Pembagian Khabar dari Berdasarkan Individu yang Dijadikan Sandaran
Berdasarkan orang yang dijadikan sandaran, khabar terbagi menjadi tiga, yaitu: marfu’, mauquf, maqtu’
- Marfu’
Marfu’ yaitu, khabar yang disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Marfu’ terbagi menjadi dua, yaitu: marfu’ sharih (jelas) dan marfu’ hukman (berstatus marfu’)
Marfu’ Sharih (المرفوع صريح) :
Marfu’ sharih adalah khabar yang disandarkan pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat yang berupa akhlak ataupun karakter fisiknya.
Contoh yang berupa perkataan:
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Contoh yang berupa perbuatan:
كان صلى الله هليه و سلم إذ دخل بيته بدأ با لسيواك
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahnya, maka yang dilakukan pertama kali adalah bersiwak.” (HR. Muslim)
Contoh yang berupa persetujuan:
تقريره الجارية حين سألها : أين الله ؟ قالت : في السماء، فأقر ها على ذلك صلى الله هليه و سلم
Persetujuan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pada budak wanita ketika ia bertanya padanya, “Dimana Allah”. Budak itu menjawab, “Di langit”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya. (HR. Muslim)
Demikian pula setiap perkataan atau perbuatan yang diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak diingkari, maka itu termasuk marfu’ sharih kategori berupa persetujuan.
Contoh sifat yang berupa akhlaknya:
كان النبي صلى الله هليه و سلم أجود الناس، و أشجع الناس، ما سئل شيئا قط فقال : لا. و كان دائما البشر، سهل الخلق، لين الجانب، ما خير بين أمرين إلا اختار أيسر هما؛ إلا أن يكون إثما؛ فيكون أبعد الناس عنه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu orang yang paling dermawan, manusia yang paling pemberani, jika diminta sesuatu tidak pernah mengatakan tidak, dan wajahnya selalu ceria, ahlaknya enak dan orangnya mudah. Jika diberi pilihan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka beliau akan memilih yang paling mudah, kecuali kalau itu mengandung dosa, maka Beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut.”
Contoh dari sifat berupa karakter fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tingginya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Jarak antara kedua pundaknya jauh. Beliau memiliki rambut yang mencapai pangkal daun telinga atau terkadang sampai pundak. Jenggotnya bagus dan terdapat beberapa uban di jenggotnya.”
Marfu’ Hukman (المرفوع حكما )
Marfu’ hukman adalah khabar yang secara hukum (status) dapat disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini ada beberapa macam.
Pertama :
Perkataan sahabat; jika tidak mungkin ucapan sahabat itu berdasarkan logika atau ucapan tersebut bukan merupakan tafsir suatu ayat atau sahabat yang mengucapkannya tidak dikenal sebagai orang yang suka mengambil berita-berita israiliyat. Misalnya, seorang sahabat memberitakan tentang tanda-tanda kiamat, keadaan ketika hari kiamat atau tentang balasan-balasan amal.
Jika khabar dari sahabat berdasarkan logika, maka ia adalah khabar yang berstatusmauquf.
Jika khabar berupa tafsir, maka pada dasarnya bukan status tersendiri. Dan tafsirnya merupakan hadits mauquf.
Dan jika sahabat tersebut dikenal suka mengambil berita israiliyat maka perkataannya meragukan, boleh jadi merupakan berita israiliyat boleh jadi merupakan hadits marfu’. Maka haditsnya tidak bisa diterima karena meragukan.
Para ulama menyebutkan bahwa empat sahabat yang bernama ‘Abdullah, yaitu, ‘Abdullah ibn Abbas, ‘Abdullah ibn Zubair, ‘Abdullah ibn Umar ibn Khattab, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash mengambil berita-berita israiliyat dari Ka’ab Al Ahbar atau yang selainnya (1)
Kedua :
Perbuatan sahabat; jika tidak mungkin hadits tersebut berdasarkan logika. Para ulama (2) memberi contoh untuk hal tersebut yaitu shalat ‘Ali radhiallahu ‘anhu dalam shalat kusuf, beliau melakukan ruku lebih dari dua kali dalam setiap rakaat.
