Berikut ini adalah fatwa Syaikh Fauzan tentang hukum pemilu dan demonstrasi yang kami ambil dari www.mimbarislami.or.id. Fatwa ini merupakan salah satu dari beberapa fatwa beliau yang berkenaan dengan pemilu. Salah satu ormas Islam (Wahdah Islamiyah) dan beberapa hizby lainnya bahkan mengambil fatwa beberapa ulama salaf untuk mendukung keputusan mereka mengajak kaum muslimin untuk melakukan Pemilu. Yang dengan fatwa para ulama tersebut mereka mengambil sebagiannya jika memang bermanfaat dan membuangnya jika fatwa tersebut tidak menguntungkan bagi mereka. Seharusnya mereka mengambil fatwa dari para pendahulu mereka dari kelompok Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, dll, supaya terlihat jelaslah siapa yang berada di atas manhaj salaf dan siapa yang di atas manhaj ikhwani. Allahu Musta’an.
================================
Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam. Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad dan seluruh keluarga serta para shahabatnya. Amma ba’du; telah banyak pertanyaan (kepadaku) seputar hukum pemilu dan demonstrasi ditinjau bahwa keduanya adalah perkara baru dan diadopsi dari selain muslimin. Maka saya katakan, dan hanya kepada Allah saja saya memohon taufik.
Adapun (tentang) pemilu maka hukumnya sesuai rincian berikut,
Pertama: Apabila ummat Islam perlu memilih seorang imam besar (seperti pemimpin negara –pentj), sesungguhnya hal ini disyariatkan dengan syarat yang memilihnya adalah ahlul hal wal ‘aqd (para ulama dan cendikia) yang ada pada ummat. Sedangkan selain mereka cukup menyerahkan tanggung jawab ini kepada mereka. Sebagaimana hal ini pernah terjadi pada masa shahabat Rhadiyallahu ‘Anhum ketika ahlul hal wal ‘aqd (ulama dan cendikia) mereka memilih Abu Bakr Ash-Shiddiq Rhadiyallahu ‘Anhu dan membai’atnya (mengambil sumpahnya), maka wajib bagi seluruh ummat untuk membai’atnya. Dan seperti ketika Umar bin Khattab Rhadiyallahu ‘Anhu menunjuk enam orang dari sepuluh orang yang dipersaksikan sebagai penghuni surga untuk memilih pemimpin sepeninggalannya, sehingga keenam orang shahabat tersebut memilih Utsman bin Affan Rhadiyallahu ‘Anhu dan membai’atnya sehingga wajiblah seluruh ummat turut membai’atnya.
Kedua: Wilayah kekuasaan yang terbatas, sesungguhnya penunjukan (seorang pemimpin) padanya adalah di antara peran waliyul ’amr (pemimpin negara), dengan memilih untuk posisi tersebut orang-orang yang ahli dan amanah dan membantunya dalam kepemimpinannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisaa’ : 58)
Ayat ini ditujukan kepada waliyul ’amr sedangkan amanat yang dimaksud adalah jabatan pada sebuah negara yang Allah jadikan sebagai amanah pada diri waliyul ’amr sedangkan yang dimaksud dengan menyampaikannya adalah memilih orang yang ahli dan amanah pada bidangnya. Seperti Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Khulafaur Rasyidin dan setiap waliyul ’amr di tengah-tengah kaum muslimin sepeninggalan mereka memilih untuk mengisi jabatan-jabatan (pada suatu negeri) orang-orang yang ahli di bidangnya dan menunaikannya sesuai syariat.
Adapun pemilu yang kita kenal pada dewasa ini yang ada pada banyak negara-negara, hal ini bukan termasuk aturan yang islami. Dia rentan kekacauan dan tendensi-tendensi pribadi dan sifat tamak dan dapat menimbulkan fitnah-fitnah, pertumpahan darah dan apa yang diharapkan justru tidak bisa tercapai, bahkan pemilihan seperti ini menjadi lahan jual-beli (suara) dan janji-janji palsu. [http://www.madeenah.com/article.cfm?id=1219]
Sumber: http://almakassari.com/**Artikel: Ummu Zakaria
0 komentar:
Post a Comment