Mahar adalah apa yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan. Mahar adalah pemberian yang dilindungi yang diwajibkan Allah untuk diberikan kepada wanita; bukan sebagai imbalan sesuatu yang wajib dia berikan kecuali memenuhi hak-hak suami isteri, sebagaimana halnya dia tidak dapat digugurkan -walaupun wanita itu rela- kecuali setelah akad. ['Audatul Hijaab (II/298)].
Allah Ta’ala berfirman,
وَ ءَا تُواْآلنِّسَآءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” [QS. An-Nisaa': 4]
فَآ نكِحُو هُنَّ بِإِذْنِأَهْلِهِنَّ وَءَاتُو هُنَّ أُجُو رَهُنَّ بِآلْمَعْرُفِ
“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka dengan patut.” [QS. An-Nisaa': 25)
فَءَاتُو هُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيْضَةً
"Maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.." [QS. An-Nisaa': 24]
Mahar merupakan hak milik seorang isteri dan tak boleh seorang pun mengambilnya, baik sang ayah maupun selainnya kecuali dengan keridhaan hatinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengancam siapa saja yang menyia-nyiakan hak ini dengan ancaman yang sangat keras. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dosa paling besar di sisi Allah ialah orang yang menikahi wanita lain lalu ketika telah menyelesaikan hajatnya darinya, maka dia menceraikannya dan pergi dengan membawa maharnya, orang yang memperkerjakan seseorang lalu pergi dengan membawa upahnya dan seorang yang membunuh binatang dengan sia-sia.” [HR. Al-Hakim (II/182) dan menilainya sebagai hadits shahih sesuai kriteria al-Bukhari serta disetujui adz-Dzahabi; dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 999)]
Seandainya seorang pria telah menjalin akad dengan wanita kemudian ditemukan padanya aib yang bisa membatalkan akad sebelum menyetubuhinya, maka wanita tidak mendapatkan apa-apa jika si pria membatalkan akad. Adapun seandainya aib itu nampak setelah disetubuhi dan ia hendak membatalkan akadnya, maka wanita itu mendapatkan mahar. Dan pria ini mempunayi hak terhadap pihak yang menikahkannya, yaitu kedua orang tua isteri atau walinya; jika mereka menerima hal itu, maka apa yang ada di sisi Allah itulah lebih baik dan lebih kekal pada hari yang tiada bermanfaat harta dan anak-anak.
Meringankan Mahar
Syari’at Islam tidak membatasi angka nominal besar kecilnya mahar, akan tetapi Islam menganjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan dan tidak membuat para pemuda menjadi enggan menikah karena mahalnya mahar.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ مِنْ يُمنِ الْمَرْ أَةِ تَيْسيْرَ صَدَاقِهَا وَ تَيْسِيْرَ رَحِمِهَا
“Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” [HR. Ahmad (no. 23957, al-Hakim (II/181), ia menshahihkannya dan menilainya sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak mengeluarkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' (II/251) dan dalam al-Irwaa' (VI/250)]
Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُالنِّكَا حِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.” [HR. Abu Dawud (no.2117) Kitab an-Nikaah, al-Hakim (II/182), ia menshahihkannya dan menilainya sesuai syarat Syaikhan (al-Bukhari-Muslim), dan Syaikh al-Albani menilainya sesuai syarat Muslim. Lihat al-Irwaa' (VI/345)]
Dalam riwayat Ahmad:
إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَا حِ بَرَ كَةً أَيْسَرُهُ مُوءْنَةً
“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” [HR. Ahmad (no. 24595)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan dan tidak melebihi mahar yang diperoleh para isteri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan anak-anaknya.” [Majmuu' Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192)]
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bagaimana mahar para isteri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Ia menjawab: “Mahar beliau untuk isteri-isterinya ialah 12 auqiyah (yakni berupa perak), dan nasy. Tahukah engkau apakah nasy itu? Aku menjawab, “tidak”. Ia mengatakan, “Setengah uqiyah, (sehingga berjumlah 12,5 uqiyah) yaitu 500 dirham. Itulah mahar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk isteri-isterinya.” [HR. Muslim (no. 1424) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3347) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2105) kitab an-Nikaah, Ibn Majah (no. 1886) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 24105), ad-Darimi (no. 2199) kitab an-Nikaah]
Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia tentang mahar dengan khutbah yang sangat mendalam: “Wahai manusia, janganlah bermahal-mahal salam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu merupakan kemuliaan di dunia atau merupakan ketaqwaan di sisi Allah, niscaya yang paling berhak melakukannya di antara kalian adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam; namun demikian, beliau tidak pernah memberi mahar kepada seorang pun dari isteri-isterinya dan tidak pula seorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah -yakni 500 dirham-. Seorang pria membayar mahal mahar seorang wanita sehingga dia memusuhinya dalam hatinya, dan hingga dia mengatakan, “Aku terbebani peluh girbah (kantung air yang terbuat dari kulit binatang ternak yang telah disamak) untuk mendapatkanmu” [HR. At-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, ia berkata: "Hadits hasan shahih." Abu Dawud (no. 2106) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3349) kitab an-Nikaah, dan lafadz inimiliknya, Ibnu Majah (no. 1887) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 287), ad-Darimi (no. 2200), kitab an-Nikaah. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1532), al-Misykaat (no. 3204), as-Silsilatush Shahiihah (no. 1834).] Yakni, aku terbebani dalam mendapatkanmu, berupa rasa penat dan berat, sehingga berpeluh seperti ghirbah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullan berkata, “Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak permberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka yang berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa.” [Majmuu' Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/195)]
Tak ada alasan yang syar’i jika seorang wanita dan pihak keluarga wanita memaksakan mahar yang tinggi padahal sang pria bukan termasuk lelaki yang memiliki kemampuan. Bahkan, jika sang pria termasuk orang yang tak berharta, boleh memberikan mahar berupa hapalan. Hal ini pernah terjadi pada shahabat.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu mengatakan: ‘Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ (Dalam riwayat Malik: “Sesungguhnya aku menghibahkan diriku kepadamu”). Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian ia berdiri kembali lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Beliau tidak menjawabnya sedikitpun. Kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: ‘Dia telah menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?’ Lalu seorang pria berdiri dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!’ Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: ‘Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau hafal suatu surat dari al-Qur’an?’ Ia menjawab: ‘Aku hafal ini dan itu.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat al-Qur-an yang engkau hafal.’” [HR. al-Bukhari (no. 5149) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1425) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3280) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 3111) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1889) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2201) kitab an-Nikaah]
www.shalihah.com
Rujukan:
-
‘Isyratun Nisaa’ minal alif ilal yaa’, dalam Bahasa Indonesia ‘Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z”, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, Pustaka Ibnu Katsir
Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, dalam Bahasa Indonesia Panduan Fiqih Lengkap (Jilid 2), ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, penerbit Pustaka Ibnu Katsir
http://www.shalihah.com
0 komentar:
Post a Comment