Monday, 28 February 2011

Dauroh Umum Bersama Ustadz Abdullah Amin: Memahami Dasar-dasar Ilmu Hadits (5-6 Maret 2011)

Dauroh Umum Bersama Ustadz Abdullah Amin: Memahami Dasar-dasar Ilmu Hadits (5-6 Maret 2011)

Sumber: alqiyamah.wordpress.com
http://salafiyunpad.wordpress.com/


**Artikel: Ummu Zakaria

Ringtone HP dengan Lantunan Al Qur’an

القرآن أو الدعاء في الهاتف النقال علامة على ورود المكالمات
Ayat al Qur’an atau Doa Dijadikan sebagai Nada Panggil
وهذا تفريغ كلمة الشيخ الفوزان
يقول السائل: ما رأيكم فيمن يضع في الجوال بدلاً من الموسيقى أذان أو قراءة القرآن الكريم؟
Syaikh Shalih al Fauzan mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa pandangan Anda mengenai orang yang mengganti ring tone HP berupa musik dengan ring tone HP berupa bacaan adzan atau ayat al Qur’an?”
أجاب الشيخ: (( هذا امتهان للأذان والذكر وللقرآن الكريم فلا يُتخذ لأجل التنبيه. ما يُتخذ القرآن لأجل التنبيه ويقال هذا خير من الموسيقى، طيب الموسيقى أنت ملزم بها؟! أترك الموسيقى. ضع شيء منبه لا فيه موسيقى ولا فيه قرآن. منبه فقط. نعم.)) انتهى كلام الشيخ حفظه الله.
Jawaban Syaikh Shalih al Fauzan, “Tindakan ini adalah pelecehan terhadap bacaan adzan, dzikir dan al Qur’an sehingga bacaan-bacaan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai ring tone HP. Ayat al Qur’an itu tidak boleh dijadikan sebagai ring tone HP.
Jika ada orang yang menyanggah dengan mengatakan, “Ring tone dengan ayat al Qur’an itu lebih baik dari pada ring tone berupa musik”.
Jawabannya adalah apakah ring tone itu harus berupa musik? (Tentu saja jawabannya adalah tidak, pent).
Solusinya, hapus ring tone berupa musik. Ganti dengan nada dering yang bukan musik, bukan pula ayat al Qur’an. Cukup nada dering biasa”.
تفريغ كلمة الشيخ الرحيلي
قال الشيخ ابراهيم الرحيلي -حفظه الله تعالى-:
مما يُخشى أن يكون من اتخاذ الدين لعباً ولهوا، ما وجد في الفترة الأخيرة وانتشر للأسف بين الكثير من الأخيار والأفاضل بل نقول أنه لرُبما لم يسلم بعض طُلاب العلم من اتخاذ القرآن في الجوالات علامة على ورود المُكالمات وهو مَقطع لوقت الإنتظار عندما يتصل مُتصل فينبعث عندما يتصل هذه الآيات من كتاب الله عز وجل، فإذا ما أراد الرد انقطعت الآيات وكأن كتاب الله يُتخذ للتسلية وسنة النبي -صلى الله عليه وسلم- يُهزئ بها ويُسخر بها،
Syaikh Ibrahim ar Ruhaili mengatakan, “Dikhawatirkan termasuk menjadikan agama sebagai mainan dan hiburan adalah apa yang kita jumpai akhir-akhir ini. Sangat disayangkan fenomena ini menyebar di tengah-tengah orang-orang shalih bahkan dilakukan oleh sebagian dai. Fenomena yang dimaksudkan adalah menjadikan bacaan ayat al Qur’an sebagai nada panggil HP. Bacaan ayat al Qur’an dijadikan sebagai nada tunggu, artinya ketika ada orang yang menghubungi maka terdengarlah bacaan beberapa ayat al Qur’an. Jika pemilik HP ingin merespon panggilan maka tiba-tiba bacaan ayat tersebut terputus. Dengan hal ini seakan-akan ayat al Qur’an dijadikan sebagai hiburan dan berarti mengejek dan mengolok-olok hadits Nabi jika nada tunggu berupa bacaan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ونحن لا نظن بمن يتخذ هذا من أهل الخير أنه يُريد السُخرية، ولكن نقول أن مقام كتاب الله عز وجل يَنبغي أن يُنزه عن هذه الأمور وسُنة النبي -صلى الله عليه وسلم- يَنبغي أن تُنزه و كذلك الأدعية التي يقوم بها الأئمة لايجوز أن تُجعل في هذه الأجهزة،
Kami tidaklah menuduh orang shalih yang melakukan hal ini bermaksud untuk mengolok-olok ayat al Qur’an. Namun kami katakana bahwa ayat al Qur’an selayaknya dimuliakan dengan tidak dijadikan sebagai nada tunggu HP atau semisalnya. Demikian pula hadits Nabi selayaknya juga tidak dijadikan sebagai nada tunggu. Demikian pula, rekaman doa para imam masjid. Itu semua tidak boleh dijadikan nada tunggu HP.
وإذا كان من يتخذ هذا، يتخذه ويعتقد أنه دين فإن هذه من البدع وإذا كان يعلم أنه ليس بـدين وإنما يقول الآيات بدل النغمات الموسيقية فإن هذا من امتهان كتاب الله -عز وجل-
Orang yang menjadikan hal-hal di atas sebagai nada tunggu HP status hukumnya dirinci dengan dua rincian:
Pertama, jika orang yang melakukannya menyakini bahwa ini adalah bagian dari ibadah maka perbuatan ini hukumnya adalah bid’ah.
Kedua, jika dia sadar bahwa tindakan semacam ini bukanlah ibadah namun hanya sekedar ingin menggati nada tunggu musik dengan ayat-ayat al Qur’an maka hal ini termasuk melecehkan ayat al Qur’an.
فينبغي أن نتوسط بين أهل الغلو وأهل التنطُع وبين أهل الفسوق أيضا الذين اتخذوا المقاطع الموسيقية ويُؤذون بها المُسلمين حتى في مساجدهم،
Hendaknya kita bersikap pertengahan antara orang yang berlebih-lebihan –dengan menjadikan ayat al Qur’an sebagai nada tunggu, pent- dan orang fasik itulah orang-orang menjadikan musik sebagai nada tunggu. Dengan suara musik tersebut mereka ganggu kaum muslimin yang sedang menjalankan shalat berjamaah di masjid.
هذا الجهاز نعمة من الله (عز وجل) ينبغي أن يُستخدم الإستخدام الصحيح، هناك أجراس ليس فيها موسيقى تُجعل علامة على ورود المُكالمة
HP adalah nikmat dari Allah yang sepatutnya dimanfaatkan dengan benar. Ada ring tone yang bukan berupa musik yang bisa dijadikan sebagai nada panggil.
وأما المُبالغة في هذا الأمر حتى أصبح الناس، يعني ترى منهم العجب في هذه الأمور أحيانا أصبحت حيوانات أحيانا أطفال يبكون أو يضحكون يعني أُمور والله مُضحكة مُبكية، يعني تصدُر من بعض من يُظن بهم الفضل فضلاً عن غيرهم من العوام،
Tidak sepatutnya berlebih-lebihan tentang ring tone HP sebagaimana kelakukan sebagian orang. Ada hal yang mengherankan yang dilakukan oleh sebagian orang terkait urusan ring tone. Ada orang yang ring tone HP-nya berupa suara hewan, anak kecil yang sedang menangis atau sedang tertawa.
Demi Allah, ini adalah perkara yang lucu sekaligus menyedihkan yang dilakukan oleh orang-orang awan, lebih-lebih lagi jika dilakukan oleh dai.
فدين الله ينبغي أن يُنزه كتاب الله يُنزه السُنة ينبغي أن تُنزه الدُعاء هذا الذي تسمعُه ينبغي أن يُنزه أن يكون وسيلة لوُرود المُكالمات أو الرد على هذا الجهاز..، انتهى كلام الشيخ -حفظه الله تعالى- .
Simbol-simbol keagamaan selayaknya dimuliakan. Bacaan ayat al Qur’an, hadits Nabi ataupun rekaman doa selayaknya dimuliakan dengan tidak dijadikan sebagai nada tunggu atau nada dering HP”.
Sumber:
http://mareb.org/showthread.php?t=1709

**Artikel: Ummu Zakaria

Haramnya Tinju

الفتوى رقم ( 16443 )

Fatwa Lajnah Daimah no 16443
س: أنا شاب من الجزائر، كنت ملاكما، ولا زلت أحترف، والآن أصبحت مدربا لهذه الرياضة،
Pertanyaan, “Saya seorang pemuda berasal dari al Jazair. Aku adalah seorang petinju. Tinju adalah profesiku. Sekarang saya adalah pelatih olah raga ini.
وعندي تساؤل عميق، وهو أني لا معرفة لدي عن الحكم الشرعي لهذه الرياضة، وأرجو منكم إفادتي أنا وإخوتي في مدينة الجلفة في هذا النوع من الرياضة، هل هو حلال أم حرام، والدليل الشرعي لذلك؟ وأحيطكم علما بأني أتقاضى مرتبا شهريا مقابل تعليم الشباب .
Sering ada tanda tanya dalam hatiku tentang status hukum tinju karena saya tidak mengetahui hukum syariat untuk olahraga ini. Saya berharap Anda memberi tahu saya dan kawan-kawan saya yang tinggal di kota al Jalfah tentang hukum olahraga jenis ini, apakah boleh dilakukan ataukah haram? Apa dalil syar’i tentang hukum tersebut? Perlu diketahui bahwa aku mendapatkan gaji bulanan sebagai kompensasi melatih tinju para pemuda?”
ج : الملاكمة لا تجوز لما فيها من الأخطار على الإنسان، والله تعالى يقول: سورة البقرة الآية 195 وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Jawaban Lajnah Daimah, “Tinju itu tidak boleh (baca:haram) dengan alasan mengandung banyak bahaya bagi manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kalian campakkan diri kalian ke dalam kebinasaan” (QS al Baqarah:195).
ويقول سبحانه: سورة النساء الآية 29 وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Allah juga berfirman (yang artinya), “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri sesungguhnya Allah itu sangat sayang dengan kalian” (QS an Nisa:29).
ففي الملاكمة ضرر عظيم، من غير مصلحة راجحة، وما كان كذلك فهو حرام،
Dalam tinju terdapat bahaya yang besar tanpa adanya manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan bahayanya dan setiap kegiatan yang kondisinya demikian hukumnyaharam untuk dilakukan.
والواجب عليك ترك هذه الرياضة الضارة، والانصراف إلى ما فيه مصلحة.
Wajib bagi Anda untuk meninggalkan olahraga yang berbahaya ini dan memilih kegiatan lain yang bermanfaat”.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس
بكر أبو زيد … عبد العزيز آل الشيخ … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku ketua Lajnah Daimah, Abdurrazzaq Afifi selaku wakil ketua dan Shalih al Fauzan, Abdul Aziz alu Syaikh serta Bakr Abu Zaid selaku anggota.
Sumber:
Fatawa Lajnah Daimah yang dikumpulkan oleh Syaikh Ahmad bin Abdurrazzaq ad Duwaisy jilid 26 kitab al Jami’ hal 295-296, terbitan Ulin Nuha lil Intaj, Kairo.

**Artikel: Ummu Zakaria

Menjadi Benalu Apa Tidak Malu?

Menyenangkan ketika kita melihat orang yang dibantu tersenyum bahagia dan mengucapkan terima kasih. Akhirnya yang memberi bantuan pun ikut tersenyum dan secara lahir juga terlihat ikhlas. Nah, bagaimana kalau si peminta bantuan ini esoknya meminta bantuan lagi padanya, kemudian esoknya lagi, dan esoknya lagi…
Kita mungkin sering melihat teman, saudara atau tetangga kita meminta bantuan kepada orang lain, atau bahkan ke diri kita sendiri. Seperti ada yang kurang ketika bantuan itu tidak kunjung datang atau tidak ada yang memenuhi. Akhirnya kita yang tidak dimintai bantuan sedikit-sedikit mencoba membantu. Apalagi jika ingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Barang siapa menghilangkan satu kesulitan dari orang muslim maka Allah mebalasnya dengan menghilangkan daripadanya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan yang ada pada hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, bagaimanakah jadinya bila orang tersebut terus menerus meminta bantuan kepada kita, atau kepada orang-orang sekitarnya. Alhasil, setiap ia memanggil seseorang, sudah dapat diperkirakan ia akan merepotkan orang tersebut kalau tidak bisa dibilang menyusahkan.
Seorang muslim yang beriman disyari’atkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Namun, tidak berarti setiap saat kita boleh terus menerus meminta bantuan kepada orang lain. Karena di samping diperintahkan untuk saling tolong menolong, kita juga diperintahkan untuk menjadi muslim yang kuat. Kita dapat melihat contoh salah satu sahabat dari kalangan muhajirin yaitu Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu. Ketika baru saja hijrah ke Madinah, ia tidak membawa harta kekayaannya yang ada di Mekah. Ia yang dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ Al-Anshari radhiallahu ‘anhu ditawari begitu banyak kenikmatan berupa istri, harta dan kebun. Tetapi ia menolak semua itu dan memilih untuk berusaha sendiri dan mengembangkan usahanya sendiri lewat jual beli di pasar. Allah Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Sepulang dari pasar itu, ia sudah dapat membawa pulang sebiji emas.
Yang perlu diingat lagi adalah, ketika kita mendapat kebaikan dari orang lain (dan mendapat bantuan itu sama saja dengan mendapat kebaikan dari orang lain), maka kita juga diperintahkan untuk membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan yang serupa atau yang lebih baik lagi. Kalaupun tidak dapat membalasnya, maka kita dapat mendoakan kebaikan untuk orang tersebut. Ada dua syarat utama dalam Islam ketika kita meminta tolong kepada makhluk (manusia).
  1. Yang dimintai bantuan memiliki kemampuan. Kemampuan di sini adalah kemampuan untuk memenuhi permintaan tersebut. Karena sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah dan memiliki banyak kekurangan. Hanya Allah-lah yang Maha Kuasa untuk mengabulkan semua permintaan hamba-Nya.
  2. Hadir atau berstatus hadir. Maksudnya di sini adalah orang tersebut ada di hadapan kita sehingga dapat melaksanakannya, atau bisa juga ketika kita menggunakan sarana komunikasi yang mengatasi masalah jarak. Nah, lain lagi kalau kita meminta tolong kepada yang sudah meninggal. Misalnya dengan mengatakan, “Mbah, atau Bu, saya mau ujian nasional besok, doain saya ya Bu, Mbah”. Padahal keduanya telah meninggal atau berada di tempat jauh, sementara tidak ada komunikasi langsung dengan mereka. Dengan kalimat ini, kita sudah melakukan dosa yang sangat besar, yang dapat mengeluarkan kita dari Islam. karena dosa itu statusnya berbuat kesyirikan kepada Allah Azza wa Jalla.
Di samping syarat utama tadi, ada beberapa hal yang perlu diingat dan diperhatikan ketika kita meminta bantuan kepada orang lain untuk menjaga hubungan baik kita dengan saudara muslim lainnya.
Waktu.
Apakah kita akan menyita banyak waktunya atau tidak. Kalau ya, akan lebih baik kita berusaha sendiri, atau kalau perlu membalas dengan kebaikan yang lebih besar lagi. Karena waktu merupakan harta yang tidak dapat dikembalikan kepada seseorang. Dan setiap orang diperintahkan untuk memanfaatkan waktu yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya.
Kondisi
Bagaimana keadaan orang yang dimintai bantuan. Apakah lebih sibuk dari kita. Kalau seperti ini keadaannya, maka kita perlu mencari orang lain atau lebih baik lagi berusaha sendiri. Apalagi jika ternyata orang tersebut sedang sakit atau terkena musibah. Maka menjadi giliran kita untuk memberi bantuan padanya.
Kontinuitas
Meminta bantuan sekali-kali memang masih membuat orang yang dimintai bantuan tersenyum atau melakukannya dengan senang hati. Akan tetapi kalau berlangsung terus menerus, setiap hari, atau bahkan menjadi rutinitas si pemberi bantuan, ini mesti dihindari. Hal ini bisa menyebabkan sesuatu yang menjadi ladang kebaikan bagi si pemberi bantuan, malah menjadi sebuah kedzoliman untuknya. Sudah dimintai bantuan, didzolimi pula. Duh, siapa yang senang kalau keadaannya seperti ini. Padahal seorang muslim dilarang untuk mendzolimi saudaranya.
Empati
Inilah yang perlu diperbesar dan dilatih dari diri kita. Ketika kita memperbesar rasa empati kita, maka kita dapat memperkirakan, bagaimana jika kita dalam posisi yang dimintai bantuan. Kalau kemudian kamu membela diri, “Ah, kalau aku diminta, kalau aku bisa ya aku lakuin kok!”. Nah, kalimat seperti ini sebenarnya telah menunjukkan rasa empati yang kurang. Masalahnya, kalau kita yang terus meminta tolong, bagaimana kita bisa berempati.
“Tolong menolong” merupakan kata yang menunjukkan adanya dua orang yang melakukan pekerjaan “saling” menolong. Jangan menjadikan ayat atau hadits tentang berbuat kebaikan sebagai pembenaran bagi kita untuk terus menerus membuat beban bagi orang lain dengan mengatakan, “Kamu kan jadi tambah pahala!”. Bagaimana jadinya kalau tidak ada yang ingin dekat-dekat dengan kita karena takut akan terus menerus dimintai tolong. Kalau sudah begitu, siapa juga yang rugi.
Wallahu A’lam.
***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Ziyad Fransiska Mustikawati
Muroja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji :
  • Syaikh Muhammad At-Tamimi, Kasyfu Syubhat, www.perpustakaan-islam.com
  • Imam Nawawi, Riyadusholihin, Takhrij Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Duta Ilmu : Surabaya
  • Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Adab Zifaf, Media Hidayah : Yogyakarta

**Artikel: Ummu Zakaria

Sunday, 27 February 2011

Download Rekaman Dauroh Cilegon: Jadilah Salafy Sejati [Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary]

Alhamdulillah, berikut ini kami hadirkan rekaman kajian umum dengan tema Jadilah Salafy Sejati yang diangkat dari sebuah kitab Kun Salafiyan alal Jaaddah. kajian ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary di kota Cilegon. Semoga bermanfaat. Jazahumullah khaira kepada Yayasan Al-Hanif Cilegon yang telah menghadiahkan rekamannya. Silakan download rekaman kajiannya pada link berikut:
Download Jadilah Salafy Sejati

http://salafiyunpad.wordpress.com/


**Artikel: Ummu Zakaria

Kajian Umum: “Rumahku Pesantrenku” (Bengkulu, 6 Maret 2011)

Hadirilah Kajian Umum dengan tema.
“RUMAHKU PESANTRENKU” (Jadikan Rumah Media Belajar Dien)
Pemateri:
Ustadz Zaenal Abidin, Lc. (dari Jakarta dan Lulusan LIPIA Jakarta)
Insya Allah akan diselenggarakan pada:
Ahad, 6 Maret 2011
Pukul 09.00 – 12.00 WIB
Di Masjid Al-Muhtadin, Bengkulu
Gratis, terbuka untuk Umum
Putra & Putri
Terdapat juga Doorprize dan pembagian Buku Saku gratis (stock terbatas)
Informasi:
  • 0852.2839.4299 (putra)
  • 0812.2770.7403 (putri)
Penyelenggara:
Yayasan Imam Syafi’i Bengkulu
Sumber:
Infokajian.com


**Artikel: Ummu Zakaria

Thursday, 24 February 2011

KAIDAH KETIGA

KAIDAH KETIGA
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan

Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami, dikarenakan seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan implementasi dari kaidah ini.

Di antara dalil tentang kaidah ini adalah firman Allah I :

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al Baqarah : 185). dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al Baqarah : 286) dan
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. (QS. At Thalaaq : 7) serta Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al Hajj : 78) juga Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At Taghaabun : 16)

Ayat-ayat di atas semuanya menjelaskan tentang eksistensi kaidah yang sangat berharga ini. Hal ini dikarenakan seluruh syari’at dalam agama ini penuh dengan toleransi dan kemudahalan. Penuh kemudahan dalam sisi tauhid. Di mana tauhid terbangun di atas peribadahan hanya kepada Allah Isemata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun. Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan amalan-amalan yang ada di dalamnya.

Sebagai contoh adalah ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun islam. Salah satu di antaranya adalah ibadah shalat. Jika kita lihat, ibadah ini adalah aktivitas yang mudah dan tidak menghabiskan waktu kecuali sedikit saja. Demikian pula zakat, hanya sebagian kecil dari harta seseorang yang dikenakan zakat. Itu pun diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap. Dan zakat dilaksanakan hanya sekali dalam setahun.

Demikian pula, ibadah puasa Ramadhan yang hanya dilaksanakan selama sebulan setiap tahun. Dan ibadah haji yang wajib dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang mempunyai kemampuan.

Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang secara insidental sesuai dengan sebab yang melatar belakanginya.

Seluruh ibadah-ibadah tersebut berada di puncak kemudahan dan keringanan. Bersama dengan hal itu, Allah juga I mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya adalah dengan disyariatkannya berjama’ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum’at, dan shalat hari raya. Demikian pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan serentak pada bulan Ramadhan. Dan juga, ibadah haji yang dilaksanakan bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.

Tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan ibadah secara berjama’ah akan lebih meningankan pelaksanaan ibadah tersebut, lebih memberikan semangat, serta lebih mendorong untuk saling berlomba dalam meraih kebaikan.

Sebagaimana Allah I juga telah menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya. Baik pahala di dunia maupun pahala di akhirat. Pahala yang tidak bisa diukur besarnya. Di mana, hal ini juga merupakan motivasi terbesar dalam melaksanakan amal kebaikaan, dan meninggalkan kejelekan.

Kemudian, bersama dengan kemudahan-kemudahan tersebut, jika seseorang mempunyai udzur yang menyebabkan ia tidak mampu atau kesulitan dalam melaksanakan hukum-hukum syari’at, maka Allah I telah memberikan keringanan kepadanya sesuai dengan kedaaan dan kondisi orang yang bersangkutan. Hal ini sangatlah nampakdengan beberapa contoh berikut :

1. Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika ia tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri maka ia shalat dengan duduk. Jika tidak mampu shalat dengan duduk maka sholat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku’ dan sujud.

2. Seseorang diwajibkan untuk bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika ia tidak mampu menggunakan air dikarenakan sakit atau tidak menemui adanya air maka diperbolehkan melaksanakan tayammum.

3. Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar shalat, serta diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari.

4. Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat mendapatkanpahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat dan tidak bepergian.

Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam syari’at agama Islam yang mulia ini. Adapun implementasi kaidah ini secara nyata dapat diketahui dari contoh-contoh berikut ini :

1. Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan tidak harus mencucinya.

2. Bolehnya berstijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai pengganti dari istinja’(membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai adanya air.

3. Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa membedakaan benda-benda di sekelilingnya.

4. Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabir :

إَنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَافِيْنَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang selalu menyertai kalian. [1]

5. Dimaafkannya terkena tanah jalanan yang diperkirakan bercampur dengan najis. Jika memang benar ada najisnya maka dimafakan dari najis yang sedikit.

6. Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan tambahan selain ASI maka cukup membasahi pakaian tersebut dengan air dan tidak perlu mencucinya. Demikian pula jika terkena muntahan bayi tersebut.

7. Penjelasan para ahli ilmu bahwa asal segala sesuatu adalah suci, kecuali jika diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan asal segala makanan adalah halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang keharamannya.

8. Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup menggunakan perkiraan, apakah telah suci ataukah belum. Hal ini jika tidak bisa menentukan kesuciannya secara pasti.

9. Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan kuat bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya waktu tersebut secara pasti.

10. Orang yang melaksanakan haji secaratamattu’ dan qiran, mereka bisa melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja, oleh karena itu mereka wajib menyembelih hadyudalam rangka syukur kepada Allah I.

11. Diperbolehkannya memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya, bagi orang yang terpaksa untuk memakannya,

12. Bolehnya jual beli ‘ariyah [2] , jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab(kurma basah).

13. Bolehnya mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan perlombaan memanah.

14. Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki tersebut tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam perzinaan.

15. Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka karib kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menaggung pembayaran diyat (denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini dikarenakan pelaku pembunuhan tersebut tidak melakukan pembunuhan secara sengaja, sehingga ia mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat si pembunuh tersebut menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu dengan membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan pembayaran tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun. Adapun jika pembunuh tersebut termasuk orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut menanggung pembayaran diyattesebut ataukah tidak maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama’.

Secara realitas, implementasi kaidah ini sangatlah luas, dan contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili untuk menunjukkan urgensi kaidah ini.


[1] HR. Ahmad 5/296, 303. Abu Dawud dalam Kitab At Thaharah Bab Su’ril Hirrah No. 75. Tirmidzi dalam Kitab At Thaharah Bab Maa Jaa-a fi Su’ril Hirrah No. 92. An Nasa’i 1/55. Ibnu Majah dalam Kitab At Thaharah Bab Al Wudhu’ bi Su’ril Hirrah No. 367. Malik 1/45. Abdurrazaq No. 353. Al Humaidi No. 430. Ibnu Abi Syaibah 1/31. Darimi 1/187. Ibnu Hibban No. 121. At Thahawi dalam Al Musykil 3/270. Hakim 1/159.
Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi dan Hakim. Dalam kitab At Talkhis 1/41 disebutkan : “Hadits ini dishahihkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Uqaili, dan Daruquthni.” Hadits ini juga dishahihkan oleh Baihaqi sebagaimana disebutkan dalam Al Majmu’ 1/215, dan dishahihkan juga oleh An Nawawi.
[2] ‘Ariyah adalah jual beli kurma ruthab (kurma basah) yang masih berada di pohonnya dengan perkiraan, semisal harganya jika kurma itu sudah tua dan menjadi kurma kering, dan dilakukan secara takaran. (Syarah Al Muntaha 2/197)

**Artikel: Ummu Zakaria

Wasilah Dihukumi Sesuai Dengan Tujuannya

KAIDAH KEDUA

Wasilah Dihukumi Sesuai Dengan Tujuannya


Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini antara lain adalah bahwasannya perkara wajib yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula. Dan perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya. Demikian pula, sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut.

Demikian pula, tercabang dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut.

Kaidah ini merupakan kaidah yang sifatnya menyeluruh dan diikuti oleh beberapa kaidah lain sebagaimana disebutkan dalam asalnya.

Adapun yang dimaksud dengan wasilah adalah jalan-jalan yang ditempuh untuk menuju kepada suatu perkara tertentu, dan sebab yang menyampaikan kepadanya. Demikian pula, hal-hal yang tergantung padanya suatu perkara tertentu, dan kelaziman-kelaziman yang keberadaannya melazimkan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.

Maka apabila Allah U dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu maka itu adalah perintah untuk melaksanakan perintah tersebut dan hal-hal yang perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun inderawi. Hal ini dikarenakan Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Hikmah mengetahui apa yang menjadi konsekuaensi dari hukum-hukum yang Ia syariatkan kepada hambanya berupa kelaziman-kelaziman, syarat-syarat, dan penyempurna-penyempurna. Maka perintah untuk mengerjakan sesuatu merupakan perintah untuk hal yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal yang dilarang tersebut dan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.

Oleh karena itu, berjalan untuk melaksanakan sholat, untuk menghadiri majelis dzikir, silaturahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan selainnya masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula keluar untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabilillah sejak keluar dari tempat tinggalnya sampai pulang kembali maka ia senantiasa dalam pelaksanaan ibadah, karena keluarnya tersebut merupakan wasilah untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya. AllahU berfirman :

Yang demikian itu ialah Karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (QS. At Taubah : 120-121)

Dan di dalam hadits yang shahih, Nabi r bersabda :

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ أَوَ سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memperjalankannya atau memudahkan jalan beginya menuju ke surga. (HR. Muslim) [1]

Dan sungguh telah banyak hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan sholat, dan sesungguhnya setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan. [2]

Dan firman Allah U :

sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Yasin : 12)

Yang dimaksudkan dengan “bekas-bekas yang mereka tinggalkan”pada ayat di atas adalah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya.[3] Oleh karena itu, sebagaimana melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki untuk menuju kepada kemaksiatan juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain. Maka perintah untuk melaksanakan sholat adalah perintah untuk melaksnakan sholat dan perkara-perkara yang sholat tidak sempurna kecuali dengannya berupa thaharah, menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan sholat tidaklah bisa sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut.

Demikian pula seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidaklah bisa sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang diwajibkan tersebut, atau sunnah dikarenakan perkara yang sunnah tersebut.

Termasuk pula cabang kaidah ini adalah perkataan ulama [4] : Jika datang waktu sholat bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencarinya di tempat-tempat yang bisa diharapkan untuk mendapatkan air tersebut. Dikarenakan hal-hal yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengan keberadaannya maka perkara tersebut juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga wajar asalkan tidak memadharatinya dan tidak menyebabkan kehabisan harta.

Dan masuk di dalam kaidah ini juga adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu perindustrian yang hal ini sangat dibutuhkan manusia dalam urusan agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil.

Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dan ilmu tersebut terbagi manjadi dua macam :

Pertama : Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat diperlukan oleh setiap manusia dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan yang berkaitan dengan muamalah. Setiap orang berbeda kadarnya sesuai dengan keadaan masing-masing.

Kedua : Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang merupakan tambahan dari yang hukumnya fardhu ain, yang ilmu tersebut dibutuhkan oleh muasyarakat luas.

Maka, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh seorang manusia secara pribadi hukumnya fardhu ain. Adapun ilmu yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi individu seseorang, namun masyarakat luas membutuhkannya maka hukumnya fardhu kifayah. Di mana, perkara yang fardhu kifayah ini jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang yang telah mencukupi maka gugur kewajiban sebagian yang lain, dan jika tidak ada sama sekali yang melaksanakannya maka wajib atas setiap orang. Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu kifayah, berupa adzan, iqamah, kepemimpinan yang kecil maupun yang besar, amar ma’ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu kifayah, pengurusan jenazah berupa memandikan, mengkafani, menyolatkan, membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya, persawahan, perkebunan, dan hal hal yang menyertainya.

Termasuk pula dalam kaidah ini adalah usaha seseorang dalam bekerja yang menjadi wasilah baginya untuk memenuhi apa yang menjadi kawajibannya, baik kepada dirinya sendiri, kepada isterinya, anak-anaknya, budaknya, dan juga binatang ternaknya, serta untuk melunasi hutangnya. Dikarenakan hal-hal tersebut hukumnya adalah wajib, maka usaha untuk menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut hukumnya juga wajib.

Demikian pula, tentang wajibnya mempelajari tanda-tanda datangnya waktu shalat, mengetahui arah kiblat, dan arah mata angin bagi orang yang membutuhkan hal tersebut. Hal-hal tersebut masuk juga dalam kaidah ini.

Dan termasuk pula dalam kaidah ini adalah bahwa ilmu-ilmu syar’i terbagi menjadi dua macam, yaitu ilmu yang menjadi tujuan, yaitu ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Maka wasilah untuk memahami ilmu Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu bahasa Arab beserta macam-macamnya, yang pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah sangat tergantung dari penguasaan seseorang terhadap ilmu bahasa Arab tersebut, maka menyibukkan diri untuk mempelajari ilmu bahasa Arab dengan tujuan tersebut hukumnya mengikuti hukum mempelajari ilmu-ilmu syar’i tersebut.

Termasuk pula dalam kaidah ini adalah mengenai perkara-perkara mubah yang menjadi wasilah dalam meninggalkan kewajiban, atau menjadi wasilah dalam melaksanakan sesuatu yang haram. Oleh karena itu, diharamkan jual beli setelah adzan kedua shalat Jum’at. Berdasarkan firman Allah U :

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS. Al Jumu’ah : 9)



Demikian pula haram hukumnya jual beli ketika dikhawatirkan terlewatnya waktu shalat fardhu, atau dikhawatirkan tertinggal dari shalat berjamaah yang wajib menurut pendapat yang benar dalam masalah ini.

Demikian pula diharamkan menjual sesuatu kepada orang yang akan menggunakannya untuk mengerjakan kemaksiatan. Seperti menjual anggur kepada orang yang akan menjadikannya menjadi minuman khamr. Atau menjual senjata kepada orang yang akan menggunakannya untuk menimbulkan fitnah, atau menjual senjata kepada perampok. Dan juga tidak diperbolehkan menjual telur atau semisalnya kepada orang yang akan menggunakannya untuk berjudi.

Demikian pula haram hukumnya melakukan tipu muslihat dalam semua jenis muamalah yang hal tersebut mengantarkan kepada perkara yang haram, seperti mengubah akad hutang kepada orang yang berhutang. [5] Dan juga jual beli ‘inah [6], serta tipu daya untuk menggagalkan syuf’ah dengan cara wakaf, atau menampakkan hasil yang bukan menjadi tujuan yang dimaksud, ataupun menampakkan adanya tambahan harga supaya tidak diambil oleh orang yang mempunyai hak syuf’ah tersebut.

Termasuk dalam kaidah ini pula adalah perbuatan orang yang diberi wasiat oleh orang lain, kemudian ia membunuh orang yang memberikan wasiat tersebut. Atau orang yang mendapatkan hak warisan, lalu ia membunuh orang yang memberikan warisan tersebut supaya segera memperoleh warisan tersebut. Maka keduanya mendapatkan hukuman dengan tidak mendapatkan wasiat atau warisan yang menjadi tujuannya tersebut. Demikian pula seorang suami ketika dalam keadaan sakit menjelang kematiannya, jika ia mentalaq isterinya supaya tidak mendapatkan warisan darinya, maka isteri tersebut tetap mendapatkan warisan dari suaminya tersebut.

Demikian pula, tentang perilaku tidak baik yang disengaja dilakukan suami kepada isterinya tanpa alasan yang benar dengan niatan agar isteinya tersebut minta cerai sehingga suami tersebut bisa mendapatkan harta ganti rugi dari isterinya, maka dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan baginya untuk mengambil harta tersebut dari isterinya. Sebagaimana firman Allah :



Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka. (QS. An Nisaa’ : 19)

Termasuk juga dalam implementasi kaidah ini adalah tentang pendapat di kalangan madzhab Hambali bahwasannya orang yang memberikan hadiah kepada orang lain disebabkan karena malu atau takut darinya maka wajib bagi yang diberi hadiah untuk tidak menerima hadiah tersebut. [7]

Banyak hal yang menjadi cabang kaidah ini masuk pula dalam kaidah berperannya maksud dan niat terhadap amalan-amalan. Dan suatu hal semakin tercakup dalam kaidah yang berbeda-beda maka semakin menunjukkan kuatnya hukum berkaitan dengan hal tersebut.

Oleh karena itu, sebagaimana tipu muslihat yang dilaksanakan sebagai wasilah untuk melaksanakan perkara yang haram atau meninggalkan kewajiban hukumnya adalah haram, maka muslihat yang dilaksanakan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi hak seseorang hukumnya diperbolehkan bahkan diperintahkan. Hal ini dikarenakan seorang hamba diperintahkan untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi haknya, dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya, baik dengan cara yang terang-terangan atau tersembunyi. Hal ini sebagaimana firman Allah tatkala menyebutkan mulihat yang dilakukan Nabi Yusuf supaya saudaranya tetap tinggal bersamanya :

Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. (QS. Yusuf : 76)



Semisal dengan hal itu pula adalah muslihat yang dilakukan dalam rangka memperoleh keselamatan jiwa dan harta benda. Sebagaimana yang dialkukan Nabi Khadhir dengan merusak perahu yang ia tumpangi supaya perahu tersebut tidak dirampas oleh raja yang zalim yang merampas setiap perahu bagus yang ia lihat. Oleh karena itu, hukum suatu muslihat mengikuti tujuan dilaksanakannya muslihat tersebut, apakah tujuannya baik ataukah tidak.

Termasuk pula dalam kaidah ini adalah firman Allah :



Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, (QS. An Nisaa’ : 58).



Sedangkan yang dimaksud dengan amanat adalah segala sesuatu yang seseorang mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya, berupa barang titipan, mengurusi anak yatim, menjadi nadzir wakaf, dan semisalnya. Maka termasuk dalam upaya untuk mengembalikan apa yang menjadi amanatnya tersebut kepada pemiliknya adalah menjaga amanat tersebut dengan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sesuai. Dan termasuk upaya menjaga amanat tersebut adalah mengurus apa yang diamanatkan dengan memberikan makanan dan sebaginya jika yang diamanatkan tersebut mempunyai ruh. Adapun yang termasuk upaya untuk menggunakan amanat tersebut adalah tidak teledor dan tidak berlebih-lebihan dalam menggunakannya.

Di antara cabang kaidah ini adalah bahwasannya Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, dan melarang mendekat kepada semua wasilah yang dikhawatirkan akan mengantarkan jatuh seseorang pada perkara yang diharamkan tersebut, seperti menyendiri dengan wanita yang bukan mahramnya, atau melihat kepada sesuatu yang diharamkan untuk dilaihat. Oleh karena itu Rasulullah bersabda ;

وَمَنْ وَقَعَ فيِ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فيِ الْحَرَامِ ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى ، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

Dan barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh ke dalam wilayah perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan, dikhawatirkan ia akan masuk ia ke daerah larangan itu. Ingatlah bahwa setiap raja memiliki daerah larangan dan daerah larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. (HR. Bukhari) [8]

Termasuk cabang kaidah ini pula adalah adanya larangan dari mengerjakan sesuatu yang bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian, seperti menjual untuk menandingi jualan seorang muslim yang lain, melakukan akad di atas akad muslim yang lain, melamar wanita atas lamaran saudaranya sesama muslim, atau mengajukan perwalian atas pengajuan muslim yang lain. Sebagaimana termasuk cabang kaidah ini pula adalah memberikan dorongan untuk komitmen dengan kejujuran, baik dalam perkatan maupun perbuatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Adapun perkara yang tidak masuk dalam kaidah ini adalah permasalahan nadzar. Hal ini dikarenakan suatu hikmah tertentu yang khusus pada permasalahan tersebut. Di mana, menunaikan nadzar ketaatan hukumnya adalah wajib, sedangkan mengikat nadzar hukumnya makruh padahal menunaikan nadzar tidaklah bisa dilaksanakan kecuali dengan mengikat nadzar. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan untuk menunaikan nadzar [9] dan melarang dari mengikat nadzar. Sebagaimana sabda beliau :

إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ , وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيْلِ

Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, dan sesungguhnya nadzar itu dikeluarkan dari seorang yang bakhil. (HR. Bukhari) [10]

Hal ini dikarenakan mengikat nadzar mengurangi keikhlasan dalam amalan yang dinadzarkan tersebut, dan menyebabkan orang yang mengikat nadzar masuk kepada bala’ berupa kesempitan sedangkan awalnya ia berada dalam kelapangan. Demikian pula, mengikat nadzar merupakan suatu bentuk memberatkan diri sendiri.

Dan termasuk pula dalam cabang kaidah ini adalah perbuatan seseorang yang telah mentalaq isterinya sebanyak tiga kali, kemudian ia berupaya untuk bisa menikahinya lagi dengan cara tahlil. Maka perbuatan ini haram untuk ia lakukan, bahkan ia terlaknat dikarenakan perbuatannya tersebut, dan perbuatan tahlilnya itu pun tidak menyebabkan bolehnya ia menikahi isteri yang telah ia talaq tiga kali tersebut. Hal ini dikarenakan nikah tahlil itu bukanlah nikah yang hakiki, dan hanya gembarannya seolah-olah termasuk pernikahan, sedangkan hakikatnya adalah adalah perbuatan sia-sia semata.

Sebagaimana wasilah untuk melaksanakan suatu ibadah tertentu mempunyai hukum sesuai dengan ibadah yang dituju tersebut, maka hal-hal yang menyertai dan sebagai penyempurna suatu ibadah tertentu juga mengikuti hukumnya. Oleh karena itu, perginya seseorang untuk melaksanakan suatu ibadah adalah termasuk ibadah juga. Demikian pula, kembalinya seseorang dari melaksanakn ibadah tersebut menuju ke tempatnya semula juga termasuk ibadah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian shahabat:

إِنِّي لَأَحْتَسِبُ رُجُوْعِي إِلَى بَيْتِي مِنَ الصَّلاَةِ كَمَا أَحْتَسِبُ خُرُوْجِي مِنْهُ إِلَيْهَا

Sesungguhnya aku mengharap mendapatkan pahala dalam kepulanganku dari melaksanakan sholat sebagaimana aku mengharap dalam mendapatkan pahala dalam kepergianku untuk melaksanakan sholat. [11]

Wabillahi taufiq.























































































[1] HR. Muslim dalam Kitab Adz Dzikr wa Ad Du’aa’, Bab Fadhl Al Ijtima’ ‘ala Tilawatil Qur’an No. 2699 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- dan lafaznya adalah :

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ


[2] Di antara hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwasannya ia berkata : Shalat seseorang dengan berjama’ah akan dilipatgandakan pahalanya melebihi sholat yang ia kerjakan di rumahnya, dan yang ia kerjakan di pasar, dilipatgandakan menjadi dua puluh kali lipat. Yang demikian itu dikarenakan apabila ia berwudhu dan memperbaiki wudhunya kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang mendorongnya pergi kecuali untuk melaksanakan shoal, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya satu langkah pun kecuali diangkat baginya satu derajat dan dan dihapus darinya satu kesalahan. (HR. Bukhari dan ini adalah lafaz beliau dalam Kitab Al Adzan Bab Fadhlu Sholat Al jama’ah No. 647, dan Muslim dalam Kitab Al Masajid Bab Fadhlu Sholat Al Jama’ah No. 649)


[3] Ini adalah perkataan Al Hasan dan Qatadah (Tafsir Ibnu Katsir 3/565)


[4] Al Mughni 1/314


[5] Di antara contoh mengubah akad hutang adalah jika seseorang mempunyai piutang kepada orang lain dengan jangka waktu tertentu, lalu sampailah batas akhir waktu pembayaran hutang tersebut, sedangkan orang yang menghutangi tersebut mempunyai rekan yang bersedia untuk memberikan pinjaman kepada orang yang berhutang untuk melunasu hutangnya, maka kembalilah kewajiban membayar hutang itu kepada orang yang berhutang untuk kedua kalinya. Contoh kasus yang lain adalah jika seseorang mempunyai piutang kepada orang lain dengan jangka waktu tertentu. Dan ketika telah jatuh tempo pembayaran hutang tersebut orang yang berhutang tidak memiliki harta untuk mengembalikan hutangnya. Lalu orang yang menghutangi berkata : Aku berikan pinjaman kepadamu kemudian bayarlah hutangmu yang dahulu kepadaku, lalu dilaksanakanlah hal itu. (Al Mudayanah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 17 dan18)


[6] Yang dimaksud dengan ‘inah adalah jika seseorang menjual suatu barang secara kredit kepada orang lain dengan harga tertentu kemudian membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih murah. Jual beli ini dinamakan dengan ‘inah dikarenakan orang yang membeli barang secara kredit tersebut mendapatkan gantinya secara ‘ain, yaitu secara tunai ketika itu juga. Atau, bias dikatakan ‘inah dikarenakan orang yang menjual barang tesebut membeli ‘ain (barang) yang ia jual tersebut (Fathul ‘Aziz ma’a Al Majmu’ 8/231, Syarah Al Muntaha 2/158, dan Al Mishbah 2/441)


[7] Al Muntaha 2/23


[8] HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman Bab Fadhlu Man Istabra-a li Dinihi No. 52, dan Muslim dalam Kitab Al Musaqaah Bab Akhdzil Halal wa Tarkis Syubuhat No. 1599 dari Nu’man bin Basyir -radhiyallahu ‘anhu-.


[9] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, bahwasannya Nabi bersabda : Barangsiapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka hendaklah ia mentaati-Nya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.(HR. Bukhari dalam Kitabul Iman wan Nudzurr, Bab An Nadzr fit Tha’ah No. 6696)


[10] HR. Bukhari dari Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma-, : Sesungguhnya Nabi melarang dari nadzar, dan beliau bersabda : Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, dan nadzar itu hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil. (HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman wan Nudzur, bab Al Wafa’ bin Nudzur No. 6693, dan Muslim dalam Kitab An Nadzr Bab An Nahyu ‘Anin Nadzr No. 1639.

[11] Diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu- bahwasannya ia berkata : Dahulu ada seseorang dari kalangan anshar yang tidak aku ketahui ada seorang pun yang lebih jauh rumahnya dari orang tersebut. Dan ia tidak pernah tertinggal dari melaksanakan shalat berjama’ah. Dikatakan kepadanya : Bukankah lebih baik jika engkau membeli seekor keledai yang bisa engkau kendarai ketika gelap maupun ketika terang ? Maka ia menjawab : Aku tidak senang jika rumahku berada di samping masjid, sesungguhnya aku ingin agar perjalananku menuju ke masjid dicatat sebagai pahala bagiku, demikian pula perjalanan pulangku kembali ke keluargaku. Maka Rasulullah bersabda : Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan apa yang kau inginkan itu untukmu.(HR. Muslim dalam Kitab Al Masajid, Bab Katsratul Khutha ilal masajid No. 663)







http://ustadzkholid.wordpress.com/**Artikel: Ummu Zakaria