Kumpulan beberapa fatwa dari Al-Lajnah ad-Dai’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ (Lembaga Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia yang terdiri dari: Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Syaikh Syalih bin Fauzan, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim yang berkaitan dengan lamaran. Fatwa-fatwa tersebut ditampilkan secara ringkas oleh penulis.
1.Apakah boleh wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi?
Tidak apa-apa. Hal inipun dilakukan oleh Khadijah radhiyallahu ‘anha dan oleh seorang shahabiyat sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Ahzab. Umar radhiyallahu ‘anhu pun pernah menawarkan putrinya, Hafshah radhiyallahu ‘anha, kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kemudian kepada Utsman radhiyallahu ‘anhu.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
2.Apa yang boleh dilihat oleh laki-laki pelamar dari wanita yang dilamarnya?
Ia boleh melihat kepalanya, wajahnya, telapak tangannya, dan kakinya. Sebagian ahli ilmu mengatakan, “Cukup wajah dan kedua telapak tangan.” Tapi pendapat yang benar adlah yang pertama tadi, hanya saja hal itu dilakukan tidak dengan khulwah (tidak boleh dilakukan hanya berdua saja).
3.Wanita yang dilamar tidak boleh bersolek di hadapan laki-laki yang melamarnya: Tidak bersolek dengan pakaian dan tidak pula dengan make up, karena si pelamar itu belum menjadi suaminya, dan juga si pelamar itu bila melihatnya dalam kondisi berhias, kemudian nanti berubah setelah tidak berhias, maka akan berubah pandangannya.
(Syaikh Ibnu Utsaimin)
4.Berbicaranya pelamar kepada wanita yang dilamarnya:
Jika pembicaraan itu untuk keperluan lamaran, maka tidak apa-apa. Namun yang lebih utama dan lebih terjaga adalah berbicara dengan walinya.
(Syaikh Ibnu Fauzan)
5.Berduaan dengan wanita yang dilamarnya:
Wanita tidak boleh pergi bersama laki-laki yang melamarnya sebelum dilangsungkannya akad nikah bila tidak disertai dengan mahramnya, karena hal ini bisa mengarah kepada fitnah.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
6.Bila ditanya tentang laki-laki pelamar, apakah harus memberitahukan tentang hakekat dirinya atau tidak?
Orang yang ditanya itu wajib menjelaskan hakikat yang diketahuinya dan tidak boleh berbohong kepada yang bertanya.
(Syaikh as-Sa’di)
7.Jika wanita yang dilamar sedang menderita suatu penyakit, apakah laki-laki yang melamarnya perlu diberitahu?
Wali si wanita wajib menjelaskan kepada laki-laki yang melamar putrinya tentang kondisinya yang berkenaan dengan aib dan penyakit jika si pelamar itu belum mengetahuinya sehingga ia menjadi tahu. Karena tidak ada pemberitahuan mengenai hal tersebut termasuk kecurangan terhadapnya.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
8.Jika seorang gadis mempunyai masalah pada rahimnya, apakah ia harus memberitahu lai-laki yang melamarnya?
Jika masalah itu merupakan masalah ringan yang kadang dialami oleh kaum wanita lainnya yang kemudian bisa hilang, maka tidak perlu memberitahunya. Tapi bila itu merupakan penyakit yang tidak ringan, dan ketika dilamar ia masih menderitanya, maka walinya harus memberitahukan hal itu kepada laki-laki yang melamar putrinya.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
9.Seorang wanita mengalami suatu kecelakaan di waktu kecil yang merobek keperawanannya. Apakah perlu diberitahukan kepada suaminya?
Secara syar’i tidak terlarang untuk menyembunyikannya. Kemudian bila telah dicampuri, suaminya bertanya, maka hendaknya memberitahukannya tentang hal yang sebenarnya.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
10.Tidak perlu pemeriksaan dokter sebelum menikah:
Sebaiknya anda berdua saling berbaik sangka (husnu azh-zhan) terhadap Allah, lain dari itu, pemeriksaan dokter terhadap
(Syaikh Ibnu Baz)
11.Pendapat yang diterima adalah pendapat si wanita yang dilamar:
Jika ayah si gadis berbeda pendapat dengan ibunya si gadis tentang calon suaminya, yang mana masing-masing mempunyai calon, maka masalahnya diserahkan kepada si gadis. Karena dialah yang akan mengarungi rumah tangga dengan calon suami itu dan menyertai hidupnya.
(Syaikh Ibnu Utsaimin)
12.Tapi bila, umpamanya, ia memilih laki-laki yang tidak mencukupi dalam hal agama dan akhlaknya, maka tidak boleh diambil pendapatnya.
(Syaikh Ibnu Utsaimin)
13.Jika seseorang melamar seorang wanita yang mana si wanita rela dan walinya yang juga rela, maka kerabat-kerabatnya tidak boleh menghalangi pernikahannya dengan laki-laki tersebut, karena mereka tidak mempunyai hak wali.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
14.Jika seorang wanita mengatakan, “Bila waliku rela dengan ini, maka aku pun rela.” Ini sah.
(Syaikh as-Sa’di)
15.Tidak boleh memaksakan anak perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, walaupun kedua orang tuanya rela dengan agama si calon itu.
(Syaikh as-Sa’di)
16.Apakah boleh menolak menikah bila ada alasan yang syar’i?
Yang disyari’atkan atas wanita adalah menikah karena dengan menikah bisa memelihara kemaluan, menundukkan pandangan dan memperbanyak keturunan. Sedangkan santai-santai tanpa menikah mengandung bahaya besar, di samping hal ini bertolak belakang dengan sunnah. Maka tidak selayaknya seorang wanita menunda pernikahan bila ia dilamar oleh laki-laki yang sesuai. Tapi bila ada udzur yang tidak bisa ia ungkapkan kepada orang lain, hanya ia sendiri yang tahu, misalnya karena ia tidak tertarik kepada si pelamar, atau karena ia sendiri mempunyai aib yang menghalanginya untuk menikah, maka itu tidak apa-apa (boleh menolak menikah dengan laki-laki tersebut).
(Syaikh Ibnu Baz)
17.Jika seorang wanita mensyaratkan kepada pelamarnya “agar tidak melarangnya mengajar” lalu ia menikah, maka ini adalah syarat yang sah, sehingga suaminya tidak boleh melarangnya mengajar setelah bercampur. Jika ternyata suaminya melarangnya, maka ia boleh memilih antara melanjutkan rumah tangganya atau minta pembatalan kepada hakin syar’i.
(Syaikh Ibnu Baz)
18.Jika kedua mempelai sepakat bahwa si wanita tetap tinggal bersama keluarganya atau bahwa gilirannya hanya siang hari atau hanya malam hari, atau hanya pada hari-hari tertentu atau malam-malam tertentu, maka ini tidak apa-apa, dengan syarat bahwa pernikahan itu diumumkan dan tidak disembunyikan.
(Syaikh Ibnu Baz)
19.Apakah boleh seorang wanita tidak menikah lagi setelah kematian suaminya?
Tidak boleh, karena hal ini khusus hanya untuk para istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga suaminya tidak boleh melarangnya untuk menikah lagi bila ia meninggal lebih dulu, bila melarangnya, maka tidak wajib dipatuhi.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
20.Nikah misyar dan nikah ‘urfi (tradisional):
Nikah misyar tidak apa-apa terpenuhi syarat-syaratnya secara syar’i. Dan seharusnya setiap muslim dan muslimah melangsungkan pernikahan secara syar’i, yaitu memenuhi rukun-rukun nikah dan syarat-syaratnya diakui syari’at, yaitu adanya wali, mahar, dua saksi, dan kerelaan kedua mempelai, baik itu disebut nikah misyar ataupu lainnya
(Syaikh Ibnu Baz)
21.Nikah sirri:
Nikah dalam Islam pada dasarnya “diumumkan”, maka tidak boleh disembunyikan. Disyariatkannya publikasi nikah hukumnya sangat jelas, tidak samar. Di antara tujuannya yang paling penting adalah untuk membedakan antara pernikahan dan zina. Karena zina adalah yang disembunyikan dan ditutup-tutupi. Untuk publikasi pernikahan cukup dengan saksi-saksi.
(Al-Lajnah ad-Da’imah)
Sumber: Aktsar min Alf Jawab Lil Mar’ah, versi Indonesia “Menjawab 1001 Problema Wanita”, Khalid al-Husainan, Penerbit Darul Haq (hal 172-178) • Diketik ulang oleh shalihah.com
http://www.humairoh.inef.web.id/
***artikel Ummu Zakaria***
0 komentar:
Post a Comment