Friday, 11 March 2011

Kartu Kredit

Oleh: Prof. Dr. Shalah ash-Shawi dan Prof. Dr. 'Abdullah al-Mushlih



Definisi Kartu Kredit

Definisi secara bahasa:
Kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. sementara kata i'timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya.1 Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.

Definisi secara terminologi:
Kartu kredit yaitu kartu yang dikeluarkan oleh pihak Bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara utang.2
Kalau kita terjemahkan kata 'kredit giro' ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman. Atau kartu yang memberikan kesempatan kepada pembawanya untuk mendapatkan pinjaman.

Macam-Macam Kartu Kredit

Kartu kredit adalah bagian dari beberapa bentuk kartu kerjasama finansial. Kartu kredit ini terbagi menjadi dua:
  1. Kartu Kredit Pinjaman yang Tidak Dapat Diperbaharui (Charge Card)
    Di antara keistimewaan paling menonjol dari kartu ini adalah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara lengkap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlambatan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan.
  2. Kartu Kredit Pinjaman yang Bisa Diperbaharui (Revolving Credit Card)
    Jenis kartu ini termasuk yang paling popular di berbagai negara maju. Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikutnya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga; pertama, bunga keterlambatan, kedua, bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.

Kartu Debit (Non-Kredit/Debit Card)

Yakni kartu-kartu yang terfokus pada pemberian pinjaman kepada para pembawanya. Di antara jenis terpenting dari kartu-kartu ini adalah sebagai berikut:
  1. Kartu Debit Langsung
    Yakni kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank bersama organisasi Internasional yang mengurusi soal kartu kredit ini, bentuknya adalah kartu yang langsung mendebit rekening untuk mentransfer jumlah dana yang ditarik dari rekening pemiliknya kepada pedagang secara langsung. Adanya kartu ini syaratnya bahwa si pemilik harus terlebih dahulu mempunyai kartu rekening atau ATM dari pihak bank bersangkutan. Kalau kartunya sedang On-Line Debit, transfer akan berjalan sempurna pada hari tersebut. Namun kartu kredit tersebut sedang Off-Line Debit proses transfer tersebut bisa membutuhkan waktu beberapa hari. Kartu ini tidak memberikan pinjaman kepada pemiliknya dan tidak memberikan peluang kepadanya untuk melakukan transaksi pembelian melebihi jumlah dana yang dia miliki dalam rekeningnya.
    Bank yang mengeluarkan kartu ini tidak membayar jumlah dana yang dikeluarkan dari kasnya kepada para pedagang untuk kemudian menagihnya dari pemilik kartu. Namun kartu ini hanya berfungsi mendebit rekening pemilik kartu untuk ditransfer ke rekening pedagang bersangkutan. Fungsinya mirip dengan cek. Kartu Debit semacam ini banyak digunakan di negara-negara maju yang memang berkeinginan menerapkan budaya konsumtif dan mendorong masyarakat agar menabungkan uangnya di bank-bank yang ada.
  2. Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
    Yakni kartu yang diberikan pihak bank kepada para nasabahnya secara cuma-cuma dengan sekedar membuka rekening di Bank bersangkutan, agar pihak nasabah bisa dengan leluasa mengambil uangnya melalui rekening yang dimilikinya kapan saja dia menghendaki melalui mesin ATM dan dapat juga digunakan untuk beberapa lokasi penjualan tertentu. Sehingga ia berpeluang menarik uang kontan dan mentransfer dana antar ATM berbeda, atau untuk sekedar mengetahui jumlah saldo dan untuk membayar barang-barang yang dibelinya (di lokasi penjualan tertentu), dst. Kartu ini secara otomatis terperbaharui selama rekening pemiliknya masih terbuka di bank bersangkutan.

Pendudukan Masalah Secara Fiqih Seputar Kartu Kredit

Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu itu didasarkan atas hasil dari persepsi tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kartu-kartu kredit tersebut, akan menentukan kedetailan kita dalam mendudukkan masalah terhadap berbagai transaksi yang dikenal dalam fiqih Islam dan penjelasan tentang hukum-hukumnya, halal atau haram, serta menetapkan berbagai alternatif pengganti yang disyariatkan bila hasil penelitian menegaskan keharamannya.
Kartu kredit ini membentuk tiga hal terkait yang akan kita ulas secara berurut sebagai berikut:
Pertama: Kaitan Antara Kartu Tersebut dengan Pihak Bank yang Mengeluarkannya dalam 'Transaksi Pengeluaran Kartu.'
Banyak sudah kajian fiqih seputar hubungan ini. Banyak sudah pendapat yang lahir seputar persoalan itu dalam berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih tentang keberadaan kartu ini sebagai pinjaman dari pihak bank yang mengeluarkannya, atau sebagai jaminan untuk melaksanakan berbagai komitmen terhadap pihak lain, atau menjadi penjamin untuk berhubungan dengan pihak lain.
Kemungkinan gabungan antara jaminan, penjamin dan pinjaman itulah yang paling dekat dengan teori untuk mengulas transaksi ini. Karena itulah yang menjadi tujuan sesungguhnya dari keberadaan kartu itu. Karena sebelum digunakan, kartu itu adalah jaminan, dan janji pinjaman serta penjamin. Namun setelah digunakan dalam arti sesungguhnya dan pihak bank telah menutupi biaya yang dikeluarkan untuk mewakili pihak nasabah, janji tersebut telah menjadi kenyataan sehingga menjadi pinjaman dan penjamin dalam arti sesungguhnya.
Kedua: Hubungan Antara Kartu Ini dengan Bank yang Mengeluarkan Kartu dan Pihak Pedagang.
Juga sudah banyak ulasan fiqih seputar hubungan ini antara keberadaannya yang mirip dengan pengurangan nilai tukar dengan keberadaannya sebagai jaminan, yakni bahwa pihak yang mengeluarkan kartu telah menjamin pihak pedagang bahwa ia akan membayarkan harga barang jualannya dengan perantaraan kartu tersebut, dan juga keberadaannya sebagai penjamin dengan upah, atau sebagai perantara. Bahkan ada sebagian pihak yang mengeluarkan kartu itu dalam hubungannya dengan jual-beli. Jadi yang dijadikan sebagai pihak yang mengeluarkan kartu adalah pembeli yang sesungguhnya dari barang-barang tersebut, kemudian baru dikembalikan kepada nasabah untuk dijual. Jual-beli ini mirip dengan jual-beli dengan sistem fixed price terhadap orang yang meminta dibelikan barang.
Kemungkinan pendudukan masalah paling menonjol terhadap dasar jaminan dan penjaminan ini adalah pendudukan masalah yang membuka peluang disyari'atkannya transaksi atau pendebetan yang dilakukan pihak bank dalam kasus ini. Karena upah yang dilarang dalam sistem jaminan adalah yang berasal dari pihak yang mendapatkan jaminan untuk yang menjamin. Sementara disini upah itu berasal dari pihak yang mendapatkan pengaruh dari jaminan, yakni pihak pedagang kepada pihak yang memberikan jaminan. Adapun upah dalam sistem jual-beli dengan penjaminan, dibolehkan dalam kondisi apapun.
Ketiga: Hubungan Antara Pemilik Kartu dengan Pedagang
Sudah berkali-kali juga dikeluarkan kajian fiqih berkaitan dengan hubungan ini, antara keberadaannya sebagai sistem hiwalah, dimana pihak pemegang kartu mengalihkan utangnya pada pedagang kepada pihak yang mengeluarkan kartu, dimana Hilawah semacam itu dapat direalisasikan dengan menandatangani rekening pembelian, antara keberadaan kartu itu yang demikian dengan keberadaannya sebagai mediator jual-beli atau sewa-menyewa. Sehingga transaksinya dibagi dua, antara posisi jual-beli atau sewa-menyewa, dengan objek transaksi pembuatan kartu. Kemudian tanggung jawab pembayaran dilimpahkan kepada pihak yang mengeluarkan kartu yang telah menjamin untuk menutupi biaya yang ditarik berupa pembelian atau penyewaan.

Penjelasan Global tentang Hakikat Kartu Kredit

Mungkin pendudukan masalah secara global yang paling mendekati hakikat dari kartu-kartu kredit tersebut adalah bahwa kartu tersebut secara umum tersusun dari beberapa transaksi.
Pertama, transaksi yang mengaitkan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegangnya. Transaksi ini terdiri dari tiga unsur; jaminan, penjaminan dan peminjaman. Pihak yang mengeluarkan kartu telah memberikan jaminan untuk pemegang kartu tersebut di hadapan pedagang, meminjamkan kepadanya dana yang dia tarik melalui kartu tersebut, lalu pemegang kartu telah menjadikan pihak bank sebagai penjaminnya untuk melunasi pembayaran tersebut kepada si pedagang.
Kedua, transaksi antara yang mengeluarkan kartu dengan pihak pedagang. Transaksi ini terdiri dari dua unsur saja; jaminan dan penjaminan. Pihak yang mengeluarkan kartu telah memberikan jaminan kepada pedagang untuk membayarkan semua haknya melalui kartu tersebut, yang kemudian pihak bank akan menagih pembayaran itu dari pemegang kartu nantinya dan memasukkannya ke dalam rekeningnya setelah terlebih dahulu memotongnya dengan biaya administrasi yang disepakati.
Ketiga, transaksi antara pemegang kartu dengan pedagang yang hukumnya disesuaikan dengan jual-beli atau penyewaan yang dilakukan sesuai dengan karakter transaksi disamping sistem hiwalah, yakni pemegang kartu itu melimpahkan pembayarannya terhadap barang jualan pedagang kepada pihak yang mengeluarkan kartu tersebut.

Hukum-hukum Syariat tentang Kartu Kredit

Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran syari'at yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya:

Pertama: Persyaratan Berbau Riba

Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi utangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah-tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini?
Ulama fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua kubu:
Pertama: Kubu yang membolehkan.
Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kacamata syari'at sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut:
  1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Aisyah radhiyallahu 'anha ketika 'Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala' budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syari'at, karena loyalitas atau perwalian menurut syari'at diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Aisyah radhiyallahu 'anha:
    Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya.”3
    Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan mereka itu bertentangan dengan yang haq, ini bukan untuk pembolehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada.
    Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syari'at mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syari'at Allah.
  2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di berbagai negeri dengan adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorang pun ulama yang mengharamkan berlangganan fasilitas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.
  3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
    “Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat.”4

Kedua: Kubu yang melarang.
Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah.
Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu pertama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat tersebut mampu dibatalkan oleh 'Aisyah radhiyallahu 'anha karena dianggap bertentangan dengan ajaran syari'at. Karena kejadian itu terjadi ketika syari'at Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia?
Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakaian listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepadanya.
Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.
Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang berberat-sangka bahwa ia akan mampu menunaikan utangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilakukan untuk tujuan tersebut.Wallahu a'lam.



http://ahlussunnah.info/
Artikel Ummu Zakaria

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment