Showing posts with label DO'A. Show all posts
Showing posts with label DO'A. Show all posts

Thursday, 17 February 2011

Bacaan Keluar WC

Di antara bacaan keluar dari WC adalah alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil adza wa ‘aafaani. Doa ini terdapat dalam hadits Nabi namun hadits tersebut kualitasnya dhaif alias lemah.
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْمُحَارِبِىُّ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنِ الْحَسَنِ وَقَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَذْهَبَ عَنِّى الأَذَى وَعَافَانِى ».
Dari Anas bin Malik, “Biasanya jika Nabi keluar dari tempat buang air beliau mengucapkan “alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil adza wa ‘aafaani” yang artinya “segala puji milik Allah zat yang telah menghilangkan kotoran dari badanku dan menyehatkanku” [HR Ibnu Majah no 301. Dalam Zawaid, al Bushiri mengatakan, “Dia –yaitu Ismail bin Muslim- itu disepakati oleh para pakar hadits sebagai perawi yang lemah. Hadits dengan redaksi ini adalah hadits yang tidak sahih”. Hadits ini juga dinilai lemah oleh al Albani].
Meski demikian, mengamalkan bacaan di atas tidaklah terlarang karena seorang sahabat Nabi yaitu Abu Dzarr biasa membaca bacaan di atas ketika keluar dari WC.
10 – حدثنا عبدة بن سليمان ووكيع عن سفيان عن منصور عن أبي علي أن أبا ذر كان يقول إذا خرج من الخلاء الحمد لله الذي أذهب عنى الأذى وعافاني
Dari Abu ‘Ali, “Sesungguhnya jika keluar dari tempat buang hajat biasa mengucapkan kalimat “alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil adza wa ‘aafaani” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf no 10].
قال فضيلة الشيخ علي الحلبي: لكن ورد نحوه عن أبي ذر موقوفا بسند صحيح
Riwayat di atas dikomentari oleh Syaikh Ali al Halabi, “Akan tetapi terdapat riwayat yang semisal dengan hadits marfu’ di atas dari Abu Dzar secara mauquf dengan sanad yang sahih” [Rekaman kajian kitab Manhaj as Salikin karya Syaikh Abdurrahman as Sa’di oleh Syaikh Ali al Halabi].

Dengan demikian, tidak boleh memberikan vonis bid’ah untuk ucapan “alhamdulillahilladzi adzhaba ‘annil adza wa ‘aafaani” ketika keluar dari WC, toilet atau semisalnya. Siapa saja yang mengamalkan bacaan di atas tidak boleh diingkari atau disalahkan karena orang tersebut telah meneladani seorang sahabat Nabi.
Artikel www.ustadzaris.com


