Thursday 30 September 2010

Jalan Terdekat Menuju Surga

Bismillahirrahmanirrahim
Surga…negeri indah yang jauh di mata, tapi setiap jiwa mengharapkannya. Ada yang berusaha sungguh-sungguh, ada pula yang jatuh bangun untuk mendapatkannya. Tapi…adapula yang putus asa, sehingga membiarkan dirinya tenggelam dalam kubangan dosa. Mengapa? Karena, ia merasa jalan ke surga itu sulit, melelahkan serta banyak rintangan.
Sungguh, wahai kawan yang hampir putus asa, atau telah berputus asa, dan kawan-kawan yang tak ingin berputus asa, telah ku dapati percakapan penuh nasehat dalam tulisan yang singkat, tentang jalan paling mudah dan dekat menuju surga…
Inilah percakapan yang ku maksud…
Si Fulan bertanya pada temannya,
“Wahai saudaraku tercinta! Apakah engkau menginginkan surga?”
Temannya menjawab,
“Siapakah dari kita yang tidak ingin masuk surga? Siapa di antara kita yang tak ingin mendapatkan kenikmatan yang kekal abadi? Dan siapakah di antara kita yang tak ingin merasakan kesenangan yang kekal, serta kelezatan-kelezatan yang terus menerus, yang tak kan lenyap dan tak pula terputus?”
Si Fulan berkata,
“Kalau begitu…maka mengapa engkau tak beramal shalih yang dapat menyampaikanmu ke surga?”
Temannya menjawab,
“Sesungguhnya jalan ke surga itu sulit, panjang, penuh rintangan dan duri. Sedangkan diriku ini lemah, tak dapat aku bersabar atas kesulitan dan kesusahan yang terdapat di jalan itu.”
Si Fulan berkata,
“Saudaraku…jika engkau merasa tidak dapat bersabar dalam mentaati perintah-perintah Allah, serta bersabar untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat selama di dunia, lalu bagaimana engkau akan bersabar jika nanti di akhirat engkau menjadi penghuni neraka Jahannam?! semoga Allah melindungi aku darinya.”
Temannya menjawab,
“Inilah yang mempengaruhiku dan menjadikanku bimbang dalam urusanku. Akan tetapi, aku tidak mengetahui apa yang harus kulakukan dan dari mana aku harus memulainya…. Dan sungguh aku telah terlanjur terjerumus ke jalan maksiat dan hal-hal yg diharamkan.”
Si Fulan berkata,
“Aku akan menunjukkan padamu jalan pintas yang akan menyampaikanmu ke surga. Dan jalan ini adalah jalan yang mudah, tidak ada kesulitan maupun usaha yang berat di dalamnya.”
Temannya berkata,
“Tunjukkan padaku jalan itu, semoga Allah merahmatimu. Sungguh aku selalu ingin memngetahui jalan yang mudah itu.”
Si Fulan berkata,
“Jalan yang dimudahkan ini, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Al-Fawaaid”, dimana beliau berkata,
’Marilah masuk ke surga Allah…serta berdekatan denganNya di Negeri Keselamatan…tanpa ada letih…tanpa ada kesulitan…dan tanpa ada susah payah…bahkan melalui jalan yang terdekat dan yang termudah…’
’Sesungguhnya, engkau saat ini sedang berada pada satu masa di antara dua masa…dan pada hakikatnya masa itu adalah umurmu…yaitu dimana saat ini engkau ada…di antara masa yang telah lalu dan masa yang akan datang…’
’Adapun masa yang telah lalu…maka ia diperbaiki dengan taubat, penyesalan serta permohonan ampun…dan itu bukanlah sesuatu yang sulit bagimu…serta tidak memerlukan amal-amal yang berat…karena sesungguhnya ia hanyalah amalan hati…’
’Dan pada masa yang akan datang…berusahalah menjauhi dosa-dosa…
dan usahamu untuk menjauhi dosa itu adalah hanya berupa usaha untuk  meninggalkan dan bukanlah ia merupakan amalan anggota badan yang menyusahkanmu karena sesungguhnya ia hanyalah berupa kesungguhan serta niat yang kuat…yang akan menyenangkan jasadmu, hatimu serta rahasia-rahasiamu…’
“Apa yang terjadi pada masa lalu, diperbaiki dengan taubat…dan di masa mendatang diperbaiki dengan penghindaran (dari yang haram) dengan kesungguhan serta niat… dan tidak ada kesusahan bagi anggota tubuh atas dua usaha ini.”
“Akan tetapi, yang terpenting dalam masa kehidupanmu adalah masa di antara dua masa (yaitu dimana saat ini engkau berada). Jika engkau menyia-nyiakannya maka engkau telah menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesuksesanmu. Namun, jika engkau menjaganya dengan perbaikan dua masa, yaitu masa sebelum dan sesudahnya, dengan cara yang telah disebutkan…maka engkau akan selamat dan menang dengan mendapatkan kelapangan, kelezatan serta kenikmatan…”
Maka, inilah jalan ke surga yang mudah itu….
Bertaubat atas apa yang telah lalu kemudian beramal sholeh serta meninggalkan maksiat pada masa yang akan datang.
Si Fulan menambahkan,
Dan kusampaikan pula padamu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan!” maka shahabat bertanya, siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah? Nabi menjawab, “Siapa yang mentaatiku maka ia masuk surga dan siapa yang tidak taat padaku maka ialah yang enggan” (HR Al-Bukhari)
Dan juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
“Surga itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian dibandingkan dekatnya tali sendalnya terhadapnya, demikian pula dengan neraka.” (Muttafaqun ‘alaih).
***
Diterjemahkan dari Buletin Aqrabuthariq Ilal Jannah, Edisi 131, Madarul Wathan, Riyadh, KSA oleh Tim Penerjemah Muslimah.or.id
Murojaah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
***
Artikel muslimah.or.id
***artikel Ummu Zakaria***

