Saturday 12 March 2011

Imam yang Empat adalah Satu, Mengapa Kita Berselisih ?

Oleh: Redaksi Majalah Fatawa


Imam, pemimpin panutan, sebenarnya sangatlah banyak. Sejak zaman para sahabat hingga kini jumlahnya tak terhitung dengan jari. Namun adalah suatu kenyataan bahwa imam yang begitu masyhur di kalangan umat, tidak hanya di Indonesia, adalah imam yang empat.
Tersebutlah nama Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad yang sering menjadi rujukan oleh kebanyakan kaum muslimin. Meski banyak yang mengenalnya dan mengaku sebagai orang yang mengikutinya, ternyata tidak banyak yang mengetahui pendapatnya secara valid. Kebanyakan orang memang hanya mendengar dari orang lain atau tulisan orang lain.
Pendapat dan pandangan yang banyak diketahui sebenarnya 'hanyalah' hanafiyyah,malikiyyahsyafi'iyyah, ataupun hanbaliyyah, dalam artian berbagai hal yang dinisbahkan (disandarkan) kepada masing-masing empat imam tersebut. Secara mendasar bisa jadi justru tidak sesuai dengan pendapat dan tulisan para imam yang empat tersebut seperti yang terdapat dalam kitab-kitab karyanya. Karena kebanyakan hanya berasal dari turunan dari tulisan orang-orang yang menisbahkan diri pada madzhab (pandangan) empat yang tidak jarang diwarnai ketidak-tahuan atau bahkan fanatik terhadap madzhab yang empat.
Dalam akidah, misalnya, imam yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad ibnu Hanbal adalah satu yaitu akidah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Qur'an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akidah mereka tidak berbeda dengan akidah para sahabat dan golongan yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik.
Alhamdulillah, diantara mereka tidak terdapat perbedaan dan perselisihan dalam ushuluddinatau asas-asas agama. Malahan mereka semua sepakat dan seia sekata tentang iman terhadap sifat-sifat Allah, al-Qur'an adalah Kalam dan bukan makhluk, iman mestilah bersesuaian antara ucapan lisan dan keyakinan hati. Mereka pun juga sepakat dalam mengingkari golongan ahli kalam seperti Jahmiyah dan yang semisalnya, yang mana kelompok ini sudah terpengaruh oleh kerancuan filsafat Yunani dan madzhab-madzhabkalamiyah.
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “…namun berkat rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya bahwa para imam yang menjadi panutan umat seperti halnya 'imam yang empat', dan lain-lain, semua mengingkari ahli kalam seperti Jahmiyah; tentang keyakinan mereka terhadap al-Qur'an, iman, dan sifat-sifat Allah. Para imam tersebut mempunyai satu pendirian dan keyakinan sebagaimana pendirian dan keyakinan as-Salafush-Shalih1 bahwa Allah 'Azza wa Jalla dapat dilihat di akhirat, dan al-Qur'an adalah Kalamullah bukan makhluk, sementara itu iman mestilah merupakan gabungan dari ucapan lisan dan keyakinan hati….2
Pandangan ini menjadi pilihan al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan bin Ali al-Hushaini al-Qanuji al-Bukhari, katanya; “Madzhab kami adalah sebagaimana madzhab salaf, yaitu itsbat tanpa tasybih, tanzih tanpa ta'thil. Inilah madzhab para imam yang utama bagi umat Islam seperti Malik, Syafi'i, ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, dan Imam Ahmad. Diantara mereka sedikitpun tidak ada perbedaan dan perselisihan dalam masalah ushuluddin. Demikian juga halnya dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah, i'tiqad yang tsabit dari Beliau ialah sebagaimana i'tiqad para imam yang lain yaitu sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Qur'an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.3
Dalam beberapa edisi ke depan akan kami sajikan nukilan kata-kata para 'imam yang empat,' yang menjadi ikutan banyak umat Islam yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal tentang apa yang mereka yakini dalam masalahushuluddin serta penjelasan tentang sikap mereka masing-masing terhadap ilmu kalam.
Berdasarkan penjelasan diatas jelaslah bahwa akidah Imam 'imam yang empat' adalah (satu) selain Imam Abu Hanifah dalam masalah Iman. Namun demikian kita dipahamkan bahwa Imam Abu Hanifah telah rujuk (kembali) daripada pandangannya dan mengikuti pandangan jumhur dalam hal tersebut.
Akidah seperti inilah yang semestinya diikuti oleh semua umat Islam sehingga mereka terhindar dari berbagai perselisihan dan perpecahan, karena memang akidah ini disandarkan pengambilannya dari al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh sedikit manusia yang mengetahui dan memahami akidah para 'imam yang empat' ini dengan pemahaman yang sebenarnya. Malahan sebaliknya berita yang meluas tersebar di kalangan masyarakat umum ialah konon para 'imam yang empat' itu termasuk golongan Mufawwidhun4(golongan yang menyerahkan segala makna sifat-sifat Allah kepada Allah semata-mata, karena kata tersebut tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allah sehingga tidak bisa dimaknai berdasar keumuman bahasa Arab). Dengan begitu mereka dianggap tidak mengetahui nash-nash al-Qur'an kecuali sekadar membacanya saja, seolah-olah Allah tidak menurunkan wahyu kecuali sekadar sia-sia belaka.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
Artinya; “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad [38] : 29)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
Artinya; “Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ruhul-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. asy-Syu'ara [26] : 192–195)
Ada juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang lain lagi:
Artinya; “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur'an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12] : 2)
Jadi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan kitab al-Qur'an supaya kita memperhatikan ayat-ayatnya dan mengambil pengajaran yang ada di dalamnya. Allah Subhanahu wa Ta'alamengabarkan kepada kita bahwa Dia menurunkannya dalam bahasa Arab yang jelas dan terang supaya manusia dapat memahami dan memikirkan maknanya.
Kalaulah tujuan Allah menurunkan al-Qur'an supaya umat manusia memperhatikan ayat–ayatnya dengan bahasa Arab yang nyata dan jelas maka sudah semestinya al-Qur'an itu mengandung ilmu yang bisa dipahami oleh semua umat manusia, dan lebih-lebih lagi tentunya bagi bangsa Arab yang dengan bahasa mereka al-Qur'an itu diturunkan. Sebab jika tidak demikian maka tujuan dari diturunkannya akan sia-sia belaka.
Akidah muwafidhdhah tersebut merupakan sebentuk peremehan dan penghinaan terhadap akidah para sahabat dan tabi'in serta imam-imam yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik. Ini adalah tuduhan yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Sungguh merekalah orang yang paling paham terhadap nash-nash wahyu karena mereka begitu dekat dengan zaman kenabian. Bahkan merekalah manusia yang paling berhak mendapat kemuliaan tersebut. Mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saja dengan cara peribadatan yang petunjuknya mereka terima dan pahami langsung dari petunjuk al-Qur'an dan pemilik as-Sunnah. Jika mereka memahami betul jalan yang bisa mengantarkan kepadailah yang disembahnya, maka bagaimana mungkin mereka tidak mengenali sifat-sifat kesempurnaan Tuhan yang mereka sembah? Bagaimana mungkin mereka tidak memahaminash-nash yang diajarkan sendiri oleh Allah melalui Rasul-Nya?
Jadi ringkasnya, sesungguhnya akidah 'imam yang empat', inilah akidah yang benar yang bersumberkan dari sumber yang murni yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Tidak terdapat didalamnya pencemaran dan noda walaupun sedikit, apakah bentuknya takwil5ta'thil6,tasybih7, maupun tamtsil8. Adapun mu'aththil (pelaku ta'thil) dan musyabbih (pelaku tasybih) tidaklah memahami sifat-sifat Allah kecuali apa yang layak bagi makhluk. Hal ini sangat menyimpang, karena Allah tidak serupa dengan suatu apa pun, baik Dzat-Nya, Sifat-Nya maupun Af'al-Nya.
Semoga Dia menghimpunkan kita diatas akidah yang satu dan jalan yang satu, yaitu akidah al-Qur'an dan as-Sunnah. Hanya kepada Allah tempat kita semua berserah diri.
Catatan Kaki:
  1. ^ Adalah generasi mulia sejak kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para pengikutnya (tabi'in) dan orang-orang kemudian yang mengikutinya (tabi' tabi'in) serta setiap imam yang mengikuti mereka dengan baik.
  2. ^ Kitab al-Iman (Ta'liq Muhammad Khalil al-Harras), Dar al-Tiba'ah al-Muhammadiyah, hal. 350-351.
  3. ^ Qathful al-Tsamar, hal. 47-48.
  4. ^ Tafwidhul ma'na yang dilakukan kelompok ini adalah menyerahkan sepenuhnya makna dari lafal dalam dalil naqli sepenuhnya kepada Allah dan membiarkan lafal tersebut tanpa makna. Sementara Ahlus-Sunnah melakukan tafwidhul haqiqah, yaitu menyerahkan hakikatnya kepada Allah setelah menetapkan maknanya menurut makna yang diketahui dalam bahasa Arab.
  5. ^ Takwil dalam masalah ini adalah menyimpangkan sebuah arti kepada makna yang berbeda dari makna tekstualnya tanpa didasarkan pada teks lain atau penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Misalnya mengartikan tangan Allah dengan kekuasaan atau kehendak.
  6. ^ Ta'thil adalah menolak sifat-sifat Allah, baik sebagian maupun seluruhnya.
  7. ^ Tasybih adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
  8. ^ Tamtsil adalah menggambarkan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
http://ahlussunnah.info/
Artikel Ummu Zakaria

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment