Friday 31 December 2010

Nasehat Untuk Remaja Muslim

Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.

Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?

Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)


Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?

Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.

Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.

Umurmu Tidak Akan Lama Lagi

Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).

Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.

Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.

“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.

Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:

فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)

Bersegeralah dalam Beramal

Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)

Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.

Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)

Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?

Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.

“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)

Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?

Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)

Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.

Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

Jauhi Perbuatan Maksiat

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.

Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)

Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)

Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.

Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu

Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.

Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)

Akhir Kata

Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.

Sumber: Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418)

***artikel Ummu Zakaria***

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT TAHUN BARU

Pertanyaan : Apa hukumnya mengucapkan selamat tahun baru, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh umat, seperti saling mengucapkan : كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ (setiap tahun engkau senantiasa berada dalam kebaikan) atau ucapan-ucapan semisal?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullah menjawab :

Ucapan selamat tahun baru bukanlah perkara yang dikenal di kalangan para ‘ulama salaf. Oleh karena itu lebih baik ditinggalkan. Namun kalau seseorang mengucapkan selamat karena pada tahun yang sebelumnya ia telah menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah, ia mengucapkan selamat karena umurnya yang ia gunakan untuk ketaatan kepada Allah, maka yang demikian tidak mengapa. Karena sebaik-baik manusia adalah barangsiapa yang panjang umurnya dan baik amalannya. Namun perlu diingat, ucapan selamat ini hanyalah dilakukan pada penghujung tahun hijriyyah. Adapun penghujung tahun miladiyyah (masehi) maka tidak boleh mengucapkan selamat padanya, karena itu bukan tahun yang syar’i. Bahkan kaum kafir biasa mengucapkan selamat pada hari-hari besar mereka. Seseorang akan berada pada bahaya besar jika ia mengucapkan selamat pada hari-hari besar orang-orang kafir. Karena ucapan selamat untuk hari-hari besar orang-orang kafir merupakan bentuk ridha terhadap mereka bahkan lebih. Ridha terhadap hari-hari besar orang-orang kafir bisa mengeluarkan seorang muslim dari agama Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imâm Ibnul Qayyim dalam kitab Ahkâm Ahlidz Dzimmah (Hukum-hukum tentang Kafir Dzimmi).


Kesimpulannya : Ucapan selamat untuk tahun baru hijriyyah lebih baik ditinggalkan tanpa diragukan lagi, karena itu bukan kebiasaan para ‘ulama salaf. Namun kalau ada seseorang yang mengucapkannya maka ia tidak berdosa.



Adapun ucapan selamat untuk tahun baru miladiyyah (masehi) maka tidak boleh.


[dari Liqâ`âtil Bâbil Maftûh ]

http://www.assalafy.org/mahad/?p=291

***artikel Ummu Zakaria***

Singa-singa Padang Pasir di Perang Nahawand

Mereka adalah sosok pejuang pencari kemuliaan. Harapan yang lahir dari kejernihan iman, menjadikan mereka sebagai ksatria-ksatria tangguh dalam kancah jihad fi sabilillah. Terik panas gurun pasir, lembah gersang lagi tandus, pegunungan yang terjal, serta ancaman maut menghadang tidaklah menyurutkan langkah tegap mereka. Tentunya amalan yang selaras dengan ajaran agama, bukan tindakan teror khawarij yang membabi buta. Keinginan mereka tak lebih dari dua hal, hidup mulia dengan tegaknya Islam dimuka bumi atau gugur meraih syahid. Kemuliaan, keberanian, serta ketangguhan yang mereka miliki menjadikan mereka layak menyandang gelar “Singa-Singa Padang Pasir”.


SEKILAS TENTANG PERANG NAHAWAND

Perang ini merupakan peperangan berskala besar yang berlangsung pada tahun 21 H. Berbagai kisah heroik dan menakjubkan mewarnai jalannya pertempuran. Sebuah gambaran jihad fi sabilillah dimasa khalifah Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Peristiwa bersejarah ini berlangsung di Nahawand, sebuah kota besar yang terletak di Al-Hadhbah - Iran pada masa sekarang. Karena itulah peperangan ini dikenal dengan Perang Nahawand.

