Showing posts with label FATAWA. Show all posts
Showing posts with label FATAWA. Show all posts

Sunday, 15 December 2013

Peringatan Hari Ulang Tahun, Hari Ibu, Hari Jadi Pernikahan, Hari Valentine

Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi

Soal:
Apa hukum merayakan hari ulang tahun, hari ibu, dan hari jadi pernikahan?
Jawab:
Ini perayaan yang batil, ini merupakan perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dari syariat. Hari ulang tahun, hari ibu, hari pohon, hari Nairuz, semua ini adalah perilaku jahiliyyah. Dan juga merupakan kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani.
Dan tidak diperbolehkan juga seseorang memperingati hari kasih sayang (hari valentine, pent.). Ini juga merupakan peringatan yang sudah banyak menjalar di tengah kaum Muslimin, sehingga sebagian orang pada hari itu memakai baju merah, saling memberikan kado berwarna merah, memakan berbagai makanan tertentu. Semua ini mengikuti budaya kaum Nasrani. Ini semua batil dan merupakan kemungkaran yang besar. Karena dalam perayaan-perayaan ini terdapat unsur tasyji’ (dorongan) untuk mengikuti mereka. NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka” (HR. Abu Daud dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al Albani)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Minimalnya, hadits ini menghasilkan hukum haram, atau jika tidak, zhahir hadits ini menunjukkan kekufuran”.
Dan inilah yang dilakukan sebagian orang karena kelemahan dan kekurangan pada imannya. Mereka mencocoki kaum Nasrani dalam merayakan hari kasih sayang dengan memakan makan tertentu, memberi hadiah, memakai pakaian merah-merah, atau membuat kendaraannya tampak merah, demikian juga makanannya lalu saling memberi hadiah, saling bertukar ucapan selamat hari kasih sayang. Semua ini merupakan kebatilan dan kemungkaran. Dan semua ini juga merupakan maksiat yang besar yang menjauhkan seseorang dari Allah, bukan mendekatkan kepada-Nya. Dan perbuatan ini juga disukai setan, karena mencocoki kaum Nasrani dan juga musuh-musuh Allah. Maka wajib hukumnya untuk menghindari diri dari perbuatan tersebut, tidak boleh mengikuti kebiasaan mereka, baik dengan berpakaian merah, atau menghadiahkan bunga-bunga, atau menghadiahkan ucapan-ucapan, atau membuat makanan tertentu, dan wajib juga untuk tidak menerima semua pemberian ini. Semua ini adalah kebatilan. Wajib mengingkari dan memperingatkan orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, serta menjelaskan kepada mereka bahwa perbuatan itu batil dan merupakan maksiat yang besar dosanya yang membuat ia semakin jauh dari Allah bukan mendekatkannya.

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.Or.Id

Friday, 30 August 2013

Siapa Bilang Bekam Itu Sunnah?

Siapa Bilang Bekam Itu Sunnah?

Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah ditanya :

هل الحجامة داخلة في السنن الفعلية للنبيّ صلى الله عليه وسلم ؟
Apakah bekam termasuk dalam sunnah fi’liyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Syaikh hafidzahullah menjawab :

الحجامة مباحة, فهي علاج مباح لا يقال إنه سنة وأن الذي لا يتحجم تارك للسنة . . لا. هذا من المباحات والعلاج والأدعية من الأمور المباحات.
Bekam adalah perkara mubah. Ia termasuk pengobatan yang mubah. Tidak dikatakan bahwa ia sunnah, sehingga orang yang tidak melakukan bekam berarti telah meninggalkan sunnah. Tidak dikatakan demikian. Bekam termasuk perkara mubah. Dan pengobatan termasuk salah satu dari perkara mubah.

Sumber : مجلة الفرقان, العدد 467- الإثنين 9 ذو القعدة 1428 ه

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi hafidzahullah ditanya :

السؤال: ما هي الطريقة الصحيحة التي كان يفعلها رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحجامة؟
Bagaimana metode yang benar yang dilakukan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bekam ?

Beliau hafidzahullah menjawab :

الجواب: الحجامة دواء، كان النبي يستعملها للعلاج، كان يحتجم في رأسه عليه الصلاة والسلام، وهذه تختلف ولا يقتدى بالنبي فيها؛ لأن هذا من باب العلاج،
Bekam adalah pengobatan. Nabi dulu melakukan bekam untuk pengobatan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan bekam pada kepala beliau. Maka perkara bekam ini berbeda-beda dan tidak disyariatkan meneladani Nabi dalam perkara ini, karena bekam masuk dalam pengobatan.

فالإنسان يذهب إلى أهل الخبرة، ولا يحتكم إلا عند الحاكم؛ لأنه قد تضر الحجامة، وإذا كان محتاجاً إلى الحجامة يحتجم سواءً في الرأس أو في غيره،
Hendaknya seseorang datang kepada ahli bekam, dan jangan meminta hukum kecuali kepada ahlinya, karena boleh jadi bekam malah membahayakan. Jika dia memerlukan untuk bekam maka bisa bekam, baik pada kepala atau bagian tubuh lainnya.

وهذا ليس من التشريع حتى يقتدى بالنبي صلى الله عليه وسلم، احتجم عليه الصلاة والسلام من باب العلاج وليس من باب التشريع،
Maka bekam bukan perkara yang disyariatkan, sehingga dianjurkan untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara ini. Beliau melakukan bekam dalam rangka pengobatan bukan dalam rangka mensyariatkan

فكيف تسأل عن هذا وتريد أن تقتدي به في الحجامة؟ لا؛ لأن الأحوال تختلف، إذا كنت محتاجاً إلى الحجامة، وقال أهل الخبرة: إنك محتاج إلى أن تحتجم، سواءً في الرأس أو في الظهر، أو في الفخذ أو في أي مكان فعلى حسب ما يقوله أهل الخبرة.
Maka bagaimana Engkau bertanya tentang perkara ini dan Engkau ingin meneladani Nabi dalam masalah bekam ? Tidak, keadaan seseorang itu berbeda-beda. Jika Engkau membutuhkan bekam dan ahli bekam berkata : Engkau butuh melakukan bekam, (maka boleh bekam) Sama saja di kepala, punggung, paha atau tempat lainnya sesuai dengan yang dikatakan orang yang sudah berpengalaman.


[Source: Abu Karimah]

Friday, 23 August 2013

Hukum Memakai Sepatu Atau Sandal High Heels


Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Soal:
Apa hukum memakai alas kaki yang memiliki hak tinggi (high heels) ?

Jawab:
Minimal hukumnya makruh. Karena :

1. Merupakan talbis (penyamaran fakta) karena seorang wanita jadi nampak tinggi padahal tidak demikian.

2. Menyebabkan bahaya bagi wanita yaitu rawan terjatuh.

3. Menimbulkan bahaya bagi kesehatan sebagaimana telah dinyatakan para dokter

Artikel Muslimah.Or.Id
Penerjemah: Yulian Purnama

Monday, 21 January 2013

Fatwa – Fatwa Yang Berkaitan Dengan Darah Wanita ( bag 1)


Batasan usia haid
Fadhilatusy Syaikh ( Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin)  -semoga Allah Subhanahuwata’ala meninggikan derajatnya bersama orang – orang yang mendapatkan petunjuk ditanya tentang pembatasan sebagian ahli fiqih bahwa awal haid dimulai usia 9 tahun dan akhir haid pada usia 50 tahun. Apakah ada dalil akan pembatasan tersebut?
Beliau menjawab :
Penentuan Bahwa awal haid dimulai usia 9 tahun dan akhir haid pada usia 50 tahun tidak ada dalil padanya. Yang benar, jika seorang wanita melihat darahnya yang dikenal di kalangan wanita bahwa itu adalah darah haid, maka dia haid berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى
“ dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid katakan : dia adalah sesuatu yang kotor…( Al Baqarah : 222 )
Allah mengaitkan hukum dengan keberadaan darah haid tersebut dan tidak membatasi  dengan usia tertentu. Maka wajib untuk kembali kepada perkara yang dengannya dikaitkan hukum, yaitu keberadaan darah. Sehingga kapan saja didapati darah haid maka berlaku hukum – hukum haid padanya. Dan kapan saja tidak mendapatinya maka tidak berlaku hukum haid padanya.
Sehingga kapan saja seorang wanita yang keluar darah haidnya maka dia haid walaupun usianya belum genap 9 tahun atau sudah melewati 50 tahun. Karena suatu pembatasan butuh kepada dalil, dan ternyata tidak ada dalil dalam perkara ini.
Keluar darah setelah melewati usia 50 tahun
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang seorang wanita yang telah melewati usia 50 tahun, kemudian keluar darah dengan sifat yang dikenal ( sebagai sifat darah haid ) sedangkan wanita yang lain melewati usia 50 tahun, kemudian keluar darah tanpa sifat yang dikenal, akan tetapi berwarna kuning atau keruh ?
Beliau menjawab
Seorang wanita yang mendapati darah dengan sifat yang dikenal maka darahnya darah haid yang benar – benar berdasarkan pendapat yang kuat. Karena tidak ada batasan usia maksimal seorang mengalami haid. Dengan dasar itu maka berlaku hukum – hukum haid yang sudah dikenal terkait dengan keluarnya darah tersebut, seperti menjahui shalat, puasa dan berjima’ serta berkewajiban baginya untuk mandi ( ketika selesai haidnya ) dan lain sebagainya.
Adapun jika cairan yang keluar tersebut berwarna kuning atau keruh, jika terjadi di masa biasanya mengalami haid maka berarti darah haid. Apabila jika terjadinya di luar masa biasanya mengalami haid maka bukan darah haid. Adapun jika darah tersebut darah haid yang dikenal, akan tetapi datangnya maju atau mundur dari biasanya, maka maju atau mundurnya tersebut tidak berpengaruh terhadap haidnya, bahkan dia hendaknya duduk ( tidak shalat dan tidak puasa –pen) jika datang haidnya dan dia harus mandi jika sudah berhenti haidnya.
Adapun menurut madzab ( Hambali ) tidak terjadi  haid setelah usia 50 tahun walaupun darah yang keluar berwarna hitam seperti biasa ( pada masa haid –pen),maka tetap wanita tersebut puasa dan shalat dan tidak melakukan mandi ketika berhenti darahnya. Akan tetapi pendapat ini tidak benar.
Haid wanita hamil.
Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang darah yang keluar dari wanita yang sedang hamil ?
Beliau menjawab :
Wanita hamil tidak mengalami haid, sebagaimana pendapat Al Imam Ahmad rahimahullah. Hanyalah para wanita diketahui mengalami hamil dengan berhenti haidnya.
Sedangkan darah haid, sebagaimana keterangan para ulama. Allah menciptakannya hikmahnya sebagai sumber makanan bagi janin di dalam perut ibunya. Jika terjadi kehamilan maka berhentilah darah haidnya.
Akan tetapi sebagian wanita terkadang terus mengalami haid sebagaimana sebelum  hamilnya, maka darah yang keluar tersebut dihukumi sebagai darah haid yang sebenarnya. Karena haidnya tetap datang sebagaimana biasanya dan tidak berpengaruh haidnya dan tidak berpengaruh dengan kehamilanya.
Sehingga dengan haidnya tersebut menjadi penghalang baginya dari setiap perkara yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang haid dalam keadaan tidak hamil, dan mewajibkannya setiap perkara yang wajib dilakukan oleh orang yang sedang haid, serta menggugurkannya setiap perkara yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang sedang haid.
Kesimpulannya darah yang keluar dari wanita yang sedang hamil ada dua macam :
1. Darah yang dihukumi sebagai darah haid. Jika darah tersebut keluar sebagaimana kebiasaan dia sebelum hamil. Karena kejadian tersebut sebagai dalil bahwa kehamilannya tidak mempengaruhi haidnya sehingga darah tersebut di hukumi darah haid.
2. Darah yang muncul pada seorang yang hamil, bisa karena suatu peristiwa, karena mengakat sesuatu atau karena jatuh atau sebab – sebab lainya. Maka darah tersebut bukan darah haid, tetapi darah yang keluar dari urat. Maka keluarnya darah tersebut tidak menghalanginya dari shalat, juga puasa. Dan wanita tersebut dalam hukum wanita pada masa sucinya.
Batasan lamanya haid
Fadhilatusy Syaikh ditanya apakah ada batasan yang  jelas minimal ataupun maksimal berapa hari seorang mengalami haid ?
Beliau menjawab
Menurut pendapat yang benar tidak ada batasan minimal atau maksimal beberapa hari seorang wanita yang mengalami haid. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ
“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakan  : Dia adalah suatu yang kotor, maka jauhilah wanita yang sedang haid. Dan jangan kalian dekati hingga mereka suci ( Al Baqarah : 222 )
Allah tidak menjadikan batas larangannya berdasarkan hari – hari tertentu, akan tetapi batasannya adalah ketika wanita tersebut suci dari haidnya. Maka hal ini menunjukkan alasan hukum larangan tadi adalah ada atau tidak adanya darah haid. Kapan saja darah haid tersebut keluar, maka berlaku hukum haid, jika suci dari darah tersebut maka hilang pula hukum haid darinya.
Juga tidak ada dalil akan pembatasan jumlah darah haid, sementara keterangan akan perkara tersebut sangat dibutuhkan. Kalau seandainya pembatasan haid dengan umur tertentu atau bilangan hari tertentu adalah perkara yang ditetapkan oleh syariat, niscaya perkara tersebut diterangkan di dalam kitabullah dan sunnah Nabi.
Berdasarkan keterangan di atas, kapan saja seorang wanita mendapati darah yang dikenal di kalangan wanita sebagai darah haid tanpa dibatasi dengan waktu tertentu, kecuali jika darah tersebut terus  – menerus keluat atau terhenti dalam waktu singkat seperti sehari atau dua hari dalam sebulannya, maka dengan keadaan tersebut dihukumi sebagai darah istihadhah.
( diambil dari buku Problema Darah Wanita, Ash Shaf Media)