Ketiga :
Jika sahabat menyandarkan sesuatu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ditegaskan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengetahuinya atau tidak. Seperti perkataan Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, “Kami menyembelih kuda di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kami saat itu di Madinah lalu kami memakannnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat :
Perkataan sahabat tentang sesuatu diiringi pernyataan bahwa hal tersebut adalah bagian dari sunnah. Seperti perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Adalah termasuk sunnah membaca tasyahud dengan lirih, yaitu tasyahud dalam shalat.”
Jika yang berkata tabi’in maka ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakanmarfu’ dan ada yang mengatakan mauquf. Seperti perkataan ‘Abdullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, “Termasuk sunnah seorang imam pada sholat hari raya berkhutbah dua kali dengan dipisahkan antara keduanya dengan duduk.”
Kelima :
Perkataan sahabat, “kami diperintahkan” (أمرنا), “kami dilarang” (نهينا), “manusia diperintahkan” (أمر الناس) dan yang semacam itu. Misalnya :
Perkataan Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, “Kami diperintahkan untuk mengajak gadis-gadis untuk menghadiri shalat hari raya”.
Perkataannya Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, “Kami dilarang dari mengikuti jenazah akan tetapi tidak ditegaskan bagi kami”.
Perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, “Para jamaah haji diperintahkan agar kegiatan terakhir mereka adalah tawaf di Ka’bah.”
Perkataan Anas radhiallahu ‘anhu, “Kami diberi batasan waktu dalam memotong kumis, memotong kuku,mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, agar bulu-bulu tersebut tidak dibiarkan lebih dari empat puluh malam.”
Keenam :
Penilaian sahabat terhadap sesuatu sebagai sebuah kemaksiatan. Seperti perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang seseorang yang keluar dari masjid setelah adzan, “Orang ini telah durhaka kepada Abul Qosim shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Demikian pula, jika sahabat menilai sesuatu sebagai ketaatan, karena sesuatu tidak bisa dinilai maksiat atau tidak kecuali berdasarkan dalil syari’at. Dan tidaklah mungkin para sahabat menetapkan maksiat atau ketaatan kecuali mereka memiliki ilmu tentangnya.
Ketujuh :
Ucapan seorang rawi berkaitan dengan sahabat: “Sahabat tersebut me-marfu-’kan hadits atau riwayatan.”
Seperti perkataan Sa’id ibn Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Obat itu ada tiga, meminum madu, sayatan hijamah, dan kai dengan api. Dan aku melarang umatku dari kai. Ibnu Abbas me-marfu’-kan hadits.”
Dan perkataan Sa’id ibn Musayyib dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sebagai riwayat,
“Fitrah itu ada lima, atau ada lima hal termasuk fitrah, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.”
Demikianlah, jika para ulama berkata tentang sahabat : “beliau menukil hadits” (ياثر الحديث), atau “menyandarkan hadits” (يُنميه), “menyampaikan hadits” (يُبلغ به) dan yang semacamnya. Maka semisal ungkapan-ungkapan ini haditsnya bernilai marfu’ sharih,walaupun ungkapan tersebut tidak jelas menunjukkan penyandaran kepada pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ungkapan tersebut menunjukkan akan hal tersebut.
- Mauquf (الموقوف):Mauquf adalah khabar yang disandarkan pada sahabat dan tidak berstatus marfu’.Contohnya perkataan Umar ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Islam akan hancur dengan ketergelinciran orang yang alim, debatnya orang munafik dengan menggunakan Al-Qur’an, dan dikuasai oleh pemimpin yang menyesatkan”.
- Maqtu’ (المقطوع) :Maqtu’ adalah khabar yang disandarkan pada tabi’in atau orang-orang setelahnya.Contohnya perkataan Ibnu Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah din, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil ilmu kalian”. Dan perkataan Malik,“Lakukanlah sebagian amal dengan sembunyi-sembunyi yaitu amal-amal yang tidak bisa kau kerjakan dengan baik jika dilakukan dengan terang-terangan.”
Foot note:
(1) Akan tetapi penisbahan untuk Ibnu Abbas tidaklah benar. Karena beliau keras dalam berita-berita israiliyat. Hal ini dijelaskan Syaikh Utsaimin dalam Tafