Suatu siang di zaman masih kuliah dulu, saya menyusuri sebuah jalan kampung di kota Jogja yang sedang panas terik. Tujuannya untuk mampir ke tempat kost salah seorang teman dengan niat belajar bersama. Terus terang saja, saya agak kesulitan dengan mata kuliah teori linguistik sastra di masa itu, jadi saya berniat untuk menambah jam belajar di luar jam kuliah dengan teman saya. Kalau sama dosen jelas nggak sreg, karena dosen mata kuliah tersebut laki-laki. Saya sampai di kost teman saya yang berbentuk rumah biasa. Di Jogja banyak rumah-rumah disewakan oleh pemiliknya untuk kost-kostan mahasiswa. Saat mendekati pintu, ketika hendak mengetuk, mata saya tertuju pada sebuah kaleng minuman soda yang tergeletak persis di depan pintu. Di satu lubang kaleng bekas itu tersembul sebuah kertas, karena penasaran saya ambil kaleng tersebut dan saya ambil kertasnya. Pikiran saya rada kalut, mengingat beberapa waktu itu sedang beredar isu pembunuhan misterius di Jogja via HP dan surat kaleng.
Setelah tengak-tengok mencurigai kondisi wilayah sekitar, saya buka surat kaleng tersebut;
Untuk Ukhti Fulanah
Assalamu’alaikum. Langsung saja, pokoknya anti harus mau menikah sama saya! Atau saya akan melakukan tindakan yang membuat anti malu seumur hidup! Anti harus terima lamaran saya, awas kalau anti berani membunuh rasa cinta di hati saya teradap anti. Wassalam.
Fulan
Hah??? Saya sangat kaget dengan isi surat kaleng tersebut. Tak saya sangka, ikhwan pun ada yang sejahat ini. Tapi buru-buru surat itu saya masukan lagi ke dalam kaleng. Tiba-tiba HP saya berderit;
‘Ukht, afwan, kalau sudah sampai kost, tolong tunggu sebentar, saya baru dari ATM, ini sudah mau balik.’
Teman saya mengirim SMS sebelum saya mengetok pintu kost-nya. Karena tiba-tiba merasa haus akibat tegang setelah sekilas baca surat tersebut, saya putuskan untuk mampir beli minum di minimarket terdekat, minimarket itu terletak tak jauh dari kost teman saya. Sambil jalan ke minimarket saya balas SMS teman saya;
‘Sudah dekat kost anti, tapi saya mau beli minum dulu ya.’
Sengaja saya agak berlama-lama di minimarket, sambil ngadem ceritanya. Hingga sekelebat bayangan lewat, saya pastikan dari balik kaca minimarket yang bening kalau itu teman saya. Hati saya bergemuruh membayangkan teman saya akan menemukan surat itu. Surat kaleng yang ditujukan padanya, dari seorang ikhwan yang saya pun mengenalnya. Sungguh tak saya kira ikhwan dalam surat itu bisa mengancam dengan bahasa yang sangat kasar. Tak berapa lama setelah membayar beberapa jajanan yang saya beli, HP saya kembali berderit;
‘Ukht, saya sudah di kost, anti sampai mana?’
Saya tidak membalas SMS itu dan bergegas kembali ke kost-an teman saya. Saat memasuki halaman, saya lihat teman saya masih di depan rumah, terlihat dia sedang melempar sesuatu ke tempat sampah. Saya lihat kaleng yang tadi saya temukan juga sudah teronggok di tempat sampah. Dengan pelan saya mengucapkan salam, teman saya terkejut bukan kepalang. “Eh, afwan kalau bikin kaget. Padahal sudah pelan-pelan lho…”, kataku merasa bersalah. Dengan salah tingkah dia menjawab salamku dan bilang kalau saya tidak bersalah, tapi dirinya saja yang sedang agak melamun. Saya tau, tapi pura-pura tidak tau dengan apa yang sedang dipikirkan teman saya ini. Yang jelas, dia sedang dalam intimidasi seorang ikhwan yang tergila-gila padanya.
Saya akui, teman saya ini tergolong cantik dan imut. Beberapa orang yang pernah mengenalnya sebelum dia mengenakan cadar, mengatakan dia mirip artis cilik Sherina Munaf berjilbab. Di angkatan kuliahku dia tergolong pintar menguasai beberapa mata kuliah yang tergolong cukup rumit untuk dipahami. Dari sisi akhlaq dia juga cukup bagus, lembut dan ramah. Pribadinya banyak disukai teman-teman kuliah tentunya.
Setelah masuk ke kost-nya, maka kami langsung menuju ke kamarnya yang rapi dan wangi. Kulihat wajahnya agak sedikit muram meski tetap berusaha ramah padaku. Setelah istirahat sejenak, kami pun mulai belajar bersama. Tentunya dia yang banyak menjelaskan teori padaku. Nah, dari cara dia menjelaskan terlihat dia sangat tidak fokus. Tapi aku mencoba untuk manggut-manggut saja dan agak sering bertanya karena dia menjelaskan dengan tidak sistematis. Sampai akhirnya dia menyerah juga dan memasang wajah muram.
“Ukht, penjelasan saya membingungkan ya? Afwan, ana akui ana sedang ada problem jadi ana nggak bisa fokus. Kalau belajarnya dipending dulu bagaimana?”, dia memelas dengan rasa bersalah. Saya pun turut prihatin, hati teman saya yang pintar ini sedang tertekan. “Mmm…Ukht, boleh saya bilang sesuatu?”, kataku hati-hati. Dia mengangkat wajahnya yang muram dan memandangku dengan tatapan sendu kemudian mengangguk lemas.
“Saya tadi nemu kaleng di depan itu…dan afwan, saya membacanya…terus saya lihat anti membuangnya. Sejahat itukah ikhwan dalam surat itu, Ukht?”, tanyaku.
“Saya tadi nemu kaleng di depan itu…dan afwan, saya membacanya…terus saya lihat anti membuangnya. Sejahat itukah ikhwan dalam surat itu, Ukht?”, tanyaku.
Pecahlah tangisnya siang itu di hadapanku. “Saya menyesal mengambil langkah ini, Ukht…sebelumnya saya juga nggak mau, tapi saya dipaksa. Kemudian seorang akhwat yang memaksa saya untuk segera ta’aruf, tanpa saya ketahui mengambil foto saya dalam ukuran pas foto dan diberikan ke ikhwan itu. Ya mau tak mau ta’aruf terus berjalan, pihak wasilah yang memaksa ana. Waktu ana nadhor (lihat) itu ikhwan, saya nggak suka. Terlebih lagi dari testimoni seorang ikhwan yang mengenalnya, dia ada riwayat perilaku yang kurang disenangi ikhwan yang lainnya.”, curhatnya dengan tersedu-sedu membuat hati saya geram.
“Lha kok wasilah memaksa anti? Bukankah tidak boleh ada paksaan dalam nikah? Lha ini baru ta’aruf saja sudah maksa, dan juga melanggar etika pula dengan mencuri foto anti. Sekarang pula, ikhwannya maksa anti buat menerima pinangannya. Ini bisa dilaporkan ke polisi lho!”, saya benar-benar geram.
“Bahkan ikhwan tersebut sudah banyak cerita ke ikhwan lainnya tentang ana, tentang dirinya yang sudah nge-tag diri ana, sudah banyak tersebar fitnah dimana-mana. Ana malu, Ukht…sangat malu…ana tak punya pilihan, bahkan wasilah juga mendesak ana untuk menerima ikhwan tersebut…”
“Jangan mau dong! Tidak ada paksaan dalam menikah!”, tegasku.
“Wasilah juga sudah mendahului ana matur (bilang) ke orang tua, jadi ikhwan tersebut dengan wasilah sudah datang ke tempat ana, menyatakan lamaran ke orang tua ana bahkan bilang kalau ana sudah menerimanya. Ana sudah nggak ada pilihan, Ukht…”
“Wasilah juga sudah mendahului ana matur (bilang) ke orang tua, jadi ikhwan tersebut dengan wasilah sudah datang ke tempat ana, menyatakan lamaran ke orang tua ana bahkan bilang kalau ana sudah menerimanya. Ana sudah nggak ada pilihan, Ukht…”
Singkat cerita…pada akhirnya teman saya tersebut menikah dengan si Fulan bernyali kaleng itu. Saya sempat menemuinya usai acara pernikahanya, dia tetap saja masih muram. Saya hanya mampu berpesan padanya, “Ingatlah wanita cantik shalihah dalam kisah Harun Al Rasyid yang dengan ikhlas memelihara suaminya yang tua bangka dan buruk akhlaknya. Insya Allah bagimu surga, Ukhti…”, dan saya hanya mampu mengusap air matanya dengan ujung jari ini. Hati ini hanya mampu memunajatkan doa semoga rumah tangga yang dijalaninnya bahagia.
Terakhir saya berjumpa dengannya saat sebelum meninggalkan Jogja, saya masih melihat wajah sendu itu ketika dia mengucapkan doa barokah pada saya yang baru saja menikah saat itu. Ah…Ukhti, sekali lagi saya hanya bisa berdoa, hanya Allah-lah yang bisa memberikan kebahagiaan untukmu…
Catatan:
- Jadi wasilah ta’aruf harus jaga etika ya!
- Jadi ikhwan, kalau habis nadhor jangan jadi gila!
(cerita ini sudah mendapatkan izin dari pihak yang terlibat untuk diambil ibrohnya)
- Jadi wasilah ta’aruf harus jaga etika ya!
- Jadi ikhwan, kalau habis nadhor jangan jadi gila!
(cerita ini sudah mendapatkan izin dari pihak yang terlibat untuk diambil ibrohnya)
- shalihah.com –
0 komentar:
Post a Comment