Sumber : Salafy or id

Friday, 27 May 2011

Sebaik-baik Shof Wanita Adalah Yang Paling Belakang

Oleh: Syaikh Muhammad Ali Farkus hafidzohulloh


Pertanyaan:
Jika para wanita mendirikan sholat jama’ah diantara mereka sendiri, apakah keutamaan shof akhir bagi mereka tetap berlaku? Ataukah shof awal yang lebih utama?
Jawaban:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
Hadits yang menjelaskan tentang shof wanita bahwa yang paling baiknya adalah yang paling belakang dikarenakan banyaknya ganjaran, keutamaan dan jauhnya dari bercampur-baur dengan laki-laki serta sebaliknya tercelanya shof pertama, yang zhohir dalam hadits tersebut adalah tetap berlaku keumumannya (yakni shof terbaik adalah yang paling belakang, pent) jika para wanita sholat berjama’ah bersama para laki-lakibaik dengan adanya pembatas/hijab yang memisahkan antara wanita dan laki-laki ataupun tidak adanya hijab tersebut.
Adapun jika para wanita sholat berjama’ah diantara mereka sendiri terpisah dari laki-laki (tidak berjamaah bersama laki-laki, pent), makabaik-buruknya shof wanita sama hukumnya dan penerapannya dengan shof laki-laki dari sisi banyaknya pahala pada shof yang pertama dan tidak afdolnya shof yang terakhir. Dan yang juga menunjukkan bahwa keutamaan ada di shof pertama adalah pada kondisi ketika seorang wanita mengimami para wanita lainnya, dimana ia berdiri di tengah-tengah mereka pada shof pertama, kemudian dibelakangnya shof-shof berikutnya yang lebih rendah pahala dan keutamaannya. Dan telah tsabit (shohih) dari Aisyah rodhiyallohu anha bahwa beliau mengimami para wanita pada sholat wajib, dan beliau mengimami di tengah-tengah mereka[1]. Demikian pula Ummu Salamah rodhiyallohu anha pada sholat ‘Ashar, beliau berdiri ditengah-tengah shof mereka[2].
An-Nawawi rohimahulloh berkata: “Adapun shof laki-laki, maka ia berlaku sebagaimana keumumannya. Selama-lamanya yang terbaik adalah yang pertama dan yang terburuk adalah yang terakhir. Adapun shof wanita, maka yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah shof wanita yang sholat bersama laki-laki, dan jika mereka sholat berjama’ah secara terpisah tidak berjama’ah bersama laki-laki,maka hukum shof mereka seperti laki-laki dimana sebaik-baik shof mereka adalah yang pertama dan yang terburuk adalah yang terakhir. Dan yang dimaksud shof terburuk bagi laki-laki dan wanita adalah yang paling sedikit pahala dan keutamaannya serta yang paling jauh dari tuntutan syari’at, dan kebalikannya adalah shof yang pertama. Dan keutamaan shof terakhir bagi wanita yang sholat bersama laki-laki dikarenakan jauhnya mereka dari bercampur baur dari laki-laki, dan dari melihat mereka, dan ketertarikan hati ketika melihat gerakan mereka dan mendengar perkataan mereka dan yang selainnya dan keburukan shof yang pertama bagi wanita adalah karena sebaliknya.”[3]
Aku katakan: dan makna alasan an-Nawawi bahwa keburukan shof wanita dikarenakan dekatnya mereka dengan laki-laki  dari segi ikhtilath (campur baur, pent) dan fitnah, akan tetapi alasan ini – jika memang ini merupakan pendapat beliau- bertentangan dengan sikap Rosululloh shollallohu alaiki wa sallam yang tidak melakukan saddu adz-dzari’ah (menutup pintu wasilah kepada keburukan, pent) terhadap adanya ikhtilath dan fitnah di masjid dengan tidak meletakkan hijab yang benar-benar memisahkan shof laki-laki dan wanita dengan alasan ikhtilath dan fitnah. Dan Nabi shollallohu alaihi wa aailihi wa sallam telah menunaikan amanah dakwah dengan sebaik-baik penyampaian dan menegakkan kewajiban menasihati ummat dengan sempurna, dan beliaupun tidak meninggalkan satu perkarapun dari perkara agama ini –baik yang besar ataupun yang kecil- melainkan beliau telah sampaikan kepada ummatnya. Alloh ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” [QS al-Ma`idah 67]
Oleh karena itu, masalah ini tidak keluar dari dua masalah:
  • Bisa jadi Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melihat adanya maslahat yang lebih besar dengan tidak dipasangnya hijab yang memisahkan jama’ah sholat laki-laki dan wanita dengan adanya mafsadah berupa ikhtilath dan fitnah.
  • Atau hukumnya bersifat ta’abbudi (murni peribadatan) untuk suatu hikmah yang diketahui Alloh ta’ala, dan tidak diketahui oleh akal kita yang terbatas.
Dan yang lebih selamat dalam masalah ini adalah mengamalkan nash yang ada tentang keutamaan shof laki-laki dan seburuk-buruk shof wanita jika mereka sholat berjama’ah bersama laki-laki secara mutlak, baik dengan ada hijab pemisah ataupun tidak ada hijab pemisah. Berbeda jika para wanita sholat berjama’ah secara terpisah (tidak berjama’ah dengan laki-laki), maka hukum shof mereka sama dengan shof laki-laki.
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا.
Al-Jjazair, 18 Sya’ban 1426 H
Bertepatan dengan: 2 Oktober 2005 M
___________________
Catatan kaki:
[1]- Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrok (731), al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro (5393), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (4945), dan Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf (5083).
[2]- Diriwayatkan Muslim dalam al-Hajj bab Hajjatun Nabi shollallohu alaihi wa alihi sallam (2950), Abu Dawud dalam al-Manasik bab Sifatu Hajjatin NAbi (1905), an-Nasa’i dalam ath-Thoharoh bab ma taf’al an-nufasa’ indal ihrom (291), Ibnu Majah dalam al-Manasik bab Hajjatu Rosulillah (3074), dan ad-Darimi dalam Sunan-nya (1854) dari hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu anhuma.
[3]- Syarah Muslim oleh an-Nawawi (4/159-160).
***
Diterjemahkan dari Web resmi Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad bin Ali Farkus Hafidzohulloh, http://www.ferkous.net/rep/Bd103.php dengan diedit berupa penebalan & garis bawah pada tempat-tempat yg kami anggap perlu. ummushofi.wordpress.com.
***
في أفضلية صفوف النساء إذا صلين لوحدهنالسـؤال:
إذا أقامت النساءُ جماعةً لوحدهنَّ، فهل تبقى أفضليةُ الصف الأخير في حقهنَّ قائمة؟ أم يصبح الصفُّ الأول فاضلاً؟
الجـواب:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
فالحديثُ الوارد في بيان صفوفِ النساءِ أنَّ خَيْرَهَا آخرُها لكثرة الثواب والفضلِ والبعدِ عن مخالطة الرجال، وذُمَّ أوَّلها لعكس ذلك فإنَّ الظاهرَ منه بقاءُ عمومِه إذا صَلَّيْنَ مع الرِّجال سواء مع وجود حائلٍ يفصلُ بين النساء والرجال أو مع انعدامه.
أمَّا إذا صَلَّيْنَ لوحدهنَّ متميِّزاتٍ من غير وجود الرجال معهنَّ، فإنَّ خيريةَ الصفوفِ من شرِّها تأتي موافِقةً للرجال في الحُكم ومطابقةً لهم من حيث كثرةُ ثوابِ الصفوف الأولى وقِلة فضل الأخيرة، ويَدلُّ على أنَّ الخيريةَ والأفضليةَ لا تخرج عن الصفوف الأولى كون المرأة إذا أَمَّتِ النساءَ تقوم بَينهُنَّ في وسطهن من الصف الأول، ثمّ تليها الصفوف الأخرى من جهة الثواب والأفضلية، وقد ثبت عن عائشة رضي الله عنها «أَنَّهَا أَمَّّتْ نِسْوَةً فِي المَكْتُوبَةِ فَأَمَّتْهُنَّ بَيْنَهُنَّ وَسَطًا»(١)، وكذلك أُمُّ سلمةَ رضي الله عنها في صلاة العصر قامت بينهنَّ(٢).قال النووي -رحمه الله-: «أَمَّا صفوفُ الرِّجال فهي على عمومها فخيرها أولها أبدًا وشرُّها آخرها أبدًا، أمَّا صفوفُ النساء فالمراد بالحديث صفوف النساء اللواتي يُصلِّينَ مع الرِّجال، وأمَّا إذا صَلَّينَ متميِّزات لا مع الرجال فهنَّ كالرجال خير صفوفهنَّ أوَّلها وشرُّها آخرها. والمراد بشرِّ الصفوف في الرجال والنساء أقلّها ثوابًا وفضلاً وأبعدها من مطلوب الشرع، وخيرها بعكسه، وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهِنَّ من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك، وذم أول صفوفهن لعكس ذلك»(٣).
قلت: ومعنى تعليل النووي بأنَّ شرَّ صفوف النساء فلأجل قُربهنَّ من الرجال على وجه المخالطة والفتنة، وهذا التعليل -وإن كانت له وجاهته- إلاَّ أنّه قد يعكِّر عليه عدم سدِّه صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم لذريعة المخالطة والفتنة في المسجد بوضع حائل يفصل بين صفوف الرجال والنساء قطعًا للمخالطة والفتنة، ولما كان النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قد أَدَّى أمانة الدعوة والتبليغ خير أداء، وقام بواجب نصح الأُمّة أتمَّ القيام فلم يترك أمرًا من أمور الدين صغيرًا كان أو كبيرًا إلاّ بلغه لأمته، قال تعالى: ﴿يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ﴾ [المائدة: 67].
وعليه، فإنّ هذه المسألة لا تخرج عن أمرين:- إمَّا أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم رأى مصلحةً غالبةً في عدم وضع حائلٍ فاصلٍ بين الذكور والإناث على مفسدة المخالطة والفتنة.
- وإمّا أن يكون ورد الحكم تعبّدًا لحكمة يعلمها الله تعالى، وغابت عن عقولنا القاصرة.
والأسلم في ذلك العمل بالنصّ الوارد في خير صفوف الرجال وشرّ صفوف النساء إذا صلين مع الرجال مطلقًا سواء بوجود حائل فاصل أو مع عدم وجوده. بخلاف ما إذا صلين متميّزات لوحدهنّ فإنّ حكمَ صفوفهنّ كصفوف الرجال.
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا.الجزائر في 18 شعبان 1426ﻫ
الموافقﻟ: 2 أكتوبر 2005م

١- أخرجه الحاكم في «المستدرك»: (731)، والبيهقي في «السنن الكبرى»: (5393)، وابن أبي شيبة في «المصنف»: (4945)، وعبد الرزاق في «المصنف»: (5083).
٢- أخرجه مسلم في «الحج»، باب حجة النبي صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: (2950)، وأبو داود في «المناسك»، باب صفة حجة النبي: (1905) والنسائي في «الطهارة»، باب ما تفعل النفساء عند الإحرام: (291)، وابن ماجه في «المناسك»، باب حجة رسول الله: (3074)، والدارمي في «سننه»: (1854)، من حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنهما.
٣- «شرح مسلم» للنووي: (4/159-160).




http://ummushofi.wordpress.com/2010/12/13/sebaik-baik-shof-wanita-adalah-yang-paling-belakang/


Artikel Ummu Zakaria

Apakah Sholat Dhuhur Bagi Wanita Pada Hari Jum’at Harus Menunggu Selesainya Sholat Jum’at?

Beberapa waktu yang lalu ana mengunjungi nenek ana yang kebetulan sedang berada di rumah paman ana. Kebetulan waktu itu adalah hari jum’at. Setelah adzan jum’at selesai nenek ana bertanya : “Saiki wis oleh sholat dhuhur nduk? (Apa sekarang sudah boleh sholat dhuhur, nak?)”
Ana menjawab “Inggih, sampun mbah (Iya, sudah mbah)”,
Lalu nenek ana memanggil pembantu untuk mengantarnya wudhu…
Pembantu tersebut berkata : “sholat jum’ate dereng mantun, dereng angsal sholat mbah..(sholat jum’at belum selesai, belum boleh sholat mbah)”
Lalu nenek ana berkata : “Ora popo jare Nana wis oleh..(gapapa kata Nana udah boleh)”…
Memang dahulu ana sering mendengar pemahaman seperti itu di daerah asal ana. Lalu bagaimana sebenarnya? Apakah hal tersebut ada asalnya dari Qur’an dan Sunnah? Simak fatwa syaikh bin Baz rohimahulloh berikut ini…
***
Oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahulloh
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya bagi sebagian wanita yang mengakhirkan sholat dhuhur pada hari jum’at sampai selang beberapa lama setelah sholat jum’at selesai? Tolong beri tahu kami tentang hal tersebut.
Jawaban:

Hal ini tidak ada asalnya, Itu hanyalah kejahilan mereka. Jika mu’adzin telah adzan atau matahari telah zawal (condong kearah barat) maka pada saat itu boleh bagi wanita untuk sholat dhuhur di rumahnya empat roka’at dan tidak ada hubungannya dengan sholat jum’at.
Dia sholat di rumahnya empat roka’at setelah zawal, walaupun orang-orang belum selesai mengerjakan sholat jum’at. Tidak ada kewajiban baginya untuk menunggu sholat jum’at selesai. Ia sholat dhuhur di rumahnya empat roka’at pada hari jum’at. Dan tidak ada hubungannya dengan sholat jum’at.
Akan tetapi jika ia ikut sholat jum’at dengan orang-orang di masjid maka hal itu sudah cukup baginya. Ia sholat dengan mereka dua roka’at dan hal itu telah mencukupinya dari sholat dhuhur. Seandainya ia menghadiri sholat jum’at dan sholat dengan orang-orang maka telah mencukupinya dari sholat dhuhur.
Namun bila ia sholat di rumah maka ia sholat empat roka’at, baik pada waktu yang bersamaan dengan imam sholat jum’at, setelah ataupun sebelum sholat jum’at jika mereka telat dari waktu zawal. Tapi sholat dhuhurnya ia harus setelah zawal karena sholat dhuhur waktunya adalah setelah zawal.
Jadi jika ia sholat setelah zawal maka sholatnya sah baik bersamaan, setelah ataupun sebelum ditegakkannya sholat jum’at.
***
***
ما الحكم في أن بعض النساء يؤخرن صلاة الظهر يوم الجمعة إلى بعد صلاة الجمعة بوقت طويل؟ فأفيدونا بذلك؟
ليس لهذا أصل، إنما هو جهل منهن فإذا أذن المؤذن أو زالت الشمس فهنا تصلي في بيتها الظهر أربع ركعات وليس لها شأن في الجمعة، تصلي في بيتها أربع ركعات بعد الزوال ولو صاحب الجمعة تأخر، ليس عليها أن تنتظر الجمعة، تصلي في بيتها الظهر أربعاً يوم الجمعة، وليس لها شأن في الجمعة، لكن لو شهدت الجمعة مع الناس في المسجد كفاها، صلت معهم ركعتين وكفاها عن الظهر، لو حضرت الجمعة وصلت مع الناس الجمعة سدتها عن الظهر، لكن إذا صلتها في البيت فإنها تصليها أربعاً سواءً مع صلاة الإمام الجمعة أو بعده أو قبله إذا تأخر عن الزوال، لا بد أن يكون بعد الزوال، لأن الظهر وقتها بعد الزوال، فإذا صلت إلى بعد الزوال فإن صلاتها صحيحة سواء وافقت صلاة الإمام الجمعة أو بعده أو قبله.
________________
Catatan: Terjemahan fatwa syaikh bin Baz di atas kata-katanya banyak yg berulang-ulang karena fatwa ini adalah transkrip rekaman, jadi ya gaya bicaranya gaya orang ngomong & bukan gaya tulisan, harap dimaklumi.




dari: http://ummushofi.wordpress.com/


Artikel Ummu Zakaria

Friday, 6 May 2011

Benarkah Video Malaikat Ka’bah?


يتناقل كثير من المسلمين مقطع فيديو عنوانه كاميرا الحرم تصور ملائكة تنزل من السماء ، ويزعمون فيه ظهور الملائكة. فنرجو تعليقكم على ذلك أثابكم الله؟
Pertanyaan, “Banyak kaum muslimin yang mengedarkan potongan rekaman video dengan judul ‘Kamera Masjidil Haram Memotret Malaikat yang Turun dari Langit’. Mereka beranggapan bahwa dalam rekaman video tersebut terdapat penampakan malaikat. Kami mengharapkan komentar anda mengenai hal ini”
الإجابة
الحمد لله، ولا حول ولا قوة إلا بالله، هذا المقطع كذب فاضح، لعله من ألاعيب شبكة ملاحدة العرب، أو من صنع الرافضة، فالموضوع متداول بكثرة في منتديات الروافض، كما يظهر من البحث في غوغل.
والكاميرا كما هو واضح ليس كاميرا التصوير الرسمي في الحرم، بل أحد الأشخاص صور في الداخل، وفي نفس اللحظة صور شخص آخر في الخارج وهو يقف عند سيارة باص.
فكيف اتفق الشخصان على تسجيل تلك اللحظة الخاطفة؟
Jawaban Syaikh Abdul Haq at Turkumani, “Cuplikan video tersebut jelas murni rekayasa. Boleh jadi itu adalah permainan situs-situs yang menyimpang atau buatan orang-orang syiah karena cuplikan video tersebut tersebar luas di forum-forum orang Syiah di dunia maya sebagaimana bisa kita ketahui dengan searching di google. Sebagaimana diketahui bersama bahwa kamera tersebut tentu saja bukanlah kamera resmi yang terpasang di Masjidil Haram namun ada seseorang yang memotret dalam posisi orang tersebut berada di dalam Masjidil Haram. Dalam detik yang sama ada orang lain yang memotret momen tersebut dari luar masjidil haram tepatnya di samping sebuah bis yang berada di luar masjidil haram. Bagaimana mungkin ada dua orang yang bersamaan memotret momen yang sangat singkat tersebut??
وإذا كانا صورا المقطع فعلاً ـ فكيف تمكنا من التعارف واكتشاف اللقطة في جوال كل واحد منهما، ثم جمع المقطعين في مقطع واحد!!
يا له من كذب ذي قرون!
Jika memang keduanya secara real memotret kejadian tersebut lalu bagaimana mungkin keduanya saling mengenal dan memperlihatkan hasil jepretan kamera yang ada di masing-masing HP mereka lalu mereka berdua menggabung hasil bidikannya tersebut ke dalam satu video.
ثم لماذا الملائكة تنزل بالذات على البيت المعظم وبهذا الشكل الغريب ثم ترجع بسرعة؟ ولا تنزل على المصلين أو حولهم كما ورد في الأحاديث؟!
وعقيدتنا أهل الإسلام أن الملائكة تنزل في الليل والنهار وفي المساجد وأماكن الذكر والقرآن، لكنا لا نراهم قطعًا لا بالكاميرا ولا بغيرها.
Kemudian mengapa para malaikat secara khusus turun ke Ka’bah dan dengan cara yang aneh seperti itu kemudian secara kembali dengan demikian cepat namun tidak turun kepada orang-orang yang shalat atau turun di sekeliling orang-orang yang mengerjakan shalat sebagaimana terdapat dalam berbagai hadits? Kaum muslimin berkeyakinan bahwa para malaikat itu turun di waktu malam ataupun siang, di masjid dan tempat-tempat orang yang berzikir atau membaca al Qur’an meski kita tidak melihat para malaikat tersebut baik dengan kamera ataupun piranti lainnya.
وإيماننا بالملائكة تبع لإيماننا بالله وبرسوله وكتابه، فلا نحتاج إلى رؤيتهم ولا إلى اختلاق الكذب في رؤيتهم لتثبيت الإيمان بهم في النفوس، فمن لم ينفعه كتاب الله وسنة رسوله فلا نفعه الله.
Keimanan kita terhadap adanya para malaikat adalah turunan dari keimanan kita terhadap Allah, rasul-Nya dan kitab suci yang Allah turunkan. Kita tidak perlu melihat malaikat atau membuat berita bohong tentang kejadian melihat malaikat untuk mengokohkan iman terhadap adanya para malaikat. Siapa saja yang tidak beriman dengan keterangan al Qur’an dan sunnah rasul-Nya maka hal apapun tidak akan mempengaruhi keyakinannya.
علما أن هذا المقطع لا يوجد في أي موقع محترم موثق.
Suatu hal yang patut kita cermati bahwa potongan rekaman video tersebut tidaklah dijumpai dalam situs ilmiah dan tepercaya.
ويجب أن لا ننسى أن دعوى نزول الملائكة بهذا الشكل تتردد كثيرا في الكنائس النصرانية، وعند الرافضة.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa klaim turunnya para malaikat dengan bentuk semacam ini sering kali terjadi di gereja dan kalangan orang-orang Syiah.
ولا يعذر أحد بنشر هذا الكذب ثم التعليق عليه بعبارة (الله أعلم)، فإن ناشر الكذب مشارك فيه، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع) أخرجه مسلم في الصحيح.
Mencantumkan kalimat “wallahu a’lam mengenai kebenarannya” setelah mencantumkan potongan rekaman video tersebut bukanlah alasan yang bisa membenarkan perbuatannya karena orang yang ikut-ikutan menyebarkan kebohongan itu ikut mendapatkan dosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seorang itu dinilai berdusta manakala dia menceritakan semua hal yang dia dengar” [HR Muslim].
وفقنا الله وإياكم لما يحبه ويرضاه، وأصلح أحوال المسلمين وهداهم إلى الكتاب والسنة ورزقهم العقل والفهم، بمنه وكرمه.
Moga Allah menuntun kita semua untuk melakukan semua yang dicintai dan diridhoi oleh Allah. Moga Allah dengan anugerah dan kemurahannya memperbaiki kondisi kaum muslimin dan melimpahkan hidayah kepada mereka agar berpegang dengan al Qur’an dan sunnah serta memberikan kepahaman dan kecerdasan dalam berpikir”.
تاريخ الارسال 17-09-2010
Tulisan di atas diposting pada tanggal 17 Agustus 2010
Sumber:
http://www.turkmani.com/com_questions/details/20
Artikel www.ustadzaris.com


Artikel Ummu Zakaria

Friday, 18 March 2011

Nasehat tentang Mahar dan Pesta Pernikahan

Oleh: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah


Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada saudara-saudara kami sesame muslim. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepadaku dan kepada mereka untuk melakukan apa yang dicintai dan diridhoi oleh-Nya. Dan semoga Dia menjauhkan kita semua dari keterjerumusan ke dalam apa yang dilarang dan diharamkan oleh-Nya. Amin.

Assalamu’alaykum wa rohmatullah wa barakatuh. Amma ba’du

Sejumlah orang yang memiliki ghirah dan keshalehan telah mengadu kepadaku perihal fenomena sikap berlebih-lebihan di dalam masalah mahar dan pesta pernikahan, yang menyebar di kalangan masyarakat. Juga tentang orang-orang yang saling berlomba memamerkan diri, mengeluarkan harta yang sangat banyak untuk keperluan tersebut. Serta tentang keharaman dan kemungkaran yang banyak terjadi di dalam pesta-pesta pernikahan seperti mengambil foto, ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, memperdengarkan suara para penyanyi dengan pengeras suara dan menggunakan alat-alat musk serta mengeluarkan biaya begitu banyak untuk hal-hal yang diharamkan ini.

Semua itu termasuk hal yang menyebbakan sekian banyak pemuda mengurungkan niat untuk menikah dikarenakan ketidak-mampuan mereka menanggung biayanya yang sedemikian mahal. Padahal yang diperbolehkan bagi kaum wanita secara khusus di dalam pernikahan itu hanya memukul duff dan nyanyian biasa di antara mereka, sebagai sebuah pemberitahuan kepada khalayak ramai akan acara pernikahan tersebut. Sehingga diketahui bedanya pernikahan itu dari bentuk hubungan gelap/ perzinaan. Hal itu sebagaimana yang diterangkan di dalam As-Sunnah. Tapi tanpa perlu mengumumkan pernikahan tersebut dengan pengeras suara.

Sebenarnya kebanyakan orang melakukan perkara-perkara haram ini hanya karena ikut-ikutan, dan tidak mengetahui sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, penghulu orang-orang yang terdahulu dan terkemudian. Maka saya memandanag perlu untuk menulis tulisan ini sebagai nasehat tulus terhadap Allah Ta’ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum. Aku katakana –dan hanya Allah- lah Dzat yang dimintai pertolongan- : Telah diketahui bahwa pernikahan itu adalah salah satu sunnah para Rasul. Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menikah. Allah Ta’ala berfirman :

فآ نكحوا ماطا ب لكم من النساء مثنى و ثلث وربع

Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (An-Nisa: 3)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وأ نكحوا الأ يمى منكم والصلحين من عباد كم وإمائكم

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yan perempuan.” (An-Nur:32)

Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج , ومن لم يستطع فعليه با لصوم فإنه له وجاء .

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya ia menikah. Dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan, maka hendaknya ia berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني

Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka. Aku shalat dan istirahat. Dan aku menikahi perempuan-perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, ia bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya kaum muslimin pada umumnya dan para Ulil Amri pada khususnya memiliki kewajiban untuk mewujudkan sunnah ini dan memudahkannya. Sebagai pengamalan terhadap apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

إذ أتا كم من تر ضون خلقه ودينه فزوجوه , إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض .

Kalau ada seorang yang akhlak dan agamanya kalian ridhoi, maka nikahkanlah ia. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” ( HR. At-Tairmidzi 1085. ia berkata: hadits hasan ghorib )

Kemudian Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya, begitu juga Abu Dawud dan An-Nasa’I, dari hadits Abu Salamah bin Abdurrahman radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata: aku telah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “ Berapakah mahar (yang diberikan oleh) Rasulullah ?” Aisyah berkata: “ Mahar beliau untuk istri-istri beliau adalah dua belas uqiyah dan nasy.” Aisyah berkata: “ Apakah kamu tahu apa itu nasy ?” Aku katakan, “Tidak.” Aisyah berkata: “ setengah uqiyah,. Jadi semuanya adalah lima ratus dirham.

Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : “ Aku tidak pernah tahu jikalau Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menikahi istri-istri beliau, ataupun menikahkan putrid-putri beliau, dengan mahar lebih dari dua belas uqiyah.” At-Tirmidzi berkata: hadits hasan ghorib

Dan telah tsabit di dalam Ash-Shahihain dan selainnya, dari Sahl bin Sa’d Al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menikahkan seorang wanita dengan pria miskin yang tidak memiliki sedikitpun harta dengan mahar hafalan Al-Qur’an yang ia miliki.
Imam Ahmad, Al-Baihaqi serta Al-Hakim, meriwayatkan bahwa antara keberkahan seorang wanita adalah dimudahkannya perkara maharnya. Meskipun terdapat sunnah yang begitu jelas dari perkataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ini, namun banyak orang terjatuh di dalam hal-hal yang menyelisihinya. Sebagaimana mereka juga melanggar perintah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya di dalam membelanjakan harta untuk perkara-perkara yang tidak semestinya. Allah Ta'ala telah mengingatkan kita di dalam Kitab-Nya yang mulisa tentang berlebih-lebihan dan boros

ولا تبذرتبذ يرا إن المبذرين كانوا إخون الشيطين وكا ن الشيطن لر به كفورا

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” ( Al-Isra': 26-27 )

Dan Allah Ta'ala juga berfirman:

ولا تجعل يدك مغلو لة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” ( Al-Isra': 29)

Allah Ta'ala telah memberitahukan bahwa di antara sifat kaum mukminin adalah mengambil sikap pertengahan di dalam membelanjakan harta. Allah Ta'ala berfirman:

والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

وأنكحوا الأ يمى منكم والصلحين من عبادكم وإما ئكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله وسع عليم

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)lagi Maha mengetahui.” (An-Nur: 32)

Jadi Allah Ta'ala memerintahkan untuk menikahkan orang-orang yang sendirian secara mutlak. Agar “orang-orang yang sendirian” ini juga mencakup orang yang kaya dan orang yang miskin secara umum. Ia pun menjelaskan bahwa kefakiran itu tidak menghalangi seseorang untuk menikah. Karena rezeki itu ada di tangan Allah Ta'ala. Dan Ia Maha Kuasa untuk mengubah keadaan orang yang fakir ini sehingga menjadi kaya. Kalau syariat islam telah memberikan dorongan untuk menikah dan menganjurkannya, maka kaum muslimin hendaknya segera melaksanakan perintah Allah Ta'ala dan perintah Rasul-Nya dengan memudahkan urusan pernikahan dan tidak memberat-beratkan diri didalamnya. Dengan begitu, Allah Ta'ala akan memenuhi janji-Nyakepada mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “ Taatilah Allah berkenaan dengan perintah-Nya kepada kalian untuk menikah, maka Ia akan memenuhi janji-Nya untuk memberikan kekayaan kepada kalian.”
Dan dari Ibnu Mas'ud, ia berkata, “Carilah kekayaan didalam pernikahan.”

Maka wahai hamba-hamba Allah sekalian, bertakwalah kepada Allah Ta'ala terkait dengan diri-diri kalian sendiri dengan putri dan saudari kalian yang telah Allah Ta'ala limpahkan pengurusan mereka kepada kalian. Juga dengan orang-orang selain mereka serta saudara-saudara kalian sesama muslim. Berusahalah kalian semua untuk mewujudkan kebaikan didalam masyarakat, dan untuk mempermudah pertumbuhan dan perkembangannya, serta menyingkirkan sebab-sebab tersebarnya kerusakan dan kejahatan. Janganlah kalian menjadikan nikmat Allah Ta'ala atas kalian sebagai tangga untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Ingatlah selalu bahwa kalian akan dimintai tanggung jawab dan dihisab atas apa yang telah kalian perbuat sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

فوربك لنسئلنهم أجمعين. عما كانوا يعملون

Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)

Dan telah diriwaytkan dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau shalallahu 'alaihi wasallam telah berabda:

لن تزول قد ما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع : عن شبا به فيما أبلاه , وعن عمره فيما أفناه , وعن ماله من أ ين اكتسبه , وفيما أنفقه وعن علمه ماذا عمل به

Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat nanti sampai ia ditanya tentang 4 perkara: tentang masa mudanya, untuk apa ia habiskan. Dan tentang usianya, untuk apa ia gunakan. Kemudian tentang hartanya, dari mana ia dapat dan untuk apa ia belanjakan. Lalu tentang ilmunya, apa yang telah ia lakukan dengannya.” (HR. At-Tirmidzi, dari hadits Abu Barzah Al-Aslami. Dan At-Tirmidzi berkata: hadits hasan shahih.)

Dan bersegeralah untuk menikahkan putra dan putri kalian, mengikuti Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau yang mulia serta orang-orang yang menempuh petunjuk dan jalan mereka. Berusahalah untuk menikahkan orang-orang yang bertakwa dan dapat memegang amanah serta memiliki agama yang baik.
Bersikaplah sederhana di dalam mengeluarkan biaya pernikahan dan walimahnya. Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam menentukan kadar mahar, atau memberikan syarat harus menyerahkan hal-hal yang dapat memberatkan beban sang suami. Kalau kalian memiliki kelebihan harta, maka belanjakanlah untuk hal-hal yang baik dan berguna bagi orang lain, serta membantu para fakir miskin dan anak-anak yatim. Atau juga untuk keperluan dakwah kepada Allah Ta'ala, dan mendirikan masjid-masjid. Semua itu lebih baik dan lebih kekal ganjarannya dan lebih selamat di dunia ataupun di akhirat, daripada membelanjakan uang tadi untuk pesta besar-besaran atau menyombongkan diri di hadapan manusia dalam kesempatan-kesempatan seperti ini.

Siapapun yang berpikir untuk mengadakan pesta besar-besaran dan menghadirkan penyanyi-penyanyi di dalam pesta tersebut, hendaknya mereka ingat bahwa hal itu mengandung bahaya yang sangat besar. Dan dikhawatirkan dengan perbuatannya itu, ia termasuk orang yang kufur terhadap nikmat Allah Ta'ala dan dan tidak mensyukurinya. Ia akan menemui Allah Ta'ala dan Allah Ta'ala akan menanyakannya tentang segala apa yang telah ia perbuat. Maka hendaknya ia bersikap sederhana dalam hal tersebut, serta betul-betul memperhatikan untuk hanya mengadakan perkara-perkara yang memang dibolehkan oleh Allah Ta'ala di dalam pesta perkawinan itu. Tanpa perkara-perkara yang diharamkan.

Dan seharusnya para ulama dan penguasa kaum muslimin memiliki perhatian terhadap masalah ini serta berusaha untuk menjadi teladan yang baik bagi orang lain. Karena masyarakat akan mencontoh mereka dan mengikuti mereka di dalam hal kebaikan atau keburukan. Maka semoga Allah Ta'ala merahmati seorang yang menjadikan dirinya ebagai teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi kaum muslimin di dalam masalah ini dan yang selainnya.

Karena di dalam sebuah hadits yang shahih dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شىء

Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik di dalam islam, maka baginya pahala sunnah yang baik itu dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang tersebut.” (HR. Muslim)

Aku memohon kepada Allah Ta'ala semoga Dia Ta'ala mengaruniakan kaum muslimin taubat yang sungguh-sungguh dan amal shaleh, serta pemahaman di dalam agama, juga penerapan syariat yang suci ini di seluruh urusan kehidupan mereka. Agar semua urusan dan keadaan mereka menjadi baik, dan masyarakat mereka pun menjadi bahagia serta mereka selamat dari murka Allah Ta'ala dan sebab-sebab seksaan-Nya. Allah -lah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.


Wa shollallahu wa sallam 'ala 'abdihi wa rosuulihi Nabiyyina muhammadin wa aalihii wa shohbihii ajma'in.

(sumber: Mafasidul Mugholah fil Muhur)

di nukil dari majalah Akhwat Shalihah Vol.7/1431/2010. Hal. 15-19 untuk Ummu Zakaria