Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah.Amma ba’du.
Istilah dakwah salafiyah sudah tidak asing lagi di telinga kita. Suka atau tidak suka semua kelompok -kecuali Syi’ah dan bala tentaranya- pada akhirnya tentu akan sepakat jika kita ajak untuk mengikuti para sahabat secara umum, walaupun dalam prakteknya mereka banyak menyelisihi generasi terbaik tersebut.
Mereka -secara umum- bahkan mengklaim apa yang mereka yakini sebagai pemahaman para Sahabat, walaupun klaim mereka tidak dilandasi dengan bukti yang memadai. Yang memprihatinkan adalah, tatkala terbukti secara ilmiah bahwa apa yang mereka yakini atau amalkan ternyata bertentangan dengan pemahaman Sahabat mulailah muncul sikap permusuhan dan aksi penolakan. Terkadang penolakan itu sekedar dipendam di dalam hati, terkadang diucapkan dengan lisan, dan tidak jarang berakhir dengan peperangan, Allahul musta’an…
Mereka -secara umum- bahkan mengklaim apa yang mereka yakini sebagai pemahaman para Sahabat, walaupun klaim mereka tidak dilandasi dengan bukti yang memadai. Yang memprihatinkan adalah, tatkala terbukti secara ilmiah bahwa apa yang mereka yakini atau amalkan ternyata bertentangan dengan pemahaman Sahabat mulailah muncul sikap permusuhan dan aksi penolakan. Terkadang penolakan itu sekedar dipendam di dalam hati, terkadang diucapkan dengan lisan, dan tidak jarang berakhir dengan peperangan, Allahul musta’an…
Saudaraku, sesungguhnya penisbatan kepada salafus shalih adalah penisbatan yang mulia dan terpuji, bukan perkara yang tercela sama sekali. Hal itu berulang kali kita dengar dari nukilan para ulama, di antaranya Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah. Namun, yang menjadi persoalan sekarang ini adalah tatkala penisbatan ini dirancukan dengan sikap golongan atau kelompok tertentu yang mempersempit makna salafiyah. Kita memang tidak ingin memasukkan perusak dakwah ke dalam jajaran Salafi. Demikian pula sebaliknya. Kita juga tidak ingin menjatuhkan orang-orang yang masih bisa diperhitungkan perannya dalam dakwah yang agung ini dari kedudukan yang semestinya.
Oleh sebab itu wahai saudaraku, sudah semestinya kita bisa bersikap bijak dan adil dalam menilai dan bersikap, baik kepada diri kita sendiri ataupun kepada orang lain; yang mungkin kita anggap berseberangan dengan kita dalam banyak hal. Perhatikanlah bagaimana para Sahabat -teladan kita semua- dalam menilai diri mereka sendiri dan dalam memposisikan orang lain sebagaimana mestinya. Kita masih ingat, penuturan Ibnu Abi Mulaikah yang sangat masyhur dan dikutip oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya,“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata mereka semuanya khawatir dirinya terjangkit kemunafikan.” Ini adalah salah satu bukti kerendahan hati para Sahabat bersama dengan segala kebesaran yang mereka miliki. Amat jauh dengan keadaan sebagian kita pada hari ini, yang terkadang -secara tak terasa- telah menobatkan diri sendiri sebagai juru bicara kafilah dakwah yang mulia ini; sehingga siapapun yang berseberangan dengannya dianggap sebagai musuh dakwah salafiyah, laa haula wa laa quwwata illa billah!
Dari situlah, alangkah tepat apa yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahtatkala menggambarkan sosok manusia yang bijak. Beliau menjelaskan, “Orang yang paling bijak itu adalah yang menjadikan keluhannya kepada Allah -atas musibah/cobaan yang menimpanya- dikarenakan kesalahan dirinya sendiri, bukan malah dengan mengambinghitamkan orang lain.” Di satu sisi, seorang Salafi memang dituntut untuk merasa mulia dan bergembira dengan kelurusan manhaj yang telah mereka pilih dan jalani. Akan tetapi, jangan dilupakan pula bahwa salah satu bagian dari kelurusan manhaj ini adalah tidak meremehkan orang lain atau menolak kebenaran yang disampaikan oleh orang atau kelompok lain. Tentu saja kita ingat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa hal itu merupakan bentuk kesombongan.
Memang, kita harus angkat bicara untuk mengoreksi berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh sekte-sekte sesat. Itu merupakan bagian dari nasehat. Bahkan, tidak akan tegak agama ini tanpanya. Namun, sekali lagi kita harus bisa membedakan antara pengusung manhaj dengan manhaj itu sendiri. Kita semua tahu bahwa para Sahabat itu secara individu tidaklah ma’shum, kita tentu saja jauh berada di bawah mereka. Apabila -misalnya- ada salah seorang Sahabat -yang karena ketidaksengajaan darinya atau ketidaktahuan- sedikit melenceng dari Sunnah, kemudian kita tidak mengeluarkannya dari jajaran para Sahabat. Maka demikian pula semestinya, apabila kita melihat ada sebagian saudara kita yang dengan sebab yang sama terjerumus dalam bentuk penyimpangan terhadap sebagian cabang Sunnah tanpa dia sadari. Tentu tidaklah bijak apabila dengan serta merta dan tanpa tabayyun lantas kita pun mencoret namanya dari jajaran pengikut generasi utama; apalagi sampai membid’ahkan atau mengkafirkannya tanpa alasan yang kuat.
Banyak hal yang harus kita ukur dan kaji jika kita hendak menjatuhkan vonis berat semacam itu, apalagi pada hakekatnya itu bukanlah wilayah kewenangan kita para pemula yang mencium aroma pengajian belum berapa lama. Di antara poin paling pokok yang harus kita garis bawahi adalah pondasi keikhlasan. Tidak ada yang mengingkari bahwa poin ini merupakan intisari dari agama Islam yang hanif ini. Inilah standar utama dalam menilai dan menyikapi. Memang, ikhlas adalah amalan hati. Namun, itu bukan berarti keikhlasan itu tidak bisa dideteksi. Seorang yang jujur dengan keikhlasannya tentu akan sangat tidak menyukai ketenaran. Selain itu, seorang yang ikhlas tidak beramal atau berdakwah untuk mengejar target-target duniawi. Inilah sebabnya mengapa para Sahabat senantiasa berusaha mengoreksi dirinya sendiri sebelum jauh berbicara mengenai penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Kita tentu masih ingat ucapan emas Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Seorang mukmin sejati itu selalu memandang dosa-dosanya seakan-akan dia duduk di bawah gunung dan khawatir kalau-kalau gunung itu akan runtuh menjatuhi dirinya. Adapun seorang fajir akan memandang dosa-dosanya hanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya kemudian dia pun menghalaunya dengan begini -upaya yang ringan sekali- (meremehkannya, pen).”
Benar, pembicaraan mengenai sesuai atau tidak dengan Sunnah adalah pembicaraan mengenai cara, bukan niatnya. Akan tetapi ingatlah, bahwa yang kita nilai dengan timbangan syari’at adalah manusia seperti kita; yang sarat dengan kekurangan dan ketidaktahuan. Kita harus memandang mereka tidak hanya dengan kaca mata syari’at, namun juga dengan kaca mata takdir; kaca mata kasih sayang dan belas kasihan. Mungkin hujjah belum sampai kepada mereka, mungkin mereka salah paham, mungkin ada perilaku kita yang justru menjauhkan mereka dari dakwah ini, mungkin… mungkin… Ada banyak sekali kemungkinan yang mengharuskan kita bersikap hati-hati dan tidak sembarangan menjatuhkan vonis sesat kepada sebagian saudara kita yang berbeda pandangan dengan kita. Inilah mungkin yang selama ini jarang kita praktekkan. Kita justru sering mengambil sikap dan tindakan seolah-olah kita adalah manhaj salaf itu sendiri. Sehingga kita tidak pernah mengenal istilah kompromi dan toleransi. Hantam sana-sini tak peduli, toh ini kan bagian dari nasehat, begitu tipu daya setan yang kerap menghampiri telinga kita -yang penuh dengan ‘kotoran’- ini.
Tidakkah kita ingat wahai saudaraku, bagaimana kelembutan dan kebijakan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada orang-orang munafik. Padahal, kita juga mengetahui bersama bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diperintahkan oleh Allah untuk berjihad melawan mereka dan bersikap keras kepada mereka. Apakah ini artinya beliau tidak taat atau mengkhianati tugasnya; atau akan kita katakan bahwa beliau bersikap plin-plan, sama sekali tidak! Hal ini justru memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita bahwa terkadang orang yang paling keras permusuhannya kepada kita itulah yang berhak untuk kita perlakukan dengan lemah lembut, bukan dengan sikap keras. Inilah kandungan pesan yang pernah dinasehatkan oleh Syaikh al-Albanirahimahullah kepada segenap penyeru dakwah salafiyah yang mulia ini…
Sederhananya; seorang Salafi memang dituntut untuk membela manhaj yang haq ini selama-lamanya. Namun, di sisi lain dia juga harus mengingat bahwa dirinya -atau gurunya sekalipun- adalah manusia biasa yang berusaha meniti manhaj ini dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya. Dengan kesadaran semacam inilah akan lenyap segala bentuk fanatisme buta… Allahul muwaffiqhttp://abumushlih.com/
**Artikel: Ummu Zakaria
0 komentar:
Post a Comment