LATAR BELAKANG PEPERANGAN

Bertahap tapi pasti pasukan Islam berhasil menaklukkan negeri Syam (Romawi) hingga Baitul Maqdis. Penaklukan ini terus berlanjut dengan dikuasainya negeri Mesir, kemudian Iraq hingga Istana Putih (kerajaan Persia) di Madain jatuh ditangan kaum muslimin.
Singa-Singa Padang Pasir terus merangsek memasuki wilayah teritorial Persia. Bertubi-tubi kota demi kota berhasil dikuasai. Fenomena tragis ini menyulut kemarahan Yazdigird, raja Persia kala itu. Diapun melayangkan surat provokasi kepada para pimpinan wilayah disekitar Nahawand, memotivasi mereka untuk berangkat menyerbu wilayah kaum muslimin.
Upaya ini berhasil menghimpun sebuah pasukan besar berkekuatan 150.000 personil lengkap dengan persenjataannya. Detasemen gabungan artileri-kavaleri ini dibawah komando seorang panglima senior yang bernama Al-Fairuzan.
Merekapun bersepakat menyatukan kekuatan dan memobilisasi pasukan untuk menyerang kota Basrah dan Kufah. Rencana penyerangan pasukan Persia itu sampai kepada Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu di kota Madinah. Segera Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul di masjid. Beliau naik mimbar dan berkata: “Sesungguhnya hari ini adalah penentu bagi hari esok. Aku akan memberikan sebuah instruksi kepada kalian, maka dengarlah dan penuhilah! Jangan kalian saling berselisih sehingga kekuatan kalian menjadi sirna! Aku berkeinginan keras untuk maju bersama tentara-tentara yang berada di depanku hingga sampai di suatu tempat antara kota Basrah dan Kufah. Lantas aku akan himbau kaum muslimin untuk berangkat sebagai satuan tempur, hingga Allah memberi kemenangan kepada kita.”
Setelah mendengar gagasan-gagasan dari beberapa pemuka kaum muslimin, Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk mendahului menyerbu wilayah Persia, dan mengangkat seorang dari pasukan yang berada di Iraq sebagai panglima perang. Beliau berkata: “Demi Allah, aku akan mengangkat seorang panglima perang yang akan menjadi ujung tombak di saat bertemu musuh esok hari.” Mereka bertanya: “Siapakah dia wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “An-Nu’man bin Muqarrin”. “Dia memang pantas untuk hal itu,” sahut mereka.

PERSIAPAN PASUKAN ISLAM

Rencana penyerangan pasukan Persia merupakan ancaman besar bagi daerah kaum muslimin, terkhusus kota Basrah dan Kufah. Hal ini membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat sebelum pasukan Persia datang menyerbu.
Umar radhiyallahu ‘anhu segera memerintahkan Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu agar berangkat dari Kufah bersama pasukannya. Demikian pula instruksi diberikan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu agar berangkat bersama pasukannya dari Basrah.
Merekapun bergerak maju dengan membawa pasukan Islam dalam jumlah besar. Mereka benar-benar waspada atas segala kemungkinan yang akan terjadi. Hingga akhirnya seluruh pasukan Islam berkumpul di tempat yang telah disepakati, lengkaplah jumlah pasukan Islam menjadi 30.000 personil. Di dalamnya terdapat banyak pembesar sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemimpin Arab. Bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan Islam adalah An-Nu’man bin Muqarrin.
Sebagai langkah awal, An-Nu’man mengutus Thulaihah, ‘Amr bin Ma’dikarib, dan ‘Amr bin Abi Salamah sebagai satuan intelijen di depan pasukan, untuk mengumpulkan informasi keadaan musuh. Thulaihah berhasil menyusup ke dalam barisan pasukan Persia, sementara kedua rekannya kembali di pertengahan jalan. Bahkan Thulaihah Al-Asadi berhasil membunuh beberapa petinggi pasukan Persia, menawan salah satu pimpinan mereka, dan mendapatkan data akurat tentang kekuatan musuh.
Akhirnya, dapat diketahui bahwa tidak dijumpai adanya mara bahaya pada rute menuju Nahawand.

JALANNYA PEPERANGAN

An-Nu’man bin Muqarrin bersama pasukan Islam bergerak maju menuju Nahawand. Pasukan lini depan dipimpin oleh Nu’aim bin Muqarrin, pasukan penyerang di bawah komando Al-Qa’qa’ bin ‘Amr, sayap kiri dan kanan dipegang Hudzaifah bin Al-Yaman dan Suwaid bin Muqarrin. Adapun pertahanan belakang diatur oleh Mujasyi’ bin Mas’ud.
Di saat kedua pasukan berhadapan, An-Nu’man berikut pasukan Islam bertakbir tiga kali hingga mengguncang barisan musuh dan membuat mereka sangat ketakutan, kemudian An-Nu’man menginstruksikan agar pasukan Islam meletakkan perbekalan mereka dan segera mendirikan tenda-tenda.
Di saat persiapan sudah matang, instruksi telah diberikan kepada tiap pimpinan regu, peperanganpun tak terelakkan lagi. Pasukan Islam serempak menyerbu barisan pasukan Persia.
Pada hari-hari itu begitu tampak bukti keimanan, ketangguhan, dan keberanian pasukan Islam. Perbandingan jumlah pasukan yang tak seimbang itu tidaklah menyurutkan langkah milisi militan Islam, hingga pasukan Persia melarikan diri berlindung ke dalam benteng. Pengepungan segera dilakukan dengan sangat ketat dari segala penjuru. Sementara pasukan Persia leluasa keluar menyerang dan masuk berlindung ke benteng sekehendak mereka.

MAJELIS MUSYAWARAH MILITER

Tatkala pengepungan berjalan beberapa hari tanpa ada hasil yang diharapkan, para pimpinan pasukan Islam berunding bagaimana cara menghadapi musuh selanjutnya. ‘Amr bin Abi Salamah mengusulkan agar melanjutkan pengepungan. Sementara ‘Amr bin Ma’dikarib menyarankan untuk menyerang mereka.
Seluruh yang hadir menolak kedua usulan ini. Setelah itu, Thulaihah layaknya ahli strategi perang menyampaikan pendapatnya, agar mengutus sekelompok pasukan menyerang terlebih dahulu. Disaat pasukan kecil ini mendapat serangan musuh, maka mereka seolah-olah berlari kalah menuju pasukan inti. Disaat itu, seluruh pasukan menunjukkan kekalahan dan berlari mundur ke belakang.
Jika musuh telah yakin akan kekalahan pasukan Islam, niscaya mereka bersemangat menyerang dan keluar dari benteng secara keseluruhan. Saat itulah pasukan Islam berbalik menyerbu hingga Allah menentukan akhir pertempuran tersebut. Maka seluruh yang hadir menyepakati strategi ini.

PELAKSANAAN HASIL MUSYAWARAH

Dengan perintah dari An-Nu’man, Al-Qa’qa’ bin ‘Amr berikut pasukan penyerang maju mengepung benteng. Ketika pasukan Persia menyerang, Al-Qa’qa’ beserta pasukan berlari mundur dan terus mundur.
Akhirnya pasukan Persia terkecoh keluar dari benteng dan maju menyerang, hingga tak tersisa di dalam benteng kecuali para penjaga pintu gerbang. Bersamaan dengan itu, musuh telah mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat dengan rantai besi dan menaruh besi-besi berduri dibelakang mereka (setiap 7 tentara diikat menjadi satu agar tidak melarikan diri dari perang). Musuh terus melancarkan serangan dan memasang sejumlah manjanik (ketapel pelontar ukuran besar), menghujani pasukan Islam dengan batu-batu, hingga banyak tentara Islam yang terluka.
Sebagian tentara Islam mendatangi An-Nu’man, mereka berkata: “Tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada kami? Ijinkanlah bagi pasukan Islam untuk maju menyerbu musuh.” An-Nu’man menjawab: “Pelan-pelan…!”
Ketika matahari tergelincir, pasukan Islam segera melaksanakan shalat dhuhur. Setelahnya An-Nu’man menaiki kudanya, memeriksa pasukan seraya menasehati untuk senantiasa bersabar dan gigih dalam berperang.
Beliau memberikan instruksi, jika terdengar takbir pertama, maka hendaknya seluruh prajurit menyiapkan diri. Jika terdengar takbir kedua, maka hendaknya tidak ada satupun dari pasukan kecuali telah siap dengan senjatanya. Dan apabila takbir ketiga dikumandangkan, maka seluruh pasukan maju bergerak menyerbu. Beliau berkata: “Apabila aku terbunuh, maka Hudzaifah sebagai penggantiku. Apabila dia terbunuh, maka Fulan sebagai penggantinya (hingga menyebutkan tujuh orang dan terakhirnya adalah Al-Mughirah).”
Setelah itu, beliau memanjatkan doa di hadapan pasukannya: “Ya Allah… muliakanlah agama-Mu, tolonglah hamba-hamba-Mu, dan jadikanlah An-Nu’man sebagai syahid pertama pada hari ini, diatas kemuliaan agama-Mu dan kemenangan hamba-hamba-Mu.” Tentara-tentara Islampun menangis mendengar doa sang panglima, mereka patuh dan taat atas perintah yang telah diberikan. Lalu beliau kembali ke posisi semula.