Mengenal Manhaj Salaf

Apakah pengertian manhaj salaf? Siapakah mereka para salaf yang dimaksud? Kemudian adakah kewajiban untuk mengikuti manhaj salaf? Marilah kita simak penjelasan berikut yang disarikan dari sebuah buku yang sangat bermanfaat karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah, semoga semakin memperjelas bagi kita tentang manhaj salaf sesuai pemahaman yang sebenarnya.
1. Apakah definisi dari manhaj?
Manhaj dalam bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,
”Untuk tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (Al Maidah: 48)
Sedang menurut istilah, Manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperi kaidah-kaidah bahasa arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.



2. Apakah definisi salaf ?
Salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafun, artinya telah lalu. Kata salaf juga bermakna: seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan. Karena itu generasi pertama dari umat ini dari kalangan para tabi’in disebut sebagai as-salafush-shalih.
Sedangkan definisi salaf menurut istilah, salaf adalah sifat yang khusus dimutlakkan untuk para sahabat. Ketika yang disebutkan salaf maka yang dimaksud pertama kali adalah para sahabat. Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka. Artinya, bila mereka mengikuti para sahabat maka disebut salafiyyin, yaitu orang-orang yang mengikuti salafush shalih.

3. Siapakah salaf yang dimaksud?
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, yang artinya :
”Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At- Taubah: 100)
Sedangkan dalam sebuah hadis juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan salaf pertama kali adalah sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik manusia adalah pada masa ku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in). Demikian juga yang dikatakan oleh para ulama bahwasannya yang dimaksud dengan salaf adalah para sahabat.
Akan tetapi pembatasan secara waktu tidaklah mutlak tepat karena kita mengetahui bahwa beberapa sekte bid’ah dan sesat sudah muncul pada masa-masa tersebut. Karena itulah keberadaan mereka pada masa-masa itu (tiga kurun yang dimuliakan) tidaklah cukup untuk menghukumi bahwa dirinya berada diatas Manhaj Salaf, selama dirinya tidak mengikuti sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami Al Quran dan Assunnah. Karena itulah ulama memberi batasan As-Salaf Ash-Shalih (pendahulu yang shalih).
Imam al Auza’i rahimahullah (wafat th.157 H) seorang Imam Ahlu Sunnah dari Syam berkata, “Bersabarlah dirimu diatas sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak diatasnya. Katakanlah sebagai mana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan salafush shalih karena akan mencukupimu apa saja yang mencukupi mereka.”
Berdasarkan keterangan diatas, menjadi jelaslah bahwa kata salaf muthlak ditujukan untuk para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua. Maka barang siapa yang mengikuti mereka semua dalam agama yang haq ini, maka ia adalah generasi penerus dari sebaik-baik pendahulu yang mulia.

4. Adakah dalil yang menunjukkan kewajiban untuk mengikuti mereka?
Terdapat banyak dalil yang dikemukakan oleh al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya Mulia dengan Manhaj Salaf, namun dalam tulisan yang singkat ini kami hanya mengambil beberapa dalil yang mewakili dan dapat digunakan sebagai hujjah.
Dalil-dalil dari Al Quranul Karim dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa Manhaj Salaf adalah hujjah yang wajib diikuti oleh kaum muslimin:
  • Firman Allah Ta’ala, yang artinya,”Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu menyuruh) berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah…” (Ali ‘Imran : 10 )Syaikhul Islam IbnuTaimiyah rahimahullah dalam kitabnya Naqdul Mantiq menjelaskan: kaum muslimin telah sepakat bahwa umat ini adalah sebaik-baik umat dan paling sempurna, dan umat yang paling sempurna dan utama adalah generasi yang terdahulu yaitu generasi para Sahabat.
  • Firman Allah Jalla Jalaaluhu, yang artinya, ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan-jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa: 115 )Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah mengatakan, ”Para ulama telah berkata mengenai makna dalam firman Allah, ”Dan mengikuti jalan yang bukan jalan-jalan orang yang beriman” yang dimaksud adalah (jalan) para Sahabat generasi pertama.
  • Diriwayatkan dari Sahabat al- ‘Irbadh bin sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Suatu hari Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,‘Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh orang yang hidup diantara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” HR Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no.4607), at-Tirmidzi (no.2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al Hakim (I/95)Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin sepeninggal beliau.
Disarikan dari buku Mulia Dengan Manhaj Salaf karya Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawaz oleh Ummu Maryam Ismiyanti
Murojaah: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi
***
Artikel muslimah.or.id
***artikel Ummu Zakaria***

Wednesday 29 September 2010

Hak-Hak Suami Atas Isteri

Wahai isteri yang shalihah, ini adalah hak-hak suami atasmu. Bersungguh-sungguhlah dalam menunaikan hak-hak tersebut dan lupakanlah jika suamimu kurang dapat memenuhi hak-hakmu karena sesungguhnya yang demikian itu akan dapat melanggengkan cinta dan kasih sayang di antara kalian, dapat memelihara keharmonisan rumah tangga sehingga dengannya masyarakat akan menjadi baik pula.
1 Wanita yang cerdas dan pandai akan mengagungkan apa yang telah diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menghormati suaminya dengan sebenar-benarnya, ia bersungguh-sungguh untuk selalu taat kepada suami karena ketaatan kepada suami termasuk salah satu di antara syarat masuk Surga. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,


“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat terhadap suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.” [Shahih: Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 660), Ahmad (XVI/228, no. 250)]





Maka kewajibanmu sebagai seorang isteri, wahai para wanita shalihah, adalah untuk selalu mendengar dan taat terhadap setiap perintah suami selama tidak menyelisihi syari’at. Akan tetapi berhati-hatilah, jangan sampai engkau berlebih-lebihan dalam mentaati perintah suami sehingga mau mentaatinya dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya jika melakukan hal tersebut, maka engkau telah berdosa.

