Showing posts with label I'TIKAF. Show all posts
Showing posts with label I'TIKAF. Show all posts

Wednesday, 1 September 2010

I'tikaf Seperti Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam

1. Hikmahnya

Al 'Allamah Ibnul Qayyim berkata: “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqomah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah 'Azza wa Jalla tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah 'Azza wa Jalla secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan makan dan minum dengan berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkannya, menghalangi dan menghentikannya.


Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyari’atkan bagi mereka puasa yang menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hambaNya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah 'Azza wa Jalla, dan disyari’atkannya (I’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat kelak.


Dan disyari’atkannya I’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah meng-ingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepadaNya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semua kepada-Nya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan dengan berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur mankala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari I’tikaf yang agung itu”.163) [ Zaadul Ma’ad (2/86-87)]


2. Makna I’tikaf

Yaitu berdiam(tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai Mu’takif dan ‘Akif.164) [Al Mishbahul Munir (3/424) oleh Al Fayumi, dan Lisanul Arab (9/252) oleh Ibnu Mandhur.]

3. Disyari’atkannya I’tikaf

Disunnahkannya pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal.165)[ Riwayat Bukhari (4/226) dan Muslim (1173)]

Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam “Wahai Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), sesungguhnya aku ini pernah nadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf pada malam hari di Masjidil Haram.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nadzarmu.” Maka ia (Umar) pun beri’tikaf pada malam harinya. 166)[ Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656)]


Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sering beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang mana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beri’tikaf selama dua puluh hari. 167)[ Riwayat Bukhari (4/245]


Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam seringkali beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. 168) [Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari Aisyah]


4. Syarat-syarat I’tikaf

a. Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala: “Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu169) [ Yakni “Janganlah kamu menjimaki mereka”. Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zadul Masir (1/193) oleh Ibnul Jauzi]. (QS. Al Baqarah: 187)

b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid, pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu) sabda beliau Shalallahu 'alaihi wassalam : “Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja).”170) [Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan mengenai hal ini pada kitab yang berjudul Al Inshaf fi Ahkamil I’tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid]


c. Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beri’tikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radiyallahu 'anha yang telah disebutkan.171) [ Dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam Al Mushannaf (8037) dan riwayat (8033) dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas].


5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan:

a. Diperbolehkan keluar masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya), Aisyah Radiyallahu 'anha berkata: “Dan sesungguhnya rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang I’tikaf di masjid [“dan aku berada dalam kamarku”] kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: “aku cuci rambutnya”) [“dan antara aku dan beliau (ada) utbah pintu”] {“dan waktu itu aku sedang haidh”] dan adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf.”172) [hadits riwayat Bukhari (1/342) dan Muslim (297) dan lihat Mukhtasar Shahih Bukhari no.167 oleh Syaikh kami Al Albani rahimahullah dan Jami’ul Ushul (1/3451) oleh Ibnu Atsir].

b. Orang yang sedang I’tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam: “Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam berwudlu di dalam masjid dengan wudlu yang ringan.”173) [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih].


c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah Radiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf174) [Sebagaimana dalam shahih Bukhari (4/226)] dan hal ini atas perintah Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam 175) [Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)].


d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri’tikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam jika I’tikaf dihamparkan untuknya kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At Taubah.176) [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) an Al baihaqi, sebagaiman yang dikatakan oleh Al Bushiri dari dua jalan . Dan sanadnya hasan].


6.I’tikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid

a. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat I’tikaf, dan suaminya diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid.

Shafiyyah Radiyallahu 'anha berkata: “Dahulu Nabi (Shalallahu 'alaihi wassalam) (tatkala beliau sedang) I’tikaf [pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliau berdiri bersamaku untuk mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki-laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda: “Tenanglah177)[Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci], ini adalah Shafiyyah bintu Huyay (istri Rasulullah sendiri, red)” , kemudian keduanya berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah), ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam.”


Beliaupun bersabda: “Sesungguhnya syetan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelekan di hati kalian- atau beliau berkata: sesuatu-“178) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu daud (7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud)]


b. Seorang wanita boleh I’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian.


Berdasarkan ucapan Aisyah Radiyallahu 'anha: “Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Al mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau I’tikaf setelah itu.”179)[ Telah lewat takhrijnya] berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah-pent): “pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita I’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dali yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah Fiqhiyah: “ Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”



(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "I'tikaf". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) 
www.salafy.or.id

Hukum-Hukum Seputar I'tikaf dalam Pandangan Ulama'

Hukumnya

I’tikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang tahun, dalilnya adlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sedang kalian dalam kedaan I’tikaf di masjid”. (QS. Al-Baqarah :187)

Disertai hadist-hadist shahih tentang I’tikaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq. *(Dulu disini pada cetakan yang lalu ada hadist, dalam masalah keutamaannya “Barangsiapa beri’tikaf suatu hari…” kemudian aku hilangkan, karena di kemudian hari jelas bagi saya lemahnya. Telah saya takhrij dan saya komentari dengan rinci dalam kitab ”Silsilah Dhoifah” 5347. Saya singkap penyakitnya yang sempat tersamarkan kepada saya dan juga kepada Al Haistany sebelum saya).

Telah terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal *(Potongan dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat Bukhari Muslim dan Ibu Khuzaimah , dalam kitab shahih merekatelah ditahkrij dalam shahih Abu Dawud), dan ahwa Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk I’tikaf semalam di Masjidil Haram”? Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu”. (maka Umar I’tikaf semalam).*(riwayat Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dan tambahan itu pada Bukhari dalam ssebuah riwayat, seperti terdapat dalam “Mukhtasar Shahih Bukhari” (995) dan telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” juga no: 2136-2137).


Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya telah ditakhrij dalam sumber yang lalu no: 2126-2130).


Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah 2223 telah ditakhrij dalam Al-Irwa (996) dan “Shahih Abi Dawud” no :2125).

Syarat-syaratnya :
1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kalian melakukan jima’[1]dengan mereka sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid”). (Al Baqarah 187, Imam bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar :“ Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya I’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan I’tikaf secara ijma’, maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan I’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid). [“dan jangan kalian melakukan jima...” yakni “Jangan berjima’ dengan mereka “ ibnu Abbas mengatakan : kata (المبا شرة والملا مسة والمس) semuanya berarti jima’, akan tetapi Allah mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa yang Allah kehendaki. Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang perawinya terpercaya.]

Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Disunnahkan, bagi seorang I’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak I’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang I’tikaf untuk berpuasa. (Riwayat Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan, riwayat yang selanjutnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan telah di takhrij dalam Shahih Abu Dawud (2135) dan Irwa’ul Ghalil no 996.)

2. Dan hendaklah pada masjid jami’ agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena keluar untuk itu adalah wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang lalu dalam sebuah riwayat. (“…dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami'”.). (Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid’ah dan sesungguhnya termasuk bid’ah adalah I’tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah)”.

Kemudian saya dapati pada hadist yang shahih dan jelas yang mengkhususkan keumuman makna (masjid-masjid) yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa dengan hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid itu”). (Diriwayatkan oleh Thahawi, isma’ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij dalam “Silsilah shahihah” no :2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain. Dari apa yang saya sebutkan diatas dan semuanya shahih).

Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian sebagaimana yang telah saya dapati, adalah sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha’ rahimahullah. Akan tetapi ‘Atha’ tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Yang lain mengatakan masjid jami’ secara mutlak, tetapi yang lain menyelisihi mereka, dan mengatakan : ”Walaupun dalam masjid (atau mushala –pent) rumahnya”. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Subhanahu wa Ta’ala a’lam.

3. Disunnahkan untuk yang melakukan I’tikaf agar berpuasa sebagaimana yang lalu dari penjelasan Aisyah radhiyallahu ‘anha.[2]

Yang dibolehkan untuk orang yang berI’tikaf sbb :
a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri’tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya.” Dalam riwayat : “Lalu saya cuci kepalanya dan diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau dalam keadaan I’tikaf.” (Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya. Telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” (2131-2132) ).

b. Dibolehkan untuk seorang yang I’tikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid”. ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih).

c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam [3]. [Disebut “Khiba” salah satu bentuk rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3.”Nihayah”.] Jika beliau beri’tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam[4]. [Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat perbuatan ‘Aisyah itu diriwayatkan oleh Bukhari adapun yang menerangkan perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, ada pada riwayat Muslim. Telah lewat takhrijnya pada hal.34 pada catatan kaki no.39]. Dan pernah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam satu kali beri’tikaf di qubah (semacam payung –pent) kecil[5] [aitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. “Suddah” artinya semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang, sebagaimana yang dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan : supaya pikiran orang yang beri’tikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar mendapatkan maksud dan ruh dari I’tikaf itu, sebagaimana yang diucapkan Ibnu Qoyyim : “Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag bodoh dimana orang-orang beri’tika membuat semacam ruang tamu dan berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang I’tikaf Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda, red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar[6]].[Ini adalah ujung hadist Abu Sa’id Al-Khudri, riwayat Muslim dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya dan telah di Tahkrij dalam Shahih Abu Dawud no.1251]

Dibolehkannya Wanita beri’tikaf dan menengok suaminya di masjid
a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat I’tikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah Radhiyallahu ‘anha : “Ketika itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam katakan : “ Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah radhiyallahu ‘anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah radhiyallahu ‘anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” (istri Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan : “Subhanallah ! Wahai Rasulullah”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.”. (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud tambahan, terakhir pada hadist itu dikeluarkan oleh Abu Dawud, telah ditakhrij dalam shahih Sunan Abu Dawud ,2144-2134).

b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk I’tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Telah I’tikaf bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat”. (Riwayat Bukhari telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud no.2138, riwayat yang lain adlah riwayat Said bin Manshur seperti terdapat dalam “Fathul Bari”4/281. Akan tetapi Darimi menyebutnya “Zaenab” 1/22 Wallahu a’lam.)

‘Aisyah juga mengatakan : “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. (Riwayat Bukhari Muslim dan selain keduanya telah di takhrij hal.35, catatan kaki no.2)

Saya katakan : “Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita I’tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : “Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan)”.

3. Jima’ membatalkan I’tikaf berdasarkan firman Allah :
“Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I’tikaf (di masjid)”.

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Jika seorang yang I’tikaf melakukan jima’ bata; I’tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/920 dan Abdurrazzaq 4/363 dengan sanad yang shahih dan yang dimaksud dari kata (Ista’nafa) dalam lafadz 2 hadist adalah mengulangi I’tikafnya). Dan tidak ada kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu,
aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu.”

Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan-tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Shalawat dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang ummi, juga kepada keluarga dan sahabatnya.

(Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “I’tikaf”, Hal : 72 - 84 , Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)
www.salafy.or.id