BERKOBARNYA API PEPERANGAN

Siang itu, An-Nu’man dengan suara lantang bertakbir sekali dan mengibarkan panji perang, maka pasukan mulai bersiap-siap. Takbir kedua dikumandangkan dan pasukan semakin bersiap diri. Di saat takbir ketiga, maka dengan sigap seluruh prajurit serentak menyerbu memborbardir pasukan Persia, layaknya banjir besar yang tak terbendung. Pekikan takbir menggema pada setiap prajurit Islam yang maju menyerbu.
Kedua pasukan bertemu, tak pelak pedang-pedang pun beradu, debu-debu beterbangan, lemparan tombak tak dapat dihindari, dan begitu banyak jasad tentara Persia bergelimpangan, membuat suasana semakin membara. Tiap-tiap tentara Islam bertempur dengan gigih mempertaruhkan nyawa.
Sungguh, cahaya iman telah memasuki sanubari. Masing-masing regu mempunyai andil melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, musuh begitu terkejut mendapat serangan balik dari pasukan pemukul reaksi cepat garda Islam. Amukan singa-singa padang pasir benar-benar terjadi. Sementara panji perang yang dipancangkan An-Nu’man berkibar-kibar di atas kudanya, maju menyibak garis pertahanan pasukan Persia.
Permukaan bumi yang licin bersimbah darah membuat banyak kuda tergelincir karenanya. Bahkan kuda An-Nu’man tergelincir jatuh membuat dirinya terlempar. Ketika itulah, salah satu anak panah musuh menembus lambung beliau hingga ia meninggal karenanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.
Selanjutnya panji perang diserahkan kepada Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu. Perang terus berlanjut. Menjelang malam pasukan Persia mengalami kekalahan telak dan lari tercerai-berai dikejar pasukan Islam. Akhirnya, Al-Fairuzan pun berhasil dibunuh oleh Al-Qa’qa’ bin ‘Amr di tepi pegunungan Hamadan, Iran. Diperkirakan jumlah pasukan Persia yang terbunuh kala itu lebih dari 100.000 personil.
Akhirnya, kaum muslimin kembali meraih kemenangan sebagaimana dalam kancah peperangan lainnya. Sejarah yang senantiasa berulang dari masa ke masa dengan para pelaku yang berbeda. Kenyataan yang jelas terlihat oleh setiap mata, bukan hasil khayalan yang tak tentu arahnya.
Benarlah, generasi awal umat ini merupakan sekumpulan manusia terbaik di muka bumi ini.
Inilah sepenggal mata rantai perjuangan kaum muslimin. Kemenangan, kejayaan, dan kekhilafahan di muka bumi akan terwujud dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala tatkala mereka beriman dengan keimanan yang hakiki. Kemurnian ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari noda kesyirikan merupakan modal utama bagi sebuah kemenangan. Tak hanya itu, keteguhan diatas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan satu hal yang mutlak disamping perjuangan yang sarat dengan pengorbanan.
Wallahu a’lam.

http://www.assalafy.org/
***artikel Ummu Zakaria***

AKIBAT YANG AKAN DIRASAKAN OLEH PELAKU RIBA

Para pembaca, tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.


Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]



Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:


“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]






Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita dari perbuatan yang merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi tersebut. Dengan sebab kebiasaan memakan riba itulah, Allah subhanahu wa ta’ala sediakan adzab yang pedih bagi mereka.


“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” [An-Nisa’: 161]


Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah samasekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.


Mungkin ada yang bertanya, mengapa perekonomian di negara-negara barat sangat maju, rakyatnya makmur, dan segala kebutuhan hidup tercukupi, padahal praktek riba tumbuh subur di negara-negara tersebut?


Keadaan seperti ini janganlah membuat kaum muslimin tertipu. Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang tidak akan mengingkari janji-Nya telah berfirman (artinya):


“Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [Al-Baqarah: 276]


Makna dari ayat tersebut adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memusnahkan riba, baik dengan menghilangkan seluruh harta riba dari tangan pemiliknya, atau dengan menghilangkan barakah harta tersebut sehingga pemiliknya itu tidak akan bisa mengambil manfaat darinya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukumnya dengan sebab riba tersebut di dunia maupun di akhirat. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]


Jadi, walaupun harta yang dihasilkan dari praktek riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis samasekali.


Dari sini, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:


مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ


“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]


Siapa yang akan bisa selamat kalau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengumumkan peperangan kepadanya?


Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa peperangan dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah berupa adzab yang akan ditimpakan-Nya, sedangkan peperangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan pedang. [Lihat Tafsir Al-Baghawi]


Seorang mufassir (ahli tafsir) yang lain, yaitu Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah menyatakan bahwa ayat (yang artinya): “maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” [Al-Baqarah: 279] bisa mengandung dua pengertian:


Pertama, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka Aku (Allah) akan memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kalian.


Kedua, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka kalian termasuk orang-orang yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sebagai musuh bagi keduanya. [Lihat An-Nukat wal ‘Uyun]


Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah pada Tafsir-nya tentang ayat ke-279 dari surat Al-Baqarah di atas menyatakan:


“Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang masih melakukan praktek riba setelah datangnya peringatan (dari perbuatan tersebut).”


Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:


“Barangsiapa yang senantiasa melakukan praktek riba dan dia enggan untuk meninggalkannya, maka seorang imam (pemimpin) kaum muslimin berhak memerintahkannya untuk bertaubat, jika dia mau meninggalkan praktek riba (bertaubat darinya), maka itu yang diharapkan, namun jika dia tetap enggan, maka hukumannya adalah dipenggal lehernya.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]


Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:


“Ancaman seperti ini tidak diberikan kepada pelaku dosa besar kecuali pelaku riba, orang yang membuat kekacauan di jalan, dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” [Lihat Thariqul Hijratain, hal. 558]


Lebih parah lagi kondisinya jika praktek riba itu sudah menyebar di suatu negeri, dan bahkan masyarakatnya sudah menganggap hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Maka ketahuilah bahwa keadaan seperti ini akan mengundang murka dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ


“Jika telah nampak perbuatan zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk merasakan adzab Allah.” [HR. Al-Hakim dan Ath-Thabarani, dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’]


Maka dari itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -dengan penuh belas kasih kepada umatnya- benar-benar telah memperingatkan umatnya dari praktek riba yang bisa menyebabkan kebinasaan, sebagaimana dalam sabdanya:


اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ


“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang menyebabkan kebinasaan.” Kami (para shahabat) bertanya: “Apa tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “…memakan (mengambil) riba…” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]


Ancaman bagi yang ikut andil dalam praktek riba


Selain pemakan riba, dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencela beberapa pihak yang turut terlibat dalam muamalah yang tidak barakah tersebut. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:


لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), juru tulisnya, dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.” [HR. Muslim]


Mereka semua terkenai ancaman laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dengan itu mereka telah berta’awun (tolong menolong dan saling bekerjasama) dalam menjalankan dosa dan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):


“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]


Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ


“Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), dua saksinya, dan juru tulisnya.” [HR. Ahmad, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’]


Dua hadits di atas menunjukkan ancaman bagi semua pihak yang bekerjasama melakukan praktek ribawi, yaitu akan mendapatkan laknat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti dia mendapatkan celaan dan akan terjauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.


Para pembaca, cukuplah hadits berikut sebagai peringatan bagi kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat nanti.


Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ: الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا


“Tadi malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]


Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari perbuatan riba dan seluruh amalan yang bisa mendatangkan kemurkaan-Nya.
Wallahu a’lam bish shawab.

http://www.assalafy.org/
***artikel Ummu Zakaria***

Wednesday 22 December 2010

Hadits-hadits tentang Keutamaan Surah Yasin, Satupun Tidak Ada yang Shohih (2)

Oleh: Al-Ustadz Abul Mundzir Dzul-Akmal As-Salafy
Hadits Keempat:




6844- (إني فرضت على أمتي قراءة ((يس)) كل ليلة، فمن داوم على قراءتها كل ليلة ثم مات، مات شهيدا).




Artinya: “Sesungguhnya saya telah mewajibkan atas ummat saya membaca surah Yasin setiap malam, maka barang siapa yang selalu membacanya setiap malam, kemudian dia meninggal, meninggalnya dalam keadaan syahiid.”








Berkata asy Syaikh al Albaaniy: Hadist ini Maudhuu` (palsu).


Diriwayatkan oleh Abu asy Syaikh di “as Tsawab”, dari jalannya asy Syaikh asy Syajriy di “al Amaaliy” (1/118) berkata: telah menghadistkan pada kami Ibnu Abi `Aashim: telah menghadistkan pada kami `Umar bin Hafsh al Washaabiy: telah menghadistkan pada kami Sa`iid bin Muusaa: telah menghadistkan pada kami Rabaah bin Zaid dari Ma`mar dari az Zuhriy dari Anas marfuu`.








As Sayuuthiy menampilkan riwayat ini di “Dzeilul Ahaadiist al Maudhuu`ah” (hal.24) dari riwayat Abi asy Syaikh, kemudian beliau berkata: “Sa`iid rawi yang dituduh.” Diakui oleh Ibnu `Iraaq di “Tanziihus Syarii`ah” (1/267).








Dan dari jalan al Washaabiy disebutkan bahagian yang kedua darinya- “barang siapa mengamalkannya terus menerus….”- at Thobbaraaniy di “al Mu`jamus Shoghiir” (hal.210-Hindiyah), dari jalannya al Khathiib di “at Taariikh) (3/245), dan berkata at Thobbaraaniy: “menyendiri dengannya Sa`iid.” Berkata al Haitsamiy di “al Majma`” (7/97): “diriwayatkan oleh at Thobbaraaniy di “as Shoghiir”, padanya ada Sa`iid bin Muusaa al Azdiy, dia pendusta.”





Baginya masih ada hadist hadist yang lain, maudhuu` (palsu) sangat jelas kepalsuannya, salah satunya di “as Sunnah” oleh Ibnu Abi `Aashim (1/305-306/696).




Telah lewat baginya hadist yang ketiga dengan no. 594. (ad Dho`iifah 14/2/789 no.6844).




Hadits Kelima:
Dan pada bab ini juga dari jalan Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih dari sisi sanadnya, isnadnya lemah. [1]




وعن جندب رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “من قرأ ((يس)) في ليلة ابتغاء وجه الله: غفر له.”




Artinya: Dari Jundub radhiallahu `anhu berkata: berkata Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam: “Barang siapa yang membaca “Yaasin” pada malam hari mencari Wajah Allah, Allah Tabaaraka wa Ta`aala mengampuni dosanya.” [2]




Berkata asy Syaikh al Baaniy rahimahullahu `Ta`aala: Hadist ini dho`iif (lemah)




Hadits Keenam:


169- (إن لكل شيء قلبا، وإن قلب القرآن (يس)، من قرأها: فكأنما قرآ القرآن عشر مرات).




Artinya: “Sesungguhnya setiap sesuatu ada hatinya, dan sesungguhnya hati al Quraan adalah ((Yaasin)), barang siapa yang membacanya; seolah-olah dia telah membaca al Qur`aan sepuluh kali.”




Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : Hadist ini maudhuu` (palsu).




Dikeluarkan oleh at Tirmidziy (4/46, ad Daarimiy (2/456 dari jalan Humeid bin `Abdirrahman dari al Hasan bin Shoolih dari Haarun Abi Muhammad dari Muqaatil bin Hibbaan dari Qataadah dari Anas marfuu`an. Berkata at Tirmidziy: “Hadist ini hasan ghariib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, sedang Haarun abu Muhammad majhuul (tidak dikenal), pada bab ini juga dari Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih, sebab sanadnya lemah, dan pada bab ini juga dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu.”




Berkata asy Syaikh al Albaaniy : demikian terdapat pada kitab kami sunan at Tirmidziy; “Hasan ghariib”, dan dinuqil oleh al Mundziriy dalam “at Targhiib” (2/322), dan al Haafidz Ibnu Katsiir di “at Tafsiirnya” (3/563), al Haafidz di “at Tahdziib”, sesungguhnya hadist ini lemah, sangat jelas kelemahannya, bahkan hadist ini maudhuu` (palsu) dikarenakan Haarun, sungguh telah berkata al Haafidz ad Dzahabiy ketika menjelaskan biografinya setelah dinukil dari at Tirmidziy dimana beliau mengatakan dia rawi yang majhul: “saya berkata: saya menuduhnya dengan apa yang telah diriwayatkan oleh al Qudhaa`iiy di “Syihaabihi”, kemudian dia menampilkan baginya hadits ini”.




Berkata asy Syaikh al Albaaniy: dia pada no. (1035).




Di dalam “al `Ial” (2/55-56) oleh Ibnu Abi Haatim: “Saya bertanya kepada bapak saya tentang hadist ini? Beliau menjawab : Muqaatil ini, adalah Muqaatil bin Sulaimaan, saya melihat hadist ini di awal kitab yang dikarang oleh Muqaatil bin Sulaimaan, hadist ini hadist bathil tidak ada ashol baginya.”




Berkata asy Syaikh al Albaaniy:




Demikian telah dipastikan Abu Haatim-beliau al Imam al Hujjah- bahwa Muqaatil yang disebutkan dalam sanad ini ialah ibnu Sulaimaan, namun demikian terdapat di “sunan” at Tirmidziy dan ad Daarimiy “Muqaatil bin Hayyaan”; sebagaimana yang saya lihat, moga-moga saja kesalahan sebahagian dari para rawi. Disokong lagi bahwa hadist diriwayatkan oleh al Qadhaa`iiy; telah lewat, demikian juga Abul Fath al Azdiy dari jalan Humeid ar Ruaasiy dengan sanadnya yang telah lalu dari jalan Muqaatil dari Qataadah dengannya. Seperti ini dikatakan: “dari Muqaatil”, tidak dia sandarkan kepadanya, maka mengira sebahagian rawi bahwa dia adalah Ibnu Hayyaan, disandarkan kepadanya, diantaranya al Azdiy sendiri, bahwasanya disebutkan dari Waqii` bahwa beliau berkata tentang Muqaatil bin Hayyaan: “disandarkan padanya kedustaan”.


Berkata ad Dzahabiy: “Demikian dikatakan oleh Abul Fath, saya mengira samar-samar atasnya diantara Muqaatil bin Hayyaan dengan Muqaatil bin Sulaimaan, sedangkan Ibnu Hayyaan shoduuq, kuat dalam hadist, sedangkan yang dianggap dusta oleh Waqii` adalah Ibnu Sulaimaan. Kemudian berkata Abul Fath ….”


Berkata al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala: “Maka dia tampilkan sanad hadist sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini, kemudian al Imam ad Dzahabiy mengomentari dengan perkataannya: Saya berkata: “yang benar dia adalah Muqaatil bin Sulaimaan.”


Berkata asy Syaikh al Albaaniy: “Apabila dia benar ibnu Sulaimaan; sebagaimana yang telah dibenarkan oleh ad Dzahabiy, dan lebih dipertegas lagi oleh Abu Haatim, maka hadist ini adalah maudhu`u (palsu) secara muthlaq; karena- maksud saya- Ibnu Sulaimaan- kadzaab (sangat pendusta); sebagaimana yang telah dikatakan oleh Waqii` dan selainnya.


Kemudian ketahuilah bahwa hadist Abi Bakar yang diisyaratkan oleh at Tirmidziy lalu beliau lemahkan, saya belum menemukan matannya, sedangkan hadist Abi Hurairah radhiallahu `anhu, telah berkata al Haafidz Ibnu Katsiir: “Manzhuurun (dikeritik) fiihi (padanya).” Kemudian dia berkata: “Berkata Abu Bakar al Bazzaar: telah menghadistkan kepada kami `Abdurrahman bin al Fadhl: telah menghadistkan kepada kami Zaid bin al Habbaab: telah menghadistkan kepada kami Humeid al Makkiy maulaa aali `Alqamah dari `Athoo bin Abi Rabaah dari Abi Hurairah marfuu`an dengannya, tanpa perkataan: “barang siapa yang membacanya….”, kemudian al Bazzaar berkata: Kami tidak mengetahui yang meriwayatkannya kecuali Zaid dari Humeid.”


Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala : Dan Humeid ini majhuul (tidak dikenal); sebagaimana telah dikatakan oleh al Haafizh di “at Taqriib”, `Abdurrahmaan bin al Fadhl guru al Bazzaar saya tidak mengetahuinya, dan hadistnya di “Kasyful Astaar” dengan no.2304.


Dan hadist ini diantara hadist-hadist yang telah menghiasi as Sayuuthiy kitabnya “al Jaami`us Shoghiir”, demikian juga as Shobuniy di “mukhtashornya” (3/154), dia menda`wakan bahwa dia tidak menyebutkan kecuali hadist yang shohih saja!, sekali-kali tidak; ini hanya da`waan belaka! [3]


——————————————–


[1] Lihat: “Sunan at Tirmidziy (5/150).


[2] Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala: hadist ini diriwayatkan oleh Maalik dan Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibban di “shohihnya”, (6/312 no.2574 pent.), at Thobaraaniy di “al Mu`jamus Shoghiir” (1/149) dan “al Ausath” (4/21 no.3509 pent).


Kemudian berkata asy Syaikh al Albaaniy : padanya ada `an`anah al Hasan al Bashriy, sedangkan pengembaliannya kepada Ibnu as Sunniy salah atau tidak disengaja, sesungguhnya disisinya no.(668) dari jalan al Hasan dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu! Hadist ini juga dikeluarkan oleh beliau di dalam “ad Dho`iifah” (14/293-296 no.6623); dan berkata beliau: diriwayatkan dari hadist Abi Hurairah dan Jundub bin `Abdullah dan `Abdullah bin Mas`uud dan Ma`qil bin Yasaar al Muzaniy radhiallahu `anhum.


1. Adapun hadist Abi Hurairah: ini yang paling masyhuur; dikeluarkan oleh ad Daarimiy (2/457), at Thoyaalisiy (2/23 no.1970), Ibnu as Sunniy (217/268), al `Uqailiy di “ad Dhu`afaa” (1/203), Abu Ya`laa (11/93-94), Ibnu `Adiy (1/416 dan 2/299), at Thobaraaniy di “al Mu`jamus Shoghiir” (hal.82 Hindi), di “al Ausath” (4/304/3533), Abu Nu`eiim di “al Hilyah” (2/159) dan di “Akhbaaru Ashbahaan” (1/252), al Baihaqiy di “as Syu`abu” (2/480/2462-2464), al Khathiib di “at Taarikh” (3/253), Ibnul Jauziy di “al Maudhuu`aat” (1/247) dari berbagai jalan dari al Hasan dari Abi Hurairah marfuu`an. Dan berkata Abu Nu`eiim: “Hadist ini telah meriwayatkannya dari al Hasan segolongan dari kalangan at Taabi`iin diantara mereka Yuunus bin `Ubeid dan Muhammad bin Juhaadah.”


Berkata asy Syaikh al Albaaniy: “Dan yang paling terkuat sanad diantara keduanya ialah yang kedua, sampai sampai as Sayuuthiy berkata di “al Lalaaliy” (1/235): “sanad hadist ini atas syarat (as Shohih).”


Kemudian beliau mengatakan: “Sebenarnya memang demikian; kalaulah bukan al Hasan- dia adalah al Bashriy- yang dikenal dengan “tadliis”, dan diperselisihkan tentang mendengarnya dia dari Abu Hurairah radhiallahu `anhu, sebagaimana yang telah diceritakan oleh at Thobaraaniy setelah menampilkan hadist ini beliau berkata: “Sungguh dikatakan: sesungguhnya al Hasan tidak mendengar dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu, dan berkata sebahagian ahli `Ilmu: bahwa sungguh-sungguh dia telah mendengar darinya.”


Sedangkan yang telah ditetapkan oleh al Haafidz di dalam “at Tahdziib” bahwa dia telah mendengar darinya sebahagian; akan tetapi ini tidak ada mamfa`atnya bagi seorang rawi yang “mudallis” sampai dia betul-betul menshorehkan bahwa dia telah mendengar yang tidak akan menimbulkan penafsiran yang lainnya lagi.”


Kata asy Syaikh al Baaniy: “Betul; diriwayat Abu Ya`laa perkataannya: “Saya telah mendengar Aba Hurairah”; akan tetapi rawi yang meriwayatkan darinya (dari al Hasan) Hisyaam bin Ziyaad- dia: Abul Miqdaam al Madaniy; dia rawi “matruuk” (ditinggalkan)- sebagaimana yang telah dikatakan oleh an Nasaaiiy dan adz Dzahaabiy dan al `Atsqalaaniy-, yang jelas keadaannya tersembunyi bagi al Haafidz Ibnu Katsiir; maka beliau berkata di “at Tafsiir” (3/563): “sanad hadist ini jaiyid (baik).”