2 Di antara hak suami atas isteri, seorang isteri harus menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaannya serta mengurusi harta, anak-anak, dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” [QS. An-Nisaa': 34]
Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,

“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” [Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (II/380 no. 893), Shahiih Muslim (III/1459 no. 1829)]

3 Berhias dan memperindah diri untuk suami, selalu senyum dan jangan bermuka masam di depannya. Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak ia sukai. Ath-Thabrani telah mengeluarkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Salam radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.”[Shahiih: Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 3299)]

Janganlah engkau sekali-kali menampakkan perhiasan pada orang yang tidak boleh melihatnya, karena hal itu adalah merupakan perkara yang diharamkan.

4 Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk pergi ke masjid kecuali atas izin suami. Allah berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” [QS. Al-Ahzaab: 33]

5 Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali atas izinnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam kamar tidur kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang yang tidak kalian sukai.” [Hasan: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1501), Sunan at-Tirmidzi (II/315 no. 1173), Sunan Ibni Majah (I/594 no. 1851)]

6 Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali dengan izinnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya kecuali atas izinnya.” Kemudian ada yang bertanya, “tidak juga makanan?” Beliau menjawab, “bahkan makanan adalah harta yang paling berharga.” [Hasan : Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1859), Sunan at-Tirmidzi (III/293 no. 2203), Sunan Abi Dawud (IX/478 no. 3548), Sunan Ibni Majah (II/770 no. 2295)]

Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan harta miliknya jika ia mempunyai harta kecuali jika sang suami mengizinkannya karena dalam sebuah hadist yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali dengan izin suaminya.” [Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 775), beliau berkata, "Telah dikeluarkan oleh Tamam dalam al-Fawaa-id (II/182 no. 10) dari jalan 'Anbasah bin Sa'id dari Hammad, maula (budak yang dibebaskan). Bani Umayyah dari Janaah maula al-Walid dari Watsilah, ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, kemudian ia menyebutkan hadits tersebut." Beliau (al-Albani) berkata, "Sanad hadits ini lemah, akan tetapi ada beberapa riwayat penguat yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah tsabit."]

7 Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami berada di rumah kecuali dengan izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,
“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.” [Mutaffaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/295 no. 5195), Shahiih Muslim (no. 1026)]

8 Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami maupun keluarga karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan pahala. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si penerima).” [QS. Al-Baqarah: 264]

9 Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman,

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. Ath-Thalaq: 7]

10 Isteri harus bersungguh-sungguh mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Janganlah ia marah kepada mereka di depan suami dan jangan memanggil mereka dengan kejelekan maupun mencaci-maki mereka karena yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami.

11 Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat suami karena sesungguhnya isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suami jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya dengan kejelekan.

12 Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia menolak untuk datang lalu sang suami marah sepanjang malam maka para Malaikat melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu pagi.” [Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/294 no. 5194), Shahiih Muslim (II/1060 no. 1436), Sunan Abu Dawud (VI/179 no. 2127)]

Dan di dalam hadits yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka hendaknya sang isteri melayaninya meskipun ia sedang berada di atas unta.” [Shahih: Shahiih al-Jaami' as-Shaghiir 534, Sunan at-Tirmidzi (II/314 no. 1160)]

13 Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga, janganlah sekali-kali ia menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang paling yang sering diremehkan oleh para isteri sehingga ia menyebarluaskannya kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di ranjang suami isteri. Sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi telah melarang hal demikian.

14 Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari’atkan. Dari Tsauban radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.” [Shahih: Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035), Sunan at-Tirmidzi (II/329 no. 1199), Sunan Abi Dawud (VI/308 no. 2209), Sunan Ibni Majah (I/662 no. 2055)]

Dan dalam hadits yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang yang munafik.” [Shahih: Shahiih al-Jaamii'ish Shaghiir (no. 6681), Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 632), Sunan Tirmidzi (II/329 no. 1198)]

www.shalihah.com
Sumber: ‘Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz’ edisi Bahasa Indonesia ‘Panduan Fiqih Lengkap Jilid 2′ karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka Ibnu Katsir
http://www.humairoh.inef.web.id/


***artikel Ummu Zakaria***

Hak-Hak Istri atas Suami

Berikut ini adalah beberapa hak-hak isteri atas suami. Namun ketahuilah wahai para isteri yang shalihah, hendaknya engkau melupakan kekurangan suami dalam hal memenuhi hak-hak mereka. Kemudian hendaklah menutupi kekurangan suami tersebut dengan bersungguh-sungguh dalam mengabdikan diri untuk suami karena dengan demikian kehidupan rumah tangga yang harmonis akan dapat kekal dan abadi.
Karena dengan demikian kehidupan rumah tangga yang harmonis akan dapat kekal dan abadi."
Dan hak-hak istri atas suaminya adalah:
1 Suami harus memperlakukan istri dengan cara yang ma’ruf karena Allah Ta’ala telah berfirman,
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. An-Nisaa': 19]


Yaitu, dengan memberinya makan apabila ia juga makan dan memberinya pakaian apabila ia berpakaian. Mendidiknya jika takut ia akan durhaka dengan cara yang telah diperintahkan oleh Allah dalam mendidik istri, yaitu dengan cara menasihatinya dengan nasihat yang baik tanpa mencela dan menghina maupun menjelek-jelekannya. Apabila ia (istri) telah kembali taat, maka berhentilah, namun jika tidak, maka pisahlah ia di tempat tidur. Apabila ia masih tetap pada kedurhakaannya, maka pukullah ia pada selain muka dengan pukulan yang tidak melukai sebagaimana firman Allah:




“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” [QS. An-Nisaa': 34]


Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tatkala ditanya apakah hak isteri atas suaminya? Beliau menjawab,


“Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah dan janganlah menjelek-jelekkannya serta janganlah memisahkannya kecuali tetap dalam rumah.” [Shahih: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1500), Sunan Abi Dawud (VI/180, no. 2128, Sunan Ibni Majah (I/593 no. 1850)]


Sesungguhnya sikap lemah lembut terhadap istri merupakan indikasi sempurnanya akhlak dan bertambahnya keimanan seorang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,


“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” [Hasan Shahih: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 928), Sunan at-Tirmidzi (II/315 no. 1172)]


2 Suami harus bersabar dari celaan isteri serta mau memaafkan kekhilafan yang dilakukannya karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Apabila ia membencinya karena ada satu perangai yang buruk, pastilah ada perangai baik yang ia sukai.[Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/253 no. 5186), Shahiih Muslim (II/ 1091 no. 1468 (60)]


Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Ketahuilah bahwasanya tidak disebut akhlak yang baik terhadap isteri hanya dengan menahan diri dari menyakitinya namun dengan bersabar dari celaan dan kemarahannya.”


3 Suami harus menjaga dan memelihara isteri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mencemarkan kehormatannya, yaitu dengan melarangnya dari bepergian jauh (kecuali dengan suami atau mahramnya). Melarangnya berhias (kecuali untuk suami) serta mencegahnya agar tidak berikhtilath (bercampur baur) dengan para lelaki yang bukan mahram.


Suami berkewajiban untuk menjaga dan memeliharanya dengan sepenuh hati. Ia tidak boleh membiarkan akhlak dan agama isteri rusak. Ia tidak boleh memberi kesempatan baginya untuk meninggalkan perintah-perintah Allah ataupun bermaksiat kepada-Nya karena ia adalah seorang pemimpin (dalam keluarga) yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang isterinya, Ia adalah orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga dan memeliharanya.


4 Suami harus mengajari isteri tentang perkara-perkara penting dalam masalah agama atau memberinya izin untuk menghadiri majelis-majelis taklim. Karena sesungguhnya kebutuhan dia untuk memperbaiki agama dan mensucikan jiwanya tidaklah lebih kecil dari kebutuhan makan dan minum yang juga harus diberikan kepadanya.


5 Suami harus memerintahkan isterinya untuk mendirikan agamanya serta menjaga shalatnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,


“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” [QS. Thahaa: 132]


6 Suami mau mengizinkan isterinya keluar rumah untuk keperluannya, seperti jika ia ingin shalat berjama’ah di masjid atau ingin mengunjungi keluarga, namun dengan syarat menyuruhnya tetap memakai hijab busana muslimah dan melarangnya untuk tidak bertabarruj atau sufur. Sebagaimana ia juga harus melarang isteri agar tidak memakai wangi-wangian serta memperingatkannya agar tidak ikhtilath dan bersalam-salaman dengan laki-laki yang bukan mahram, melarangnya menonton telivisi dan mendengarkan musik serta nyanyian-nyanyian yang diharamkan.


7 Suami isteri tidak boleh menyebarkan rahasia dan menyebutkan kejelekan-kejelekan isteri di depan orang lain. Karena suami adalah orang yang dipercaya untuk menjaga isterinya dan dituntut untuk dapat memeliharanya. Di antara rahasia suami isteri adalah rahasia yang mereka lakukan di atas ranjang. Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam melarang keras agar tidak mengumbar rahasia tersebut di depan umum.


8 Suami mau bermusyawarah dengan isteri dalam setiap permasalahan, terlebih lagi dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan mereka berdua, anak-anak, sebagaimana apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau selalu bermusyawarah dengan para isterinya dan mau mengambil pendapat mereka.


9 Suami harus segera pulang ke ruamh isteri setelah shalat ‘Isya. Janganlah ia begadang di luar rumah sampai larut malam. Karena hal itu akan membuat hati isteri menjadi gelisah. Apabila hal itu berlangsung lama dan sering berlang-ulang, maka akan terlintas dalam benak isteri rasa waswas dan keraguan. Bahkan di antara hak isteri atas suami adalah untuk tidak begadang malam di dalam rumah namun jauh dari isteri walaupun untuk melakukan shalat sebelum dia menunaikan hak isterinya.


10 Suami harus dapat berlaku adil terhadap para isterinya jika ia mempunyai lebih dari satu isteri. Yaitu berbuat adil dalam hal makan, minum, dan pakaian, tempat tinggal dan dalam hal tidur seranjang. Ia tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena sesungguhnya Allah Ta’ala melarang yang demikian.

