Showing posts with label Bimbingan Islam. Show all posts
Showing posts with label Bimbingan Islam. Show all posts

Saturday, 25 October 2014

Bagaimana Seharusnya Lelaki Shalih Memperlakukan Istrinya?


Al Hasan bin Ali Rahimahullah pernah berkata kepada seorang laki-laki:
"Nikahkanlah putrimu dengan laki-laki yang bertaqwa. Sebab jika laki-laki itu mencintainya, maka ia akan memuliakannya. Dan jika tidak menyukainya, maka ia tidak akan menzhaliminya."
Laki-laki yang memiliki keistimewaan karena keshalihan dan akhlaknya, tentu mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, menjaga diri dan agamanya..
Tidak menyuruhnya tabarruj dan bepergian, tidak menyuruhnya bergaul dengan kaum laki-laki.. Tetapi ia meletakkannya di atas manhaj Nabi Shalallaahu Alaihi wa Sallam.
Jika ia merasa ada kekurangan pada diri istrinya, maka ia akan mengingat sabda Nabi,
"Berkehendaklah yang baik terhadap wanita.."
Ia akan mencari mana yang terbaik, lalu memperlakukan istrinya dengan cara yang baik. Jika ia merasa ada kekurangan pada diri istrinya, lalu ia tidak menyukainya, maka ia segera mengingat sabda Beliau..
"Janganlah seorang Mukmin laki-laki membenci Mukminah. Jika ia tidak menyukai sebagian akhlaknya, tentu ia meridhai akhlaknya yang lain."
Dengan begitu ia akan mampu menguasai gejolak di dalam dirinya dan bisa menerima kekurangan isterinya. Akhirnya mereka berdua menjadi pasangan yang berbahagia, bernaung di atap rumah tangga yang memancarkan kebahagian dan kebaikan.

[Dari buku ‘Bagaimana Menjadi Istri Sholihah dan Ibu yang Sukses’, Ummu Ibrahim Ilham Muhammad Ibrahim, Darul Falah] 

~Chynatic~

Sunday, 31 August 2014

Hukum Tidur Terlentang

Apa hukum tidur terlentang? Apakah dibolehkan?
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُسْتَلْقِيًا فِى الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الأُخْرَى.
Dari ‘Abbad bin Tamim, dari pamannya bahwa ia pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur terlentang di masjid dalam keadaan meletakkan satu kaki di atas lainnya. (HR. Bukhari no. 475 dan Muslim no. 2100).
Imam Nawawi rahimahullah ketika membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin, beliau menyatakan dalam judul bab bahwa boleh tidur dalam keadaan terlentang. Demikian pula beliau nyatakan bolehnya dalam Al Majmu’, 4: 472.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menerangkan, “Yang lebih afdhol adalah tidur pada sisi kanan. Sedangkan tidur tengkurap adalah tidur yang tidak pantas kecuali dalam keadaan butuh. Sedangkan tidur dalam keadaan terlentang adalah tidak mengapa selama menjaga aurat tidak terbuka. Namun jika khawatir akan tersingkapnya aurat yaitu ketika mengangkat kedua kaki dan tidak memakai celana di bagian dalam jubah misalnya, maka itu tidaklah pantas. Namun kalau aman, maka tidaklah mengapa.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 346).
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarh Shahih Muslim mengenai hadits yang kita bawakan di atas bahwa para ulama berpandangan mengenai larangan hadits tidur terlentang dengan mengangkat kaki dimaksud untuk tidur yang sampai menyingkap aurat atau sebagian aurat. Adapun perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidak membuka aurat sama sekali. Seperti itu tidaklah masalah dan tidak pula dikatakan makruh.
Ada tulisan yang patut dikaji yaitu Adab Islami Sederhana Sebelum Tidur.
Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.Com sekalian. Moga keadaan tidur kita pun penuh berkah.
Disusun di Panggang, Gunungkidul, 23 Syawal 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Hukum Tidur Tengkurap