**Artikel: Ummu Zakaria

Wednesday, 9 February 2011

DO’A PENGHILANG SEDIH DAN GELISAH

Di zaman resesi dunia sekarang ini. Dimana kepastian adalah sesuatu yang mustahil adanya, terlebih jika kepastian itu disandarkan kepada nilai dunia dan seisinya, tentulah sia-sia yang didapat. Tidaklah fenomena yang terjadi sekarang kecuali telah menunjukkan cermin terang (dengan adanya krisis ekonomi global yang melanda dunia -pen) bahwa kepastian yang absolut itu tidak ada dan bahkan tidak mungkin terjadi kecuali apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena itu adalah absolutasi (kepastian yang pasti – pen ) yang takkan terbantahkan bagi setiap yang mengimani adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Termasuk orang kafir, musyrik dan munafiq sekalipun mereka akan mengakui bahwa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah pasti, pasti dan pasti adanya. Sebagaimana kepastian rasa sedih dan bingung dalam menjalankan roda kehidupan ini dari sulitnya mencari pendapatan hasil olah pikir dan raganya. Kitapun tidak bisa menghindar dan berkelit darinya, siapapun dia , apapun statusnya, rasa sedih dan gelisah adalah keniscayaan dan kepastian yang pasti ada. Karena kabar dan solusinya telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga telah dirinci dan dijelaskan oleh para Ulama’.
Mari kita simak penggalan-penggalan “Do’a Penghilang Rasa Sedih dan Gelisah” yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada umatnya. Diantaranya adalah do’a:
اللَّهُمَّ إِنـــِّي عَبْدُك َ ، ابْنُ عَبْدِكَ ، ابْنُ أَمَتِكَ ناَصِيَتـِي بــِيَدِكَ ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَائُكَ ، أَسْأَلــُكَ بــِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بـِهِ نـَفْسَكَ ، أَوْ أَنــْزَلــْتــَهُ فِي كِتاَبــِكَ ، أَوْ عَلَّمْتــَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ ، أَوِ اسْتــَأْثــَرْتَ بــِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ ، أَنْ تجَـْعَلَ الْقُرْآنَ رَبــِيْعَ قَلــْبـــِي وَ نــُورَ صَدْرِي وَجـَلاَءَ (1) حُزْنــِي وَ ذَهَابَ هَمِّي وَ غَمِّي
“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, anak hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku di (genggaman -pen) tangan-Mu, telah lewat (dan berlaku -pen) hukum-Mu kepadaku, ketetapan-Mu padaku adalah adil, Aku memohon kepada-Mu dengan (perantara) seluruh nama-Mu (yang baik), yang telah Engkau sebutkan bagi diri-Mu, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu atau Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, Agar Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai hujan (penyiram) hatiku, cahaya (penerang) dadaku, penghilang kesedihanku, pengusir duka dan kegelisahanku.”((2) &( 3))
Dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Tidaklah rasa sedih dan gelisah menimpa seorang hamba (4) lalu dia mengucapkan: (do’a di atas, berdo’a dengan do’a tersebut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala -ed) , kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahannya serta menggantinya dengan kegembiraan (kebahagiaan)”. Maka para shahabat bertanya: “”Ya, Rasulullah, apakah kami boleh mengajarkannya”. Beliaupun menjawab: “Tentu saja, bahkan sudah sepantasnya bagi orang yang telah mendengarnya untuk mengajarkannya. (HR. Ahmad, Al-Hakim dan Ibnu Hibban). (3)
KANDUNGAN DO’A TERSEBUT
Do’a ini mengandung beberapa perkara yang berkaitan dengan Ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala -pen), At-Tauhid (pengesaan-Nya -pen) dan Al-’Ubudiyyah (peribadahan kepada-Nya -pen).
Orang yang berdo’a dengan do’a tersebut akan memulai do’anya dengan lafadz:
إِنـــِّي عَبْدُك َ ، ابْنُ عَبْدِكَ ، ابْنُ أَمَتِكَ
“Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, anak hamba perempuan-Mu,”
Penjelasan: Ucapan ini adalah pengakuan orang tersebut bahwasanya dia dan seluruh nenek moyangnya (mulai dari bapak ibunya hingga kepada Nabi Adam‘Alaihis Salam dan Hawa ‘Alaihas Salam ) adalah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dia harus beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, dengan penuh penghinaan diri, ketundukkan dan penyandaran kepada-Nya, dengan menunaikan semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi semua larangan-Nya, berlindung hanya kepada-Nya, meminta tolong hanya kepada-Nya, dengan penuh rasa cinta, takut dan penuh harap.
Dan juga tersirat pada lafadz tersebut bahwa apa yang ada pada diri seorang hamba adalah milik pemiliknya yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala Demikian pula harta dan jiwanya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga tidaklah digunakan kecuali ada perintah dan ijin dari-Nya.(4)
Pada lafadz berikutnya :
ناَصِيَتـِي بــِيَدِكَ
“Ubun-ubunku di (genggaman -pen) tangan-Mu,”.
Penjelasan: Engkaulah (Ya Allah) yang merubahnya (menjadikannya) untukku, Engkau bolak-balik sekehendak diri-Mu Sehingga bagaimana bisa seseorang menguasai dirinya kalau ubun-ubunnya saja di kuasai Allah Subhanahu wa Ta’ala,dan hatinya pun dibolak-balikkan diantara jari-jemari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula dengan kematian dan kehidupannya, bahagia dan celakanya, sehat dan sakitnya semuanya kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak kepada hamba sedikitpun. Sehingga diapun bertawakkal hanya kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala. sebagaimana yang dikatakan Nabi Hud ‘Alaihis Salam kepada kaum-Nya, dalam kisahnya yang terdapat di dalam Al-Qur’an Surat Hud (yang artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud:56)
Kemudian pada lafadz berikutnya :
مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَائُكَ
“Telah lewat (dan berlaku -pen) hukum-Mu kepadaku, ketetapan-Mu padaku adalah adil.”
Penjelasan: Hukum (ketetapan -ed) Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam:
1. Hukum Agama yang bersifat syar’i (ketetapan-ketetapan-Nya yang berkaitan dengan Syari’at Agama, seperti: keimanan, shalat, jihad dan semisalnya -ed)
2. Hukum Kauni (kejadian) yang bersifat Qadari (ketetapan-ketetapan-Nya yang berkaitan dengan taqdir, serperti: rizqi, kematian, dan semisalnya -ed).
Kedua ketetapan tersebut akan terus berlaku pada seorang hamba, baik dia meng hendakinya ataupun menolaknya. Dimana hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat kauni tidak akan bisa dilanggar oleh seorangpun (sehingga tidak akan ada yang bisa menghindar darinya, seperti: kematian -ed). Adapun Hukum AllahSubhanahu wa Ta’ala yang bersifat syar’i (agamis) maka terkadang masih ada yang melanggarnya (seperti: adanya orang kafir yang tidak beriman -ed).
Dan pada lafadz (yang artinya): “Ketetapan-Mu padaku adalah adil”
Penjelesan: Seluruh ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala (berupa taqdir-Nya -ed) kepada setiap hamba-Nya adalah adil.
Adil dalam setiap sisi ketetapan-Nya, baik seorang hamba (ditaqdirkan -ed) dalam keadaan sehat ataukah sakit, kaya ataukah miskin, mendapatkan kelezatan atau rasa nyeri, baik dalam keadaan hidup atau mati, dia mendapatkan hukuman atau mendapatkan ampunan. Karena semua yang diperintah-Nya akan mendatangkan mashlahat (kebaikan -pen) dan semua yang dilarang-Nya akan dapat mendatangkan kerusakan (kejelekan -ed), sehingga pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala berhak didapatkan oleh orang-orang yang memang pantas mendapatkannya berdasarkan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rahmat-Nya, begitu juga siksa-Nya memang berhak dirasakan oleh orang-orang yang pantas merasakannya berdasarkan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hikmah-Nya. (Tanpa ada unsur kezhaliman (mengambil hak orang lain) sedikitpun, karena alam semesta dan segala isinya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berhak berbuat sesuatu kepada hamba-Nya menurut kehendaknya berdasarkan keadilan dan hikmah-Nya -ed).(3)
Lafadz do’a selanjutnya (yang artinya):
”Aku memohon kepada-Mu dengan (perantara) seluruh nama-Mu (yang baik).” sampai seterusnya,
Penjelesan: Dengan ini berarti telah menjadikan semua nama-nama AllahSubhanahu wa Ta’ala- baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui – sebagai wasilah (perantara dalam berdo’a -ed). Dan wasilah-wasilah (perantara -ed) tersebut adalah wasilah yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena berarti hamba tersebut telah berwasilah dengan sifat-sifat-Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perbuatan-perbuatan-Nya yang terkandung di dalam nama-nama-Nya.
Lalu pada lafadz selanjutnya:
أَنْ تجَـْعَلَ الْقُرْآنَ رَبــِيْعَ قَلــْبـــِي وَ نــُورَ صَدْرِي
“Jadikanlah Al-Qur’an sebagai hujan (penyiram) hatiku, dan cahaya (penerang) dadaku”.
Penjelesan: Arti Ar-Rabii’ adalah hujan yang bisa menghidupkan tanah sebagaimana Al-Qur’an yang dapat menghidupkan hati (manusia),
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan Al-Qur’an laksana hujan. Kemudian mengaitkan air sebagai sumber penghidupan dengan cahaya sebagai sumber penerangan. (1)
JANGAN MENJAUH DARI AL-QUR’AN
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjanjikan hilangnya kesedihan dan kegelisahan bagi seorang hamba yang mau berdo’a dengan do’a ini. Dan sungguh janji ini tidak akan terlaksana dan didapatkan oleh seorang hamba yang melanggar hak dan kewajibannya terhadap Al-Qur’an, serta menjauhkan diri darinya.
Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan beberapa bentuk perkara yang dapat menjauhkan kita dari Al-Qur’an, diantaranya:
1. Enggan mendengarkan Al-Qur’an, dan tidak mau beriman kepadanya.
2. Enggan mengamalkan (kandungan -ed) Al-Qur’an, serta tidak mau mengerti tentang perkara halal dan haram yang terdapat di dalamnya.
3. Tidak mau berhukum dengan Al-Qur’an dan enggan menjadikannya sebagai hakim (penentu) dalam pokok permasalahan Agama dan cabang-cabangnya. Dengan meyakini bahwasanya Al-Qur’an tidak dapat memberikan suatu keyakinan (dan kepastian -ed), serta meyakini bahwa dalil-dalil dari Al-Qur’an hanya sebatas lafadz (di bibir saja -ed) yang tidak akan menghasilkan ilmu (sedikitpun -pen)
4. Tidak mau merenungi dan memahami nya, serta enggan untuk mengetahui maksud pembicaraan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
5. Enggan berobat dengan Al-Qur’an dan tidak mau menjadikannya sebagai obat untuk semua macam penyakit hati. (6)
PENUTUP
Kaum muslimin yang saya cintai, mudah-mudahan sepenggal kalimat ringkas ini menambah wawasan dan kekuatan iman kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai mukjizat Rasul-Nya, sekaligus sebagai kekuatan bagi umatnya Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan diri kita dari penyesalan di dunia maupun di akhirat, tatkala Al-Qur’an sudah hadir di antara kita tetapi kita malah mengacuhkannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Dan (ingatlah) hari ( ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata:”Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul. – Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaithan itu tidak mau menolong manusia. Berkatalah Rasul:”Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan:27-30).
Oleh: Al-Ustadz Ahmad Taufiq
(disertai penambahan dan pengurangan oleh editor)
Daftar Pustaka:
- Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim Rahimahullah, Darul Fikri
- Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, Ibnu Katsir Rahimahullah,Darul Jiil
- Al-Mukhtarush_Shihah, Zainuddin Ar-Rozi Rahimahullah, Maktabah Libnan
- Al-Maktabah Asy-Syamilah 1.

CATATAN KAKI:

(1) (جِلاَءَ ) boleh dibaca dengan huruf jim yang berkasrah “ Jilaa-a” , Wallahu ‘A’lamu bish_Shawab (Lihat Mukhtarush_Shihah (119)).
(2) Lafadz do’a tersebut adalah seperti yang disebutkan oleh Al-Imam Ibnul QoyyimRahimahullah dalam “Al-Fawaid” .
(3) HR. Ahmad Rahimahullah no.3712 (1/391) , Al-Hakim Rahimahullah no.1877 (1/690), Ibnu Hibban Rahimahullah no.972 (3/253). Dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu , tanpa lafadz:( غَمِّي ).Dishahihkan Asy-Syaikh Al-AlbaniRahimahullah
 Ash-Shahihah no.199 (1/383). (Lihat Al-Maktabah Asy-Syamilah 1).
(4) Dalam riwayat Al-Hakim Rahimahullah: seorang muslim (-ed).
(5) Diringkas dari kitab Al-Fawaid, karya: Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah 
(Lihat hal. 30 – 35).
(6) Diringkas dari kitab Al-Fawaid, karya: Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah (Lihat hal. 89).

http://buletinassalaf.wordpress.com/
Edisi:14/ Th.302 Rabi’ul Awwal 1430 H / 27 Februari 2009 M
**Artikel: Ummu Zakaria

Thursday, 16 December 2010

Waktu-waktu Mustajab untuk Berdoa

Alhamdulilllah, segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam ini. Dialah Yang Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dia pulalah Yang Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui bahwa para hamba-Nya lemah sangat butuh terhadap pertolongan. Oleh karena itu, Dia memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, sekaligus berjanji akan mengabulkan doa dan permohonan mereka kepada-Nya apabila terpenuhi syarat-syarat dan adab-adabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mu’min: 60)
Para pembaca rahimakumullah, dalam ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, dan berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Bahkan sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam para hamba-Nya yang enggan untuk berdoa kepada-Nya karena telah jatuh kepada sifat kesombongan.


Para pembaca, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Para dasarnya, kita boleh berdoa kapan dan dimana saja. Akan tetapi, di sana ada waktu-waktu tertentu yang mempunyai nilai lebih untuk dikabulkannya doa. Oleh karena itu, pada edisi kali ini, kami akan menjelaskan beberapa waktu-waktu mustajab tersebut sebagai pelengkap dua edisi sebelumnya (5/II/VII/1430 dan 15/IV/VIII/1431) tentang adab dan syarat-syarat dalam berdoa. Semoga bermanfaat.
Di antara waktu-waktu tersebut adalah:
1. Malam (lailatul) Qadar
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, apa petunjukmu bila aku mendapati malam (laitul) Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah (doa):

« اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ».

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai perbuatan memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)
2. Di sepertiga malam yang akhir dan di waktu sahur
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya):
“Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 18)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ » .

“Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
3. Di akhir shalat fardhu
Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

« جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ »

“Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kata ((دُبُرَ)) dalam hadits diatas. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam dari shalat?
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, 1/378:
“(( وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)) bisa jadi maksudnya sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.”
Sedangkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpandangan di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam, sehingga doa itu dipanjatkan setelah selesai membaca tasyahhud akhir dan shalawat sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau rahimahullah berkata: “Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di ((دُبُر الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَات)), berarti doa itu dibaca sebelum salam. Sedangkan dzikir yang dinyatakan untuk dibaca di ((دُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)), maka maksudnya dzikir itu dibaca setelah selesainya shalat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Apabila kalian telah selesai dari mengerjakan shalat, berdzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring diatas lambung-lambung kalian.” (An-Nisa`: 103)
4. Antara adzan dan iqamah
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« لاَ يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ ».

“Tidak tertolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud)
5. Satu waktu di malam hari
Jabir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ ».

“Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bersamaan dengan itu seorang muslim meminta kepada Allah kebaikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintaan tersebut, dan itu ada di setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan: “Pada hadits tersebut terkandung adanya penetapan satu waktu mustajab pada setiap malam, dan anjuran untuk berdoa di waktu-waktu malam dengan harapan bertepatan dengan waktu mustajab tersebut.” (Al-Minhaj, 3/95)
6. Ketika terbangun di waktu malam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang terbangun di waktu malam lalu mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Kemudian mengucapkan:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Atau berdoa, maka dikabulkan (doanya). Dan jika berwudhu’ kemudian melaksanakan shalat maka shalatnya diterima.” (HR. Al-Bukhari)
Sebagian ulama mengatakan: “Dalam keadaan seperti ini lebih diharapkan terkabulkannya doa begitu juga diterimanya shalat  dibandingkan waktu/keadaan yang lainnya.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 8/311)
7. Ketika dikumandangkannya adzan dan dirapatkannya barisan, berhadapan dengan barisan musuh di medan tempur
Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua waktu/keadaan yang didalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan jarang sekali tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu, yaitu saat diserukan panggilan shalat (adzan) dan saat berada dalam barisan di jalan Allah (ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, pent).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubra)
8. Suatu waktu pada hari Jum’at
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang hari Jum’at, beliau bersabda:

« إِنَّ فِى الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَقَالَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا يُزَهِّدُهَا».

“Sesungguhnya di hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah waktu tersebut bertepatan dengan seorang muslim yang sedang melaksanakan shalat, lalu meminta kepada Allah suatu kebaikan, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi)
Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah shalat ashar, dan ada pula yang mengatakan waktunya dari terbit fajar sampai terbit matahari. (Al-Minhaj, 6/379)
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/378), berpendapat bahwa pendapat yang lebih tepat dalam permasalahan ini adalah bahwa waktunya setelah shalat ashar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya pada hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya, dan waktunya adalah setelah shalat ashar.” (HR. Ahmad)
9. Ketika sujud
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ».

“Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” (HR. Muslim)
10. Doa pada hari Arafah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ ».

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqy)
Penutup
Para pembaca rahimakumullah, doa adalah termasuk ibadah. Oleh karenanya, sudah semestinya kita mencukupkan dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam pelaksanaannya. Suatu misal, jika kita mau menggunakan pembukaan ketika hendak berdoa, maka bukalah doa tersebut dengan pembukaan yang syar’i (yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bukan dengan pembukaan-pembukaan yang tidak syar’i (yang tidak ada tuntunannya), karena akibatnya fatal, doa kita bisa tidak dikabukan. Disisi lain, kita bisa menuai dosa karena telah mengadakan perkara yang baru dalam urusan  agama.
Wallahu a’lam bishshowab.

Friday, 17 September 2010

Keutamaan do'a keluar rumah

Setan pertama berkata kepada setan kedua yang ingin menganggumu. Ia berkata “Kaifa laka birajulin?” ” Bagaimanakah engkau dengan seseorang yang engkau tidak punya kekuatan untuk menganggunya. Seseorang yang telah diberi hidayah oleh Allah untuk mengingat Allah, dan telah Allah cukupi, Allah lindungi dari gangguanmu dan Allah jaga dari tipu dayamu. Adalah suatu hal yang sia-sia menganggunya. Lebih baik kamu balik saja dan cari orang lain yang bisa diganggu?”

Percakapan kedua setan ini terdapat pada bagian akhir hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Dikatakan kepadanya, ‘Engkau telah dicukupkan, dijaga, dan diberi petunjuk.’ Maka, setan menjauh darinya. Maka, dikatakan kepada setan yang lain ‘Bagaimanakah engkau dengan orang yang telah diberi petunjuk , telah dicukupkan dan telah dijaga?’”


Saudariku, percakapan dua setan tersebut akan mereka katakan saat engkau keluar dari rumah dengan membaca “Bismillahi tawakkaltu ‘alaallahi, walaa haula wa laa quuwata illa billah” yang artinya “Dengan nama Allah. Aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya dan kekuatan, kecuali karena pertolongan Allah.” (HR. Abu Dawud 4/325)

Ketika engkau membaca kalimat yang ringan ini saat keluar dari rumah maka engkau akan mendapatkan tiga hal yang agung yaitu kecukupan, penjagaan dari segala keburukan dan petunjuk. Dan karenanya setan akan menyingkir dan menjauhimu. Maka setan akan memberi nasihat kepada kawannya sesama setan yang ingin menganggumu dengan berkata “Mau kamu apakan, tidak bisa, sia-sia, kamu apakan seseorang yang telah mendapatkan hidayah, telah dicukupi dan telah diberi petunjuk oleh Allah? Sudahlah kamu cari yang lain saja yang tidak membaca doa ini. Ganggu dia, orang ini tidak usah, kamu cuma dapat capek dan repot saja. Cari orang lain yang tidak membaca do’a ini.”

Maka Allah akan mengatakan kepada engkau yang telah membaca do’a ini. Engkau akan dipalingkan dari segala keburukan, terjaga dari segala gangguan dan keburukan yang samar, yang tak terlihat dan tak nampak serta mendapatkan hidayah yaitu mendapatkan hidayah taufik untuk meniti jalan yang haq dan yang benar dimana engkau diberi taufik untuk mengutamakan mengingat Allah begitu keluar rumah. Dan engkau akan terus-menerus mendapatkan taufik disetiap perbuatan, perkataan dan setiap keadaanmu. Taufik Allah janjikan bagi dirimu yang membaca kalimat ini saat keluar rumah. Subhanallah.

Saudariku, seandainya keutamaan yang diberikan hanya satu saja sudah sangat besar apalagi kita akan mendapatkan mendapatkan tiga keutamaan yang semuanya sangat penting bagi kehidupan manusia. Semua orang membutuhkannya, namun mengapa diri ini sulit untuk membacanya. Satu keutamaan saja sudah sangat besar dan tidak terbayangkan nilainya. Maka seandainya pahala yang akan diberikan hanya hidayah yang dalam hadits ini maknanya adalah taufik, yaitu akan mendapatkan taufik dan akan dibimbing sehingga akan hanya meniti kebenaran dalam ucapan, dalam perbuatan dan dalam keadaan dan sikap. Masyaa Allah, ini adalah suatu yang besar dan bernilai.

Sesungguhnya kita telah menyia-nyiakan banyak hal dengan kelalaian kita dalam berdzikir pada Allah subhanahu wa Ta’alaa. .Semoga Allah beri taufik.

Penyusun: Ummu Zubaidah Putrisia Hendra Ningrum Adiaty
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Maroji’ :
1.Syarah Hisnul Muslim min Adkaari Alkitaabi wa Assunnati, buah karya Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qathani dengan pensyarah Majdi bin ‘Abdul Wahab Ahmad. Penerbit Darul Haq. hal. 106-107
2.Rekaman Kajian Sabtu-Minggu Pagi “Syarah Hisnul Muslim” oleh Ustadz Aris Munandar dengan penyelenggara takmir Masjid Al-Ashri Pogung Rejo.

***