2. Adapun hadist Jundub bin `Abdillah: telah meriwayatkannya Muhammad bin Juhaadah dari al Hasan dari Jundub.”


Dikeluarkan oleh Ibnu Hibbaan (665-mawaarid).


`Illah (cacat)nya sama seperti yang telah dijelaskan di atas, Cuma ditambahkan padanya perselisihan pada Muhammad bin Juhaadah dalam sanadnya, kemudian pada al Hasan itu sendiri.


3. Adapun hadist Ibnu Mas`uud radhiallahu `anhu: meriwayatkannya Abu Maryam dari `Amr bin Murrah dari al Haarits bin Suweid dari Ibnu Mas`uud.


Dikeluarkan oleh Abu Nu`eiim (4/130) dan berkata beliau: “Hadist ghariib (dho`iif/lemah), tidak meriwayatkannya dari `Amr kecuali Abu Maryam-dia adalah: `Abdul Ghaffaar bin al Qaasim-: kuufiyun dalam hadistnya liin (kelemahan).”


Berkata asy Syaikh al Albaaniy: “Bahkan itu saja, lebih jelek dari itu; sungguh telah berkata tentangnya Ibnul Madiiniy dan Abu Daawud: “Dia pemalsu hadist.”


4. Dan adapun hadist Ma`qil bin Yasaar: meriwayatkannya Muslim bin Ibraahim bin `Abdillah: telah menghadistkan kepada kami Abu `Umar ad Dhariir: telah menghadistkan kepada kami al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari seorang lelaki dari Ma`qil.


Dikeluarkan oleh al Baihaqiy (2458).


Berkata asy Syaikh al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala: “Sanad hadist ini gelap; Muslim bin Ibraahim `Abdillah: saya tidak mengenalnya, dan lelaki yang disebutkan dalam sanad hadist ini: majhuul (tidak dikenal), tidak disebutkan namanya, dan saya kira dia adalah: (Abu `Utsmaan-bukan an Nahdiy); sesungguhnya telah meriwayatkan al Mu`tamar bin Sulaimaan dari bapaknya dari Ma`qil hadist yang lain tentang keutamaan ((Yaasin)), hadist ini telah saya keluarkan dalam kitab: “al Irwaa” (3/150-151) dan “al Misykaah” (1622), dan Abu `Utsmaan rawi yang tidak dikenal,- dia bukan an Nahdiy rawi yang terpecaya.”


Kesimpulan: Tidak terdapat pada jalan jalan hadist ini apa-apa yang memungkinkan untuk diberikan padanya satu hal menguatkannya, sungguh telah diisyaratkan tentang demikian oleh al `Uqailiy dengan perkataannya setelah menampilkan hadist ini: “Dan riwayat pada matan seperti ini lemah.” Dan berkata ad Daaruquthniy: “Hadist ini sesungguhnya telah diriwayatkan secara marfuu` dan mauquuf, dan tidak satupun yang shohih.” Telah menuqilnya Ibnul Jauziy.


Sesungguhnya telah diriwayatkan hadist ini dengan lafazh lafazh yang lain pada sebahagiannya munkar yang bersangatan; bahkan sungguh bekas pemalsuan atasnya jelas sekali, dan telah terdahulu sebahagiannya dengan nomor: (169, 4634).


Peringatan: al Haafidz al Mundziriy telah menyandarkan hadist ini didua tempat di “at Targhiib” (2/222,257) kepada Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibbaan di “shohihnya” dari Jundub bin `Abdullah. Tidak ada sebenarnya disisi Ibnu as Sunniy kecuali hadist Abu Hurairah radhiallahu `anhu; seolah-olah dia menggiringkan hadist Jundub kepadanya! Dan ini merupakan sikap bermudah mudah yang tidak disenangi padanya. Dan juga beliau menyandarkannya ditempat yang pertama kepada Maalik. Mudah-mudahan saja ketegelinciran pena, atau tambahan pada sebahagian munuskrip; sesungguhnya saya tidak menemukannya di “al Muwattho`”- Inilah tujuan penyandaran secara muthlaq kepadanya- dengan mencari bantuan atas demikian itu dengan membuka daftar-daftar pembahasan pada hari ini, apakah yang khusus atau yang lebih umum. (“Silsilatul Ahaadiist ad Dho`iifah wal Maudhuu`ah” 14/1/293-296 no.6623), karya al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala.)


[3] Lihat: “Silsilatul Ahaadiist ad Dho`iifah wal Maudhuu`ah”, karya al Imam al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala, (1/212-214 no.169).


Sumber: Buletin Jum’at Ta’zhim As-Sunnah Edisi 17 Safar 1429 H


(Sumber URL: http://tazhim-assunnah.blogspot.com/2008/03/id-14.html)
***artikel Ummu Zakaria***