Bolehkah tidur tengkurap, di mana posisi perut di bawah?
Mengenai larangan tidur sambil tengkurap disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari Ya’isy bin Thokhfah Al Ghifariy, dari bapaknya, ia berkata,
فَبَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعٌ فِى الْمَسْجِدِ مِنَ السَّحَرِ عَلَى بَطْنِى إِذَا رَجُلٌ يُحَرِّكُنِى بِرِجْلِهِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ ضِجْعَةٌ يُبْغِضُهَا اللَّهُ ». قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Ketika itu aku sedang berbaring tengkurap di masjid karena begadang dan itu terjadi di waktu sahur. Lalu tiba-tiba ada seseorang menggerak-gerakkanku dengan kakinya. Ia pun berkata, “Sesungguhnya ini adalah cara berbaring yang dibenci oleh Allah.” Kemudian aku pandang orang tersebut, ternyata ia adalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Abu Daud no. 5040 dan Ibnu Majah no. 3723. Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Juga hadits lainnya,
عَنِ ابْنِ طِخْفَةَ الْغِفَارِىِّ عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ مَرَّ بِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا مُضْطَجِعٌ عَلَى بَطْنِى فَرَكَضَنِى بِرِجْلِهِ وَقَالَ « يَا جُنَيْدِبُ إِنَّمَا هَذِهِ ضِجْعَةُ أَهْلِ النَّارِ ».
Dari Ibnu Tikhfah Al Ghifari, dari Abu Dzarr, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di hadapanku dan ketika itu aku sedang tidur tengkurap. Beliau menggerak-gerakkanku dengan kaki beliau. Beliau pun bersabda, “Wahai Junaidib, tidur seperti itu seperti berbaringnya penduduk neraka.” (HR. Ibnu Majah no. 3724. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam kitab Nuzhatul Muttaqin (hal. 339), Syaikh Musthofa Al Bugho, dkk berkata bahwa tidur sambil tengkurap itu terlarang.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak pantas seseorang tidur tengkurap lebih-lebih lagi dilakukan di tempat yang terbuka. Karena jika orang banyak melihat tidur semacam itu, mereka tidak suka. Namun jika seseorang dalam keadaan sakit perut, dengan tidur seperti itu membuat teredam sakitnya, maka seperti itu tidaklah mengapa karena dilakukan dalam keadaan butuh.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 343)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ditanya, “Ada yang mengatakan bahwa tidur tengkurap itu diharamkan, apakah benar? Jika benar, apa yang mesti kulakukan karena aku tidak bisa tidur pulas melainkan dengan cara tidur sambil tengkurap. Tidur seperti itu lebih menyenangkan bagiku.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau melihat sebagian sahabatnya tidur tengkurap lantas beliau menggerak-gerakkan dengan kakinya, lantas beliau bersabda, “Ini adalah seperti berbaring yang Allah murkai.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Tidur seperti itu adalah berbaringnya penduduk neraka.” Berbaring seperti itu jelas terlarang sehingga sepantasnya ditinggalkan kecuali dalam keadaan darurat seperti karena sakit perut. Adapun jika bukan darurat, maka baiknya ditinggalkan. Minimal tidur seperti itu dihukumi terlarang (makruh) karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa tidur tersebut dimurkai oleh Allah. Namun kalau kita lihat secara tekstual hadits, tidur dalam keadaan tengkurap diharamkan. Oleh karenanya, mukmin laki-laki maupun perempuan hendaklah meninggalkan bentuk tidur semacam itu kecuali dalam keadaan darurat yang sulit dihindari.”(Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz)
Hanya Allah yang memberi taufik.
Disusun di Panggang, Gunungkidul, 17 Syawal 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Saturday, 30 August 2014

Dosa Besar Karena Pria Memakai Cincin Emas

Sebagian pria ada yang menggunakan perhiasan dari emas seperti pada cincin, gelang, kalung bahkan jam tangannya. Padahal memakai perhiasan emas seperti itu termasuk dosa besar.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِى يَدِ رَجُلٍ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ « يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِى يَدِهِ ». فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خُذْ خَاتَمَكَ انْتَفِعْ بِهِ. قَالَ لاَ وَاللَّهِ لاَ آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin emas pada seorang pria. Kemudian beliau melepaskannya lalu melemparkannya dan bersabda, “Kenapa seseorang dari kalian sengaja mengambil bara api dari neraka dan meletakkannya di tangannya?” Kemudian setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, lalu ada orang yang berkata kepada orang yang memiliki cincin tersebut, “Ambillah cincinmu. Manfaatkanlah cincin tersebut.” Orang itu menjawab, “Tidak, demi Allah saya tidak akan mengambil cincin ini selamanya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya.” (HR. Muslim no. 2090).
Hadits di atas menunjukkan bahwa bagi yang punya kuasa boleh mengingkari kemungkaran dengan tangannya. Kita pun bisa melihat bahwa para sahabat ketika mendengar perintah atau larangan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka langsung mematuhinya, bahkan mereka menanggapinya secara berlebihan sampai tidak mau mengambil sesuatu yang sudah dibuang padahal masih bisa dimanfaatkan. (Lihat Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin, hal. 109).
Sesuai maksud bahasan kita kali ini, memakai cincin emas bagi pria itu diharamkan. Bahkan memakainya termasuk dosa besar karena diancam akan dikenakan api neraka, na’udzu billah. (Lihat idem).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak boleh seorang pria mengenakan cincin dari emas dan juga tidak boleh menggunakan kalung dari emas. Begitu pula menggunakan baju yang berbahan emas. Seorang pria wajib menjauhi emas seluruhnya. Emas digunakan untuk berhias diri sehingga lebih layak digunakan oleh wanita sebagai perhiasan untuk suaminya.” (Syarh Riyadhis Sholihin, 2: 444).
Hanya Allah memberi taufik.
Selesai disusun di Pesantren Darush Sholihin, 25 Syawal 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Friday, 13 December 2013

Hukum Bertakziah Kepada orang Kafir


Ulama-rahimahumullah-berselisih tentang hukum bertakziah kepada orang kafir, para Imam berpendapat, seperti as-Syafii[1] dan Abu Hanifah[2] dalam sebuah riwayat darinya bahwa boleh seorang muslim ditakziahi oleh kafir dan sebaliknya, yakni kafir bukan kafir harbi.


Imam Ibnu Qudamah wafat (620 H) berkata [3]:
Ahmad bertawaquf tentang hukum takziah kafir dzimmi, dan terkait dengan hukum menjenguk mereka dan dalam masalah ini ada dua riwayat darinya : kita tidak menjenguk mereka, demikian juga kita tidak bertakziah kepada mereka berdasarkan sabda nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : janganlah mulai salam kepada mereka,
Menjenguk juga tercakup dalam hadits di atas,.
Riwayat kedua : kita boleh menjenguk mereka berdasarkan hadits anas bin Malik radhialllahu 'anhu ;
Dulu ada anak Yahudi yang menjadi pelayan nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang sakit dan kemudian nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjenguknya dan duduk disisi kepalanya dan berkata;
Islamlah,
Si anak berpaling kepada ayahnya dan ayah berkata: taatilah abul Qasim (nabi) Shallallahu 'alaihi wasallam
Kemudian anak itu masuk islam, kemudian nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.[4]
Berdasarkan hadits ini, kita boleh bertakziah kepada mereka.
Imam An-Nawawi (676 H) rahimahullah berkata: boleh seorang muslim untuk bertakziah kepada kafir dzimmi yang masih saudaranya Dan berkata:
أخلف الله عليك ولا نقص عددك[5].
Yang zhahir adalah hukumnya boleh bertakziah kepada mereka ketika mereka wafat, menjenguk mereka ketika sakit, dan membantu mereka mendapatkan musibah. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu sebelumnya.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga bahwa seorang yahudi mengundang Nabi untuk makan jamuan roti gandum, dan lemak maka beliau pun menghadirinya.[6]
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah; bahwasannya Abu Darda radhiallahu ‘anhu menjenguk tetangga yahudinya .[7]
Dan perlu diperhatikan bahwasannya hendaknya seorang muslim ketika melakukan hal demikian meniatkannya untuk berdakwah kepada mereka, melunakkan hati mereka untuk masuk islam, dan mendakwahi mereka dengan metode dan cara yang tepat.
Sebagaimana juga ketika bertakziah kita tidak mendoakan kepada mereka untuk diberi ampun, rahmat dan surga. Berdasarkan firman Allah ta’alaa:
ما كان للنبي و الذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانو أولي القربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم
Dan tidak patut bagi nabi dan orang-orang yang beriman untuk meminta ampun bagi kaum musyrikin walaupun mereka dari kerabat mereka, setelah jelas kedudukan mereka sebagai penduduk neraka.[8]
Yang diperbolehkan adalah berdoa yang sesuai dengan keadaan mereka, mendorong untuk bersabar, meredam duka, dan mengingatkan mereka bahwa hal tersebut merupakan ketetapan Allah terhadap makhluknya.
Imam Al-Albanni rahimullah berkata (wafat 1420 H) ketika ditanya tentang bertakziah kepada kafir dzimmi: “ya boleh”.[9]
Imam Al-albani memberikan catatan bahwa kebolehannya selama mereka bukan kafir harbi, musuh kaum muslimin, beliau rahimullah berkata setelah membawakan atsar dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhni radhialllahu 'anhu :
Bahwa ia (‘Uqbah bin Amir Al-Juhni) berjumpa dengan seseorang yang bertingkah seperti muslim, yang salam kepadanya, dan ia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhni pun membalas salamnya. Wa’alaikassalam Warahmatullah Wabarakatuh. Kemudia seorang anak berkata kepadanya; sesungguhnya orang itu nasrani. Maka ‘Uqbah bin Amir pun menyusulnya hingga ketika sampai kepadnya berkata: Sesungguhnya rahmat Allah dan berkahnya hanya untuk kaum mukminin saja, tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu, memperbanyak harta dan anakmu.[10]
Al-Albani rahimahullah berkata: di dalam atsar ini, terdapat isyarat dari sahabat yang mulia tentang bolehnya untuk mendoakan semoga panjang umur, walaupun kepada orang kafir, sementara bagi muslim lebih boleh lagi. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa itu bukan untuk kafir yang menjadi musuh kaum muslimin. Terkait dengan itu juga bolehnya bertakziah semacam itu berdasarkan atsar ini.[11]
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (wafat 1421 H/1999 M) rahimahullah tentang takziah kafir yang termasuk dalam kerabat atau temannya:
Takziah kafir bila salah seorang saudaranya atau kawan meninggal, tentang hukumnya diperselisihkan oleh ulama, di antara ulama ada yang berkata; takziah kepada mereka haram, dan yang lain berkata boleh. Dan di antara mereka ada yang memerinci dan berkata: seandainya ada mashlahatnya, seperti diharapkan masuk islam, atau mencegah kejahatan mereka yang tidak mungkin dilakukan kecuali dengan bertakziah kepada mereka, maka yang demikian boleh, bila tidak, maka haram. [12]
Yang rajih, apabila difahami dari takziah kepada mereka adalah pemuliaan kepada mereka maka haram hukumnya, bila tidak maka dilihat dari maslahatnya.
Lajnah addaimah berfatwa tentang hukum takziah kafir yang kerabat sebagai berikut:
Apabila maksud dari takziah kepada mereka untuk memberikan semangat kepada mereka untuk masuk islam, maka ini boleh, dan ini adalah maksud dari syariat, atau bila dimaksudkan dengannya untuk mencegah gangguan mereka terhadap dirinya atau kepada kaum muslimin. Dikarenakakan demi mashlahat umum maka dimaafkan bahaya yang parsial (لأن المصالح العامة الإسلامية تغتفر فيها المضار الجزئية).[13]
ظافر بن حسن آل جبعان
Diterjemahkan, Medan 27 November 2010.


[1] Al-Majmu’ (5/275)
[2] Hasiyah Ibnu ‘Abidin (3/140)
[3][3] Al-Mughni (3/486)
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Al-Janaiz bab bila seorang anak kecil masuk islam dan mati, apakah disholatkan (Fath 3/582-583 no. 1356) Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz dalam bab menjenguk kafir dzimmi  93/240 No 3095)
[5] Raudhotu at-Tholibin (2/145)
[6] Diriwayatkan Oleh Imam Ahmad (3/123), ini lafazhnya, diriwayatkan juga oleh al-Bukhari pada kitab al-Buyu’ bab pembelian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam secara tertunda,  (Al-fath  5/22 dengan nomor 2069), diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi dalam kitab al-Buyu’ Bab yang dirukhsakhkan dalam pembelian hingga waktu tertentu (3/511 nomor 1215) dan mengatakan “hasan shahih”, dikeluarkan juga oleh an-Nasai dalam kitab al-Buyu’ : bab ar-Rahn fil-Hadhr   (7/332-333 no. 4623)
[7] Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Janaiz : bab menengok Yahudi dan Nashara (3/238)
[8] Surat at-Taubah ayat 113
[9] Mausu’ah Al-fiqhiyah al-Muyassarah (4/185)
[10] Shahih al-adabul Mufrad, (Hal. 430 atsar No. 1112)
[11] Referensi sebelumnya
[12] Fatwa dalam ahkam al-Janaiz (hal. 353 pertanyaan nomor  317)
[13] Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al-Islamiyah wal ifta (9/132)

Source: Abu Shalih

Friday, 23 August 2013

Hukum Memakai Sepatu Atau Sandal High Heels


Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Soal:
Apa hukum memakai alas kaki yang memiliki hak tinggi (high heels) ?

Jawab:
Minimal hukumnya makruh. Karena :

1. Merupakan talbis (penyamaran fakta) karena seorang wanita jadi nampak tinggi padahal tidak demikian.

2. Menyebabkan bahaya bagi wanita yaitu rawan terjatuh.

3. Menimbulkan bahaya bagi kesehatan sebagaimana telah dinyatakan para dokter

Artikel Muslimah.Or.Id
Penerjemah: Yulian Purnama

Monday, 20 May 2013

Renungan Untuk Para Pelaku Bisnis


بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan sebuah kisah yang pantas untuk kita jadikan renungan.
Dikisahkan bahwa ada seorang ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya (yang membawa banyak harta dan barang dagangan). Tapi kemudian, (di tengah lautan) kapal tersebut rusak (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah (karena harta mereka tenggelam di laut) padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan, beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Kemudian ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri mereka, mereka bertanya kepada ulama tersebut: Apakah anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda? Maka ulama itu menjawab: “Iya, sampaikanlah kepada mereka: Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu (agama) sebagai (barang) perniagaan (kalian)”1.

Kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita semua tentang hakikat kemuliaan dan kebahagiaan yang seharusnya kita utamakan dalam kehidupan ini, yaitu kemuliaan yang selalu menyertai diri kita dalam semua perjalanan yang kita lalui sampai di akhirat nanti.

Adapun kemuliaan semu dan sesaat maka akan berakhir seiring dengan berakhirnya dunia ini dan itu sangatlah cepat terjadinya.
Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Hasyr:18).
Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata tentang ayat ini: “Senantiasa Tuhanmu (Allah Ta’ala) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok”2.

Cobalah renungkan nasehat berharga dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini: “Sesungguhnya bentuk-bentuk kebahagiaan (kemuliaan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam):

  1. 1. Kebahagiaan (kemuliaan) di luar zat (diri) manusia, bahkan kebahagiaan ini merupakan pinjaman dari selain dirinya, yang akan hilang dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan dengan harta dan kedudukan (jabatan duniawi).
    Kebahagiaan seperti ibaratnya seperti kebahagiaan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya tersebut maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!

  2. 2. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang kedua: kebahagiaan (kamuliaan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan tubuh, keseimbangan fisik dan anggota badan, keindahan rupa, kebersihan kulit dan kekuatan fisik. Kebahagiaan ini meskipun lebih dekat (pada diri manusia) jika dibandingkan dengan kebahagian yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan tersebut di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair:
    Wahai orang yang (hanya) memperhatikan fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu Padahal kamu (disebut) manusia dengan ruhmu bukan dengan tubuhmu
    3Inilah keindahan semu dan palsu milik orang-orang munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allah Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya:

    وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ

    Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh (penampilan fisik) mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan-akan kayu yang tersandar” (QS al-Munafiqun: 4).


    Artinya: mereka memiliki penampilan rupa dan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka4.

  3. 3. (Bentuk) kebahagiaan (kemuliaan) yang ketiga: inilah kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan rohani dalam hati dan jiwa manusia, yaitu kebahagiaan dengan ilmu yang bermanfaat dan buahnya (amalan shaleh untuk mendekatkan kepada Allah Ta’ala).
    Sesungguhnya kebahagiaan inilah yang menetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, dan menyertainya dalam semua perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam barzakh (kubur) dan alam tempat menetap (akhirat). Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan”5.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi renungan untuk kita semua, serta menjadi sebab untuk kebaikan diri kita di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 26 Shafar 1434 H

1 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107).
2 Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahfan” (hal. 152-Mawaaridul amaan).
3 Mulai dari sini sampai akhir paragraf ini adalah keterangan tambahan dari penulis.
4 Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/472), “Tafsir al-Qurthubi” (18/124-125) dan “Fathul Qadiir” (7/226).
5 Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/107-108).
 —
Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Monday, 21 January 2013

Jadilah Pemaaf Agar Diampuni Allaah


Oleh : Ustadz Kharisman

Abu Bakr as-Shiddiq pernah sangat marah dan hendak memutuskan pemberian bantuan kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah. Sebelumnya, sudah menjadi kebiasaan Abu Bakr memberi nafkah kepada Misthah yang miskin. Namun, suatu ketika pada saat tersebar berita dusta (fitnah) tentang ‘Aisyah – putri beliau- Misthah punya andil dalam menukil kabar dusta tersebut.
Ketika Abu Bakr sempat bersumpah untuk tidak akan memberi bantuan lagi kepada Misthah tersebut, turun firman Allah :

وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ…
Janganlah seseorang yang memiliki kelebihan dan kelapangan rezeki bersumpah untuk tidak memberi karib kerabat dan orang miskin serta muhajirin di jalan Allah…. (Q.S anNuur:22)
…وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hendaknya kalian memaafkan dan melupakan kesalahannya. Tidakkah kalian ingin Allah mengampuni kalian? Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S anNuur:22)
Ketika dibacakan ayat itu Abu Bakr as-Shiddiq kemudian berkata: Demi Allah aku sangat berharap Allah mengampuniku. Karena itu, Abu Bakr memaafkan Misthah dan terus melanjutkan pemberian bantuan kepada sepupunya yang miskin sekaligus termasuk dari kalangan Muhajirin tersebut. Abu Bakr memaafkan Misthah karena ia mengharapkan ampunan Allah, dan memang Allah menjanjikan ampunan kepada orang-orang yang memaafkan.

Kisah itu disebutkan dalam Shahih alBukhari. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala meridlai 2 Sahabat Nabi yang mulia tersebut, Abu Bakr as-Shiddiq –manusia terbaik setelah Nabi-, dan Misthah bin Utsatsah –seorang Muhajirin, bahkan ikut dalam perang Badr-. Misthah akibat perbuatannya telah dikenai hukum had. Had tersebut menyebabkan ia bersih dari dosa itu. Jangan sampai terbetik dalam benak kita celaan terhadap Misthah dan menganggap kita lebih baik dari beliau. Demi Allah, jikalau kita berinfaq emas, tidaklah bisa menandingi infaq yang dikeluarkan Misthah sebesar dua genggam tangan, atau bahkan setengahnya.
Kisah itu juga menunjukkan agungnya akhlak Abu Bakr as-Shiddiq. Beliau adalah orang yang bersegera memenuhi panggilan Allah untuk memaafkan. Beliau adalah orang yang bersegera tunduk dengan perintah Allah. Beliau tundukkan hawa nafsu enggan memaafkan karena telah tersakiti dan dikhianati, semata-mata mengharapkan ampunan Allah.
Pemaafan yang Memberikan Perbaikan
Tidak selalu pemberian maaf adalah terpuji. Pemberian maaf yang menghasilkan perbaikanlah yang terpuji. Yaitu, jika diberi maaf, orang tersebut akan berubah menjadi baik dan meninggalkan keburukannya.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ…
Barangsiapa yang memaafkan dan menghasilkan perbaikan, maka pahalanya di sisi Allah ….(Q.S asy-Syuuro:40)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan: Allah mempersyaratkan dalam pemaafan itu adalah adanya perbaikan. Hal itu menunjukkan bahwa jika sang pelaku tidak layak dimaafkan, dan maslahat syar’i mengharuskan pemberian hukuman, maka dalam hal semacam itu tidak diperintah untuk dimaafkan (Tafsir as-Sa’di 1/760)

Contoh : terjadi pembunuhan. Sang pelaku pembunuhan ini dikenal sebagai seseorang yang sudah sering membunuh dan terlihat tidak jera atas perbuatannya. Maka, orang semacam ini tidak berhak untuk dimaafkan, dan sebaiknya ditegakkan hukum qishash. Karena, jika dimaafkan, dikhawatirkan akan terjadi pembunuhan berikutnya.
Contoh lain: kecelakaan lalu lintas. Pelakunya dikenal sebagai orang yang selalu berhati-hati. Namun, pada waktu itu kecelakaan yang terjadi bukan karena kesengajaannya. Orang semacam ini sangat layak untuk mendapatkan maaf. Berbeda dengan orang yang dikenal ugal-ugalan di jalan. Sering mengakibatkan korban. Orang semacam ini perlu diberi pelajaran hukuman yang memberi efek jera, tidak harus selalu dimaafkan. Karena pemaafan yang diberikan padanya bukannya akan menghasilkan perbaikan, tapi justru bahaya bagi orang lain.
(dinukil dari Buku ‘Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat’ hal 104-107 karya Abu Utsman Kharisman)

Sumber : Salafy or id

Wednesday, 20 June 2012

Salah Kaprah Dengan Nama Kun-yah

ومن التعريف المبهم ما تسرب إلى قلب الجزيرة العربية من الأفاقين، إذا قيل له: من المتكلم؟ قال: أبو فلان.
فما عرفنا هذا من طريقة السلف، أنهم يعرفون الناس علي ذواتهم بالكني، وإنما يكون التعريف بجر النسب: فلان الفلاني.
كانوا يكتنون ليدعوهم الطالب بها.
هذا ما لم يشتهر الشخص بالكنية حتي قامت مقام الاسم، ومنها في الصحابة  رضي الله عنهم أبو بكر، أبو ذر، أم هانئ، رضي الله عنهم


Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah mengatakan, “Diantara bentuk memperkenalkan diri yang terlarang karena tidak jelas adalah sebuah kebiasaan yang menyebar di jantung Jazirah Arab berasal dari orang-orang non Arab, jika ditanyakan kepadanya “Siapa anda?” maka dijawab dengan “Abu Fulan”.

Kami tidak mengetahui hal semacam ini dilakukan oleh salaf, memperkenalkan diri sendiri dengan menggunakan nama kun-yah. Memperkenalkan diri itu dengan menyebutkan nasab, fulan yang berasal dari suku al fulan.

Salaf itu memiliki nama kun-yah dengan tujuan agar orang lain memanggil dirinya dengan nama kun-yah tersebut.

Ketentuan di atas berlaku selama orang tersebut tidaklah terkenal dengan nama kun-yah-nya sehingga nama kun-yah itu menggantikan fungsi nama nasab. Diantara orang yang kondisinya semacam itu dikalangan para shahabat adalah Abu Bakr, Abu Dzarr dan Ummu Hani’ [Adabul Hatif hal 18, terbitan Dar Alifa, Kairo Mesir cet pertama 1427 H].