecuali diangkat baginya satu derajat dan dan dihapus darinya satu kesalahan. (HR. Bukhari dan ini adalah lafaz beliau dalam Kitab Al Adzan Bab Fadhlu Sholat Al jama’ah No. 647, dan Muslim dalam Kitab Al Masajid Bab Fadhlu Sholat Al Jama’ah No. 649)


[3] Ini adalah perkataan Al Hasan dan Qatadah (Tafsir Ibnu Katsir 3/565)


[4] Al Mughni 1/314


[5] Di antara contoh mengubah akad hutang adalah jika seseorang mempunyai piutang kepada orang lain dengan jangka waktu tertentu, lalu sampailah batas akhir waktu pembayaran hutang tersebut, sedangkan orang yang menghutangi tersebut mempunyai rekan yang bersedia untuk memberikan pinjaman kepada orang yang berhutang untuk melunasu hutangnya, maka kembalilah kewajiban membayar hutang itu kepada orang yang berhutang untuk kedua kalinya. Contoh kasus yang lain adalah jika seseorang mempunyai piutang kepada orang lain dengan jangka waktu tertentu. Dan ketika telah jatuh tempo pembayaran hutang tersebut orang yang berhutang tidak memiliki harta untuk mengembalikan hutangnya. Lalu orang yang menghutangi berkata : Aku berikan pinjaman kepadamu kemudian bayarlah hutangmu yang dahulu kepadaku, lalu dilaksanakanlah hal itu. (Al Mudayanah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 17 dan18)


[6] Yang dimaksud dengan ‘inah adalah jika seseorang menjual suatu barang secara kredit kepada orang lain dengan harga tertentu kemudian membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih murah. Jual beli ini dinamakan dengan ‘inah dikarenakan orang yang membeli barang secara kredit tersebut mendapatkan gantinya secara ‘ain, yaitu secara tunai ketika itu juga. Atau, bias dikatakan ‘inah dikarenakan orang yang menjual barang tesebut membeli ‘ain (barang) yang ia jual tersebut (Fathul ‘Aziz ma’a Al Majmu’ 8/231, Syarah Al Muntaha 2/158, dan Al Mishbah 2/441)


[7] Al Muntaha 2/23


[8] HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman Bab Fadhlu Man Istabra-a li Dinihi No. 52, dan Muslim dalam Kitab Al Musaqaah Bab Akhdzil Halal wa Tarkis Syubuhat No. 1599 dari Nu’man bin Basyir -radhiyallahu ‘anhu-.


[9] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, bahwasannya Nabi bersabda : Barangsiapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka hendaklah ia mentaati-Nya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.(HR. Bukhari dalam Kitabul Iman wan Nudzurr, Bab An Nadzr fit Tha’ah No. 6696)


[10] HR. Bukhari dari Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, : Sesungguhnya Nabi melarang dari nadzar, dan beliau bersabda : Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, dan nadzar itu hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil. (HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman wan Nudzur, bab Al Wafa’ bin Nudzur No. 6693, dan Muslim dalam Kitab An Nadzr Bab An Nahyu ‘Anin Nadzr No. 1639.

[11] Diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu- bahwasannya ia berkata : Dahulu ada seseorang dari kalangan anshar yang tidak aku ketahui ada seorang pun yang lebih jauh rumahnya dari orang tersebut. Dan ia tidak pernah tertinggal dari melaksanakan shalat berjama’ah. Dikatakan kepadanya : Bukankah lebih baik jika engkau membeli seekor keledai yang bisa engkau kendarai ketika gelap maupun ketika terang ? Maka ia menjawab : Aku tidak senang jika rumahku berada di samping masjid, sesungguhnya aku ingin agar perjalananku menuju ke masjid dicatat sebagai pahala bagiku, demikian pula perjalanan pulangku kembali ke keluargaku. Maka Rasulullah bersabda : Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan apa yang kau inginkan itu untukmu.(HR. Muslim dalam Kitab Al Masajid, Bab Katsratul Khutha ilal masajid No. 663)







http://ustadzkholid.wordpress.com/**Artikel: Ummu Zakaria

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment