Friday, 13 December 2013

Hukum Bertakziah Kepada orang Kafir


Ulama-rahimahumullah-berselisih tentang hukum bertakziah kepada orang kafir, para Imam berpendapat, seperti as-Syafii[1] dan Abu Hanifah[2] dalam sebuah riwayat darinya bahwa boleh seorang muslim ditakziahi oleh kafir dan sebaliknya, yakni kafir bukan kafir harbi.


Imam Ibnu Qudamah wafat (620 H) berkata [3]:
Ahmad bertawaquf tentang hukum takziah kafir dzimmi, dan terkait dengan hukum menjenguk mereka dan dalam masalah ini ada dua riwayat darinya : kita tidak menjenguk mereka, demikian juga kita tidak bertakziah kepada mereka berdasarkan sabda nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : janganlah mulai salam kepada mereka,
Menjenguk juga tercakup dalam hadits di atas,.
Riwayat kedua : kita boleh menjenguk mereka berdasarkan hadits anas bin Malik radhialllahu 'anhu ;
Dulu ada anak Yahudi yang menjadi pelayan nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang sakit dan kemudian nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjenguknya dan duduk disisi kepalanya dan berkata;
Islamlah,
Si anak berpaling kepada ayahnya dan ayah berkata: taatilah abul Qasim (nabi) Shallallahu 'alaihi wasallam
Kemudian anak itu masuk islam, kemudian nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.[4]
Berdasarkan hadits ini, kita boleh bertakziah kepada mereka.
Imam An-Nawawi (676 H) rahimahullah berkata: boleh seorang muslim untuk bertakziah kepada kafir dzimmi yang masih saudaranya Dan berkata:
أخلف الله عليك ولا نقص عددك[5].
Yang zhahir adalah hukumnya boleh bertakziah kepada mereka ketika mereka wafat, menjenguk mereka ketika sakit, dan membantu mereka mendapatkan musibah. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu sebelumnya.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga bahwa seorang yahudi mengundang Nabi untuk makan jamuan roti gandum, dan lemak maka beliau pun menghadirinya.[6]
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah; bahwasannya Abu Darda radhiallahu ‘anhu menjenguk tetangga yahudinya .[7]
Dan perlu diperhatikan bahwasannya hendaknya seorang muslim ketika melakukan hal demikian meniatkannya untuk berdakwah kepada mereka, melunakkan hati mereka untuk masuk islam, dan mendakwahi mereka dengan metode dan cara yang tepat.
Sebagaimana juga ketika bertakziah kita tidak mendoakan kepada mereka untuk diberi ampun, rahmat dan surga. Berdasarkan firman Allah ta’alaa:
ما كان للنبي و الذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانو أولي القربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم
Dan tidak patut bagi nabi dan orang-orang yang beriman untuk meminta ampun bagi kaum musyrikin walaupun mereka dari kerabat mereka, setelah jelas kedudukan mereka sebagai penduduk neraka.[8]
Yang diperbolehkan adalah berdoa yang sesuai dengan keadaan mereka, mendorong untuk bersabar, meredam duka, dan mengingatkan mereka bahwa hal tersebut merupakan ketetapan Allah terhadap makhluknya.
Imam Al-Albanni rahimullah berkata (wafat 1420 H) ketika ditanya tentang bertakziah kepada kafir dzimmi: “ya boleh”.[9]
Imam Al-albani memberikan catatan bahwa kebolehannya selama mereka bukan kafir harbi, musuh kaum muslimin, beliau rahimullah berkata setelah membawakan atsar dari ‘Uqbah bin Amir Al-Juhni radhialllahu 'anhu :
Bahwa ia (‘Uqbah bin Amir Al-Juhni) berjumpa dengan seseorang yang bertingkah seperti muslim, yang salam kepadanya, dan ia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhni pun membalas salamnya. Wa’alaikassalam Warahmatullah Wabarakatuh. Kemudia seorang anak berkata kepadanya; sesungguhnya orang itu nasrani. Maka ‘Uqbah bin Amir pun menyusulnya hingga ketika sampai kepadnya berkata: Sesungguhnya rahmat Allah dan berkahnya hanya untuk kaum mukminin saja, tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu, memperbanyak harta dan anakmu.[10]
Al-Albani rahimahullah berkata: di dalam atsar ini, terdapat isyarat dari sahabat yang mulia tentang bolehnya untuk mendoakan semoga panjang umur, walaupun kepada orang kafir, sementara bagi muslim lebih boleh lagi. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa itu bukan untuk kafir yang menjadi musuh kaum muslimin. Terkait dengan itu juga bolehnya bertakziah semacam itu berdasarkan atsar ini.[11]
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (wafat 1421 H/1999 M) rahimahullah tentang takziah kafir yang termasuk dalam kerabat atau temannya:
Takziah kafir bila salah seorang saudaranya atau kawan meninggal, tentang hukumnya diperselisihkan oleh ulama, di antara ulama ada yang berkata; takziah kepada mereka haram, dan yang lain berkata boleh. Dan di antara mereka ada yang memerinci dan berkata: seandainya ada mashlahatnya, seperti diharapkan masuk islam, atau mencegah kejahatan mereka yang tidak mungkin dilakukan kecuali dengan bertakziah kepada mereka, maka yang demikian boleh, bila tidak, maka haram. [12]
Yang rajih, apabila difahami dari takziah kepada mereka adalah pemuliaan kepada mereka maka haram hukumnya, bila tidak maka dilihat dari maslahatnya.
Lajnah addaimah berfatwa tentang hukum takziah kafir yang kerabat sebagai berikut:
Apabila maksud dari takziah kepada mereka untuk memberikan semangat kepada mereka untuk masuk islam, maka ini boleh, dan ini adalah maksud dari syariat, atau bila dimaksudkan dengannya untuk mencegah gangguan mereka terhadap dirinya atau kepada kaum muslimin. Dikarenakakan demi mashlahat umum maka dimaafkan bahaya yang parsial (لأن المصالح العامة الإسلامية تغتفر فيها المضار الجزئية).[13]
ظافر بن حسن آل جبعان
Diterjemahkan, Medan 27 November 2010.


[1] Al-Majmu’ (5/275)
[2] Hasiyah Ibnu ‘Abidin (3/140)
[3][3] Al-Mughni (3/486)
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Al-Janaiz bab bila seorang anak kecil masuk islam dan mati, apakah disholatkan (Fath 3/582-583 no. 1356) Abu Dawud dalam kitab Al-Janaiz dalam bab menjenguk kafir dzimmi  93/240 No 3095)
[5] Raudhotu at-Tholibin (2/145)
[6] Diriwayatkan Oleh Imam Ahmad (3/123), ini lafazhnya, diriwayatkan juga oleh al-Bukhari pada kitab al-Buyu’ bab pembelian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam secara tertunda,  (Al-fath  5/22 dengan nomor 2069), diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi dalam kitab al-Buyu’ Bab yang dirukhsakhkan dalam pembelian hingga waktu tertentu (3/511 nomor 1215) dan mengatakan “hasan shahih”, dikeluarkan juga oleh an-Nasai dalam kitab al-Buyu’ : bab ar-Rahn fil-Hadhr   (7/332-333 no. 4623)
[7] Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Janaiz : bab menengok Yahudi dan Nashara (3/238)
[8] Surat at-Taubah ayat 113
[9] Mausu’ah Al-fiqhiyah al-Muyassarah (4/185)
[10] Shahih al-adabul Mufrad, (Hal. 430 atsar No. 1112)
[11] Referensi sebelumnya
[12] Fatwa dalam ahkam al-Janaiz (hal. 353 pertanyaan nomor  317)
[13] Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al-Islamiyah wal ifta (9/132)

Source: Abu Shalih

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment