Saudara dan saudariku yang budiman, pernikahan adalah ikatan yang mempertalikan antara kedua pasangan suami-istri. Memperhatikan supaya memilih isteri atau suami yang tepat adalah fase terpenting dalam permulaan pernikahan, dan dalam hal ini diperlukan kesungguhan yang mendalam untuk mendapatkan suami atau isteri yang tepat dari segala aspeknya. Siapa yang ingin menikah, hendaklah dia memilih pendamping hidupnya dengan pilihan yang berlandaskan pengetahuan dan pemikiran yang kukuh serta sangat bersungguh-sungguh untuk beristikharah kepada Allah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur-an:
“Jika salah seorang dari kalian menghendaki suatu perkara, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu kemudian hendaklah mengucapkan:
‘Ya Allah, aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku meminta kepada-Mu dari karunia-Mu yang sangat besar. Sesungguhnya Engkau kuasa sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Mahamengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara ini lebih baik bagiku dalam urusan agama, kehidupanku, dan kesudahan urusanku, -atau urusan dunia dan akhirat-, maka putuskanlah dan mudahkanlah urusan ini untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, baik dalam urusan agamaku, kehidupanku maupun kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku- maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya serta putuskanlah yang terbaik untukku di mana pun berada, kemudian ridhailah aku dengannya.’
Dan hendaklah ia menyebutkan hajatnya.” [HR Al-Bukhari (no. 6382) kitab ad-Da'awwaat; at-Tirmidzi (no. 480) kitab ash-Shalaah; an-Nasa-i (no. 3252) kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 1538) kitab ash-Shalaah, Ibnu Majah (no. 1383) kitab Iqaamatush Shalaah was Sunnah fiihaa; Ahmad (no. 14297)]
- Istikharah dilalukan setelah menunaikan shalat dua rakaat selain shalat-shalat fardhu (Tahiyyatul Masjid atau setelah shalat sunnah lainnya)
- Do’a istikharah dilakukan setelah shalat, bukan di dalam shalat.
- Boleh mengulang-ngulang istikharah karena ini adalah do’a, dan mengulang-ngulang do’a adalah dianjurkan.
- Sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, seseorang akan melihat sesuatu dalam mimpinya. Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah, hatinya menjadi tenang, bermimpi dengan jelas tentang masalah tersebut, atau merasa bahwa hajatnya telah terpenuhi, atau sebaliknya (berhenti), maka inilah makna istikharah. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, maka dia harus mengulang istikharahnya lagi hingga ia bermimpi.
- Shalat Istikharah hukumnya dianjurkan, bukan wajib.
- Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seseorang benar-benar beristikharah kepada Allah Ta’ala, lalu Dia menjadikan baik pilihannya itu, kemudian dia kesal kepada Rabb-nya. Namun tidak berapa lama kemudian dia melihat bahwa kesudahan yang baik telah dipilihkan untuknya (oleh Allah).” ['Audatul Hijaab (II/397)]
Sumber: ‘Isyratun Nisaa’ minal alif ilal yaa’ edisi Bahasa Indonesia Panduan Nikah Dari “A” Sampai “Z”, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir (VII/119-121) • Diketik ulang oleh shalihah.com
***artikel Ummu Zakaria***
0 komentar:
Post a Comment