Sumber: ‘Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz’ edisi Bahasa Indonesia ‘Panduan Fiqih Lengkap Jilid 2′ karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka Ibnu Katsir

http://www.shalihah.com
http://www.humairoh.inef.web.id/


***artikel Ummu Zakaria***

Tuesday 28 September 2010

Bingkisan untuk Sang Pengantin

Segala puji bagi Allah yang berfirman :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ﴿ سورة الروم
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” [QS.30:21]

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada sosok yang pribadinya adalah al-Qur`an (yang berjalan), juga kepada keluarga dan sahabatnya hingga hari Kiamat. Amma ba’du :
Sesungguhnya pernikahan merupakan ikatan suci dan perjanjian merekat kuat. Fitrah-fitrah yang lurus mengarah kepadanya, hukum-hukum syariah yang bijaksana mengajak kepadanya. Selama jiwa-jiwa manusia berjalan bergandengan dengan fitrah, maka ia akan terus merespon tuntutan hukum ini. Maka melalui pernikahan tergapailah kasih sayang, ketentraman, ketenangan. penyatuan, dan berhimpunnya hati, berorientasi kepada keturunan. Keutamaan pernikahan banyak sekali dan bentuk keberkahannya pun beraneka ragam.

Saudaraku muslim dan muslimah :
Pernikahan merupakan ladang untuk menanam benih keturunan, dan merupakan peristirahatan jiwa, kesenangan hidup, ketentraman hati, dan penjaga anggota tubuh. Sebagaimana ia juga sebagai sebuah kenikmatan, relaksasi dan sebagai sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pula sebagai tirai, perisai dan fasilitator untuk memperoleh keturunan yang soleh (adz-dzurriyah ash-shalihah) yang memberikan manfaat kepada manusia di kala hidup dan setelah kematiannya.

Pernikahan merupakan suatu urgensi yang mendesak, dimana manusia tidak akan sampai pada tingkat kesempurnaan jika ia masih setengah agamanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

« إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْف دِيْنِهِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فيِ النِّصْفِ الْبَاقِي »
“Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan setengah agamanya. (Karenanya) bertakwalah kepada Allah pada bagian setengah agama yang tersisa. ” [HR. Ahmad].
Sesungguhnya Islam sangat menganjurkan jenjang pernikahan ini dan memberikan motivasi ke arah itu dalam kebanyakan kesempatan di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Ini tidak lain karena strategisnya kedudukan pernikahan di dalam Islam. Ia memiliki banyak manfaat bagi personal maupun masyarakat. Kepadamu –wahai saudara muslimku- kusampaikan beberapa faidahnya secara ringkas :

1.Pernikahan merupakan kecenderungan naluriah bagi orang mukmin.

Firman Allah :
﴿ وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً سورة الروم
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” [QS.30:21]
Ayat ini mengindikasikan kepada pengertian ketenangan (ath-thuma`ninah) dan rasa aman (al-aman). Hal itu tidak terjadi melainkan dengan kecenderungan untuk menikah.

2.Pernikahan merupakan kesenangan hidup.
« الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ »
“Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” [HR. Muslim]

3.Pernikahan merupakan perisai dari kerusakan dan fitnah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Seandainya ada seorang yang kalian sukai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan (hal tersebut), akan terjadi fitnah di permukaan buni ini dan kerusakan yang besar.” [HR. Muslim]

4.Pernikahan termasuk pondasi-pondasi kebahagian terpenting. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
أرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ: الْزَوْجَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ
“Empat (fundamental) kebahagiaan seseorang, (yaitu:) wanita solehah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang soleh, kendaraan yang nyaman.” [HR. Ibnu Hibban]

5.Pernikahan merupakan sebaik-baik perbendaharaan dunia. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
خَيْر مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Sebaik-baik yang dimiliki seseorang adalah wanita solehah, jika memandang ke arahnya, maka ia menyejukkannya. Jika memerintahkannya, ia mena’atinya. Jika ia tidak di rumah, maka ia menjaganya.” [HR. Ahmad]

6.Pernikahan termasuk seutama-utamanya kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
خَيْر مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Sebaik-baik yang dimiliki seseorang adalah wanita solehah. Jika dipandang menyejukkannya. Jika diperintah mena’atinya. Jika tidak di rumah, maka ia menjaga (amanah)nya.” [HR. Ahmad]

7.Pernikahan merupakan asas ketulusan dan kehidupan yang baik. Salah seorang salafus soleh berkata :
“Aku dapati manusia yang paling berbahagia di dunia, paling sejuk dipandang mata, paling baik kehidupannya, paling mendalam kebahagiaannya, paling tulus keadaannya, dan yang paling merasa muda, (yaitu) orang yang dikaruniakan oleh Allah dengan seorang istri muslimah yang amanat, menjaga diri, baik, lembut, bersih, taat. Jika suaminya menitipkan amanat kepadanya, didapatinya sebagai wanita yang amanah. Jika anggaran belanjanya terbatas, didapatinya sebagai wanita yang qana’ah. Jika suami tidak di rumah, maka ia menjaga kepunyaan suaminya. Sesungguhnya kesantunannya menutupi kebodohannya, dan agamanya menghiasi akalnya, maka suaminya adalah seorang yang kehidupannya sejahtera, dan tetangganya adalah seorang yang selamat (dari gangguan).”

8.Pernikahan memiliki manfaat-manfaat setelah kematian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika anak Adam meninggal dunia terputuslah amalannya,kecuali dari tiga perkara, (yaitu:) dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang soleh yang mendoakan baginya.” [HR. Muslim]

Saudaraku muslim dan muslimah:
Sesungguhnya merupakan kewajiban atas kita untuk bersyukur atas kenikmatan yang agung ini karena Allah semata-mata. Dan tidak menggunakannya sebagai alat untuk terperosok ke dalam hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Karena sesungguhnya hal demikian itu bertentangan dengan syukur yang diminta dari kita. Dan termasuk hal yang dapat menyakiti diri, melukai jiwa, meluluh lantakkan hati, menyulut berbagai bahaya, serta mencela sanubari. Segala perkara yang melingkupi kenikmatan pernikahan ini bisa jadi berubah menjadi bencana dan petaka. Dimulai dengan keluarnya dari lingkup kebahagian dan berakhir dengan kesengsaraan.
Sesungguhnya aku ingatkan mengenai perkara-perkara yang oleh sebagian orang dilakukan di malam-malam pernikahannya, yaitu sesuatu yang bertentangan dengan syariat dan menafikan kesyukuran. Diantaranya adalah :

pertama,
termasuk kemungkaran yang terjadi di hari pernikahan, pengantin pria duduk bersanding dengan istrinya pada pelaminan di hadapan para undangan wanita.
Yang Mulia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata :
“Termasuk perkara-perkara mungkar yang banyak dilakukan orang-orang di zaman ini, meletakkan pelaminan untuk kedua pengantin di antara undangan wanita. Suaminya duduk di situ dengan dihadiri para undangan wanita yang berdandan molek dan terbuka aurat. Terkadang hadir bersamanya para sanak keluarga dari kalangan pria. Dan bukan rahasia lagi, bagi yang memiliki fithrah yang selamat dan kecemberuan agama yang benar, bahwa perilaku semacam ini termasuk sebuah kerusakan besar. Memungkinkan pria-pria asing untuk memandangi kaum wanita muda yang terbuka aurat, sehingga hal tersebut menimbulkan akibat-akibat yang membahayakan. Maka wajib untuk melarang hal tersebut, dan menjatuhi hukuman yang tegas atasnya, agar terhindar sebab-sebab fitnah dan untuk membentengi pertemuan kaum wanita ni dari yang bertentangan dengan syariah yang suci. Aku nasehatkan kepada seluruh saudara-saudaraku dari kalangan muslimin untuk bertakwa kepada Allah dan berpegang teguh kepada syariah dalam segala perkara, dan berhati-hati atas segala yang diharamkan Allah atas mereka, dan menjauhkn diri dari segala sebab-sebab kejahatan dan kerusakan yang terjadi pada para pengantin, dan lain sebagainya, dalam rangka mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan upaya menjauhkan diri dari sebab-sebab yang mengundang kebencian dan siksa-Nya.” [Kitab ad-Da’wah: Fatwa-fatwa samahatusy Syaikh bin Baz]

kedua,
termasuk kemungkaran yang terjadi di hari pernikahan ini adalah perginya wanita untuk membuang bulu-bulu rambut tubuhnya hingga sampai sebagian dari mereka membiarkan para wanita-wanita salon melihat ke bagian-bagian tubuhnya yang tidak dihalalkan seseorang pun melhatnya selain suaminya saja.

ketiga,
termasuk kemungkaran yang terjadi di di hari pernikahan, kebiasaan menghadirkan berbagai fasilitas yang melalaikan dalam acara-cara resepsi pernikahan. Mendatangkan para peman musik pria dan wanita, atau para wanita yang ahli dalam menabuh gendang dan rebana. Serta para biduanita yang melantunkan nyanyian-nyanyian dengan suara yang didengar oleh kaum pria, serta dipenuhi dengan sa’ir-sa’ir yang terkadang seronok. Para biduanita bernyanyi dan menari dengan alunan musik dengan gaya tarian barat dan timur. Apakah menurut anda beginikah cara untuk mengumumkan pernikahan?

Sesungguhnya mengumumkan pernikahan yang diperkenankan Allah Ta’ala bukanlah sebagaimana persepsi kebanyakan orang. Bahkan sebaliknya, mengenakan tabir, dan bersih dari nyanyian, dan steril dari kata-kata seronok, dan ucapan-ucapanjorok, serta fasilitas-fasilitas yang melalaikan lagi batil, dengan tabuhan rebana yang diperkenankan oleh syariat serta terbatas hanya untuk kalangan wanita saja, dimana para pria tidak dapat mendengarnya.

Adapun mengenai tarian wanita di depan kaum wanita pula, maka sesungguhnya para ulama telah menerbitkan fatwa mengenainya, diantaranya Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah Berpendapat, “Tarian hukumnya dasarnya adalah makruh, tetapi jika (tariannya itu) dengan gaya barat, atau mengikuti tarian-tarian wanita-wanita kafir maka hukumnya menjadi haram. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

« مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ »
“Barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia termasuk darinya.” [HR. Ahmad]
Bersamaan dengan itu, terkadang muncul fitnah bersamaan dengannya. Ada kalanya sang penari adalah wanita yang tubuhnya elok, parasnya jelita, usianya muda, maka terjadilah bencana wanita. Sampai-sampai di tengah-tengah komunitas sesama wanita pun, terjadi diantara wanita tersebut suatu perbuatan-perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka sendiri telah tergoda dengannya. Selama ia dapat menyebabkan munculnya fitnah, maka selama itu juga sesungguhnya ia dilarang.” [Liqa al-Bab al-Maftuh, hal.41]

keempat,
termasuk kemungkaran yang terjadi di hari pernikahan adalah penggunaan rekaman gambar. Berapa banyak musibah yang terjadi akibat kelancangan rekaman gambar ini yang berada di tangan-tangan manusia rongsok. Kemudian coba anda bayangkan, apa yang akan dilakukan olehnya dalam film-filmnya tersebut. Ketahuilah bahwa seorang wanita di momentum pernikahannya berada pada keelokan yang menawan dengan perhiasan yang paling indah. Maka siapa sih yang rela kalau mahramnya dipandangi oleh laki-laki asing? Berapa banyak gambar yang keluar dari film-film rekaman dan berganti-ganti film yang berisikan gambar-gambar para wanita yang sebelumnya para lelaki pun belum pernah mengetahuinya kecuali tabir dan menjaga kehormatan dirinya. Demikian ini disebabkan dari kelancangan sikap meremehkan dan mengampangkan dari “orang-orang yang pintar” dalam hal mengambil rekaman gambar.

kelima,
termasuk kemungkaran di hari pernikahan adalah mengakhirkan hingga paruh waktu terakhir dari malam. Perkara yang menjadi konsekuensinya adalah meninggalkan shalat shubuh atau mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan secara syar’i. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan al-Qur`an al-Karim dengan menakut-takuti dan mengancam mereka (yang melalaikan shalat) dengan retorika yang keras dan bahasa yang lugas, hanya orang-orang cerdas saja yang bisa memahaminya :

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿4﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿5﴾ سورة الماعون
04. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”, 05. “(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” (QS.107:4-5)

Masruq Rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah mereka tidak mengerjakan shalat pada waktunya yang disyariatkan).” Sekiranya mengakhirkan shalat sudah merupakan sebuah kesalahan berat, perbuatan dosa yang memalukan dengan segala barometer apapun. Tidak ada manfaatnya penyesalan dan tidak pula permohonan maaf di saat sudah berdiri dihadapan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa (di akhirat nanti).

keenam,
termasuk kemungkaran di hari pernikahan, apa yang terjadi saat keluarnya dan pulangnya para wanita, maka anda akan melihat hal yang dapat meluluh lantakkan hati anda, menggigil ketakutan. Dimana seorang perempuan keluar sementara tangannya tampak terbuka, atau dia mengenakan pakaian yang tipis, atau keluar dengan slayer yang dibordir atau dihias, diletakkan pada pundaknya dan harum minyak wanginya menyeruak di kedua sisinya, dengan berada di depan dan dipandangi, serta terdengar oleh para pria yang menunggu-nunggu wanita-wanita mereka di pintu gedung.

Saudaraku sebagai suami yang mulia :
Pada saat istrimu berada di sisimu pada malam pertamamu, maka taruhlah tanganmu di kening kepalanya, dan berdoalah :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya, dan kebaikan pribadinya yang telah Engkau tetapkan. Aku berlindung dari keburukannya, dan keburukan pribadinya yang telah Engkau tetapkan.” [HR. Abu Dawud no. 2160, Ibnu Majah no. 1918. Lihat Shahiih Ibni Majah (I/324) dan Aadaabuz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah hal. 93 oleh Syaikh al-Albani]

Dan mulailah harimu bersamanya dengan melakukan shalat dua raka’at, dan dia turut shalat di belakangmu hingga jiwanya merasa tentram, duduklah bersamanya, cairkan suasana dengan kalimat-kalimat yang dapat menghiburnya.
Wahai para pasangan suami istri yang mulia, di penghujung ini aku ucapkan untuk kalian berdua, sebagaimana yang telah diajarkan kepada kami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Semoga Allah melimpahkan keberkahan untuk kalian dan atas kalian, serta semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan yang banyak.” [HR. Abu Dawud no. 2130, at-Tirmidzi no. 1091, Ahmad II/381, Ibnu Majah no. 1905, al-Hakim II/183, shahih. Lihat Aadaabuz Zifaaf hal 175]

penutup, aku bermohon kepada Allah agar berkenan menjadikannya sebagai suami yang islami, bahagia, diberkahi. Mendapatkan kehidupan keluarga yang penuh kedamaian, keturunannya beriman, muslim, dan soleh lagi dermawan. Diawali dengan membangun keluarga muslim yang didasari atas ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kecintaan kepada Rasul-Nya yang mulia Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan diakhir doa kami yaitu, alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Sumber: islamhouse.com, judul asli رسالة إلى العروسين diterjemahkan oleh Muhammad Khairuddin, dimuat ulang oleh Shalihah.com

 http://www.humairoh.inef.web.id/

***artikel Ummu Zakaria***

Seputar Mahar

Mahar adalah apa yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan. Mahar adalah pemberian yang dilindungi yang diwajibkan Allah untuk diberikan kepada wanita; bukan sebagai imbalan sesuatu yang wajib dia berikan kecuali memenuhi hak-hak suami isteri, sebagaimana halnya dia tidak dapat digugurkan -walaupun wanita itu rela- kecuali setelah akad. ['Audatul Hijaab (II/298)].


Allah Ta’ala berfirman,
وَ ءَا تُواْآلنِّسَآءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” [QS. An-Nisaa': 4]
فَآ نكِحُو هُنَّ بِإِذْنِأَهْلِهِنَّ وَءَاتُو هُنَّ أُجُو رَهُنَّ بِآلْمَعْرُفِ
“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka dengan patut.” [QS. An-Nisaa': 25)
فَءَاتُو هُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيْضَةً
"Maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.." [QS. An-Nisaa': 24]

Mahar merupakan hak milik seorang isteri dan tak boleh seorang pun mengambilnya, baik sang ayah maupun selainnya kecuali dengan keridhaan hatinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengancam siapa saja yang menyia-nyiakan hak ini dengan ancaman yang sangat keras. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Dosa paling besar di sisi Allah ialah orang yang menikahi wanita lain lalu ketika telah menyelesaikan hajatnya darinya, maka dia menceraikannya dan pergi dengan membawa maharnya, orang yang memperkerjakan seseorang lalu pergi dengan membawa upahnya dan seorang yang membunuh binatang dengan sia-sia.” [HR. Al-Hakim (II/182) dan menilainya sebagai hadits shahih sesuai kriteria al-Bukhari serta disetujui adz-Dzahabi; dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 999)] 

Seandainya seorang pria telah menjalin akad dengan wanita kemudian ditemukan padanya aib yang bisa membatalkan akad sebelum menyetubuhinya, maka wanita tidak mendapatkan apa-apa jika si pria membatalkan akad. Adapun seandainya aib itu nampak setelah disetubuhi dan ia hendak membatalkan akadnya, maka wanita itu mendapatkan mahar. Dan pria ini mempunayi hak terhadap pihak yang menikahkannya, yaitu kedua orang tua isteri atau walinya; jika mereka menerima hal itu, maka apa yang ada di sisi Allah itulah lebih baik dan lebih kekal pada hari yang tiada bermanfaat harta dan anak-anak.

Meringankan Mahar

Syari’at Islam tidak membatasi angka nominal besar kecilnya mahar, akan tetapi Islam menganjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan dan tidak membuat para pemuda menjadi enggan menikah karena mahalnya mahar.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ مِنْ يُمنِ الْمَرْ أَةِ تَيْسيْرَ صَدَاقِهَا وَ تَيْسِيْرَ رَحِمِهَا
“Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” [HR. Ahmad (no. 23957, al-Hakim (II/181), ia menshahihkannya dan menilainya sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak mengeluarkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' (II/251) dan dalam al-Irwaa' (VI/250)]

Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُالنِّكَا حِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.” [HR. Abu Dawud (no.2117) Kitab an-Nikaah, al-Hakim (II/182), ia menshahihkannya dan menilainya sesuai syarat Syaikhan (al-Bukhari-Muslim), dan Syaikh al-Albani menilainya sesuai syarat Muslim. Lihat al-Irwaa' (VI/345)]

Dalam riwayat Ahmad:
إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَا حِ بَرَ كَةً أَيْسَرُهُ مُوءْنَةً
“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” [HR. Ahmad (no. 24595)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan dan tidak melebihi mahar yang diperoleh para isteri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan anak-anaknya.” [Majmuu' Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192)]

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bagaimana mahar para isteri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Ia menjawab: “Mahar beliau untuk isteri-isterinya ialah 12 auqiyah (yakni berupa perak), dan nasy. Tahukah engkau apakah nasy itu? Aku menjawab, “tidak”. Ia mengatakan, “Setengah uqiyah, (sehingga berjumlah 12,5 uqiyah) yaitu 500 dirham. Itulah mahar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk isteri-isterinya.” [HR. Muslim (no. 1424) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3347) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2105) kitab an-Nikaah, Ibn Majah (no. 1886) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 24105), ad-Darimi (no. 2199) kitab an-Nikaah]
 
Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia tentang mahar dengan khutbah yang sangat mendalam: “Wahai manusia, janganlah bermahal-mahal salam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu merupakan kemuliaan di dunia atau merupakan ketaqwaan di sisi Allah, niscaya yang paling berhak melakukannya di antara kalian adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam; namun demikian, beliau tidak pernah memberi mahar kepada seorang pun dari isteri-isterinya dan tidak pula seorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah -yakni 500 dirham-. Seorang pria membayar mahal mahar seorang wanita sehingga dia memusuhinya dalam hatinya, dan hingga dia mengatakan, “Aku terbebani peluh girbah (kantung air yang terbuat dari kulit binatang ternak yang telah disamak) untuk mendapatkanmu” [HR. At-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, ia berkata: "Hadits hasan shahih." Abu Dawud (no. 2106) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3349) kitab an-Nikaah, dan lafadz inimiliknya, Ibnu Majah (no. 1887) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 287), ad-Darimi (no. 2200), kitab an-Nikaah. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1532), al-Misykaat (no. 3204), as-Silsilatush Shahiihah (no. 1834).] Yakni, aku terbebani dalam mendapatkanmu, berupa rasa penat dan berat, sehingga berpeluh seperti ghirbah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullan berkata, “Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak permberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka yang berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa.” [Majmuu' Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/195)]

Tak ada alasan yang syar’i jika seorang wanita dan pihak keluarga wanita memaksakan mahar yang tinggi padahal sang pria bukan termasuk lelaki yang memiliki kemampuan. Bahkan, jika sang pria termasuk orang yang tak berharta, boleh memberikan mahar berupa hapalan. Hal ini pernah terjadi pada shahabat.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu mengatakan: ‘Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ (Dalam riwayat Malik: “Sesungguhnya aku menghibahkan diriku kepadamu”). Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian ia berdiri kembali lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Beliau tidak menjawabnya sedikitpun. Kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: ‘Dia telah menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Lalu seorang pria berdiri dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!’ Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: ‘Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau hafal suatu surat dari al-Qur’an?’ Ia menjawab: ‘Aku hafal ini dan itu.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat al-Qur-an yang engkau hafal.’[HR. al-Bukhari (no. 5149) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1425) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3280) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 3111) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1889) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2201) kitab an-Nikaah]

www.shalihah.com

Rujukan:

  1. ‘Isyratun Nisaa’ minal alif ilal yaa’, dalam Bahasa Indonesia ‘Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z”, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, Pustaka Ibnu Katsir

  2. Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, dalam Bahasa Indonesia Panduan Fiqih Lengkap (Jilid 2), ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, penerbit Pustaka Ibnu Katsir

    http://www.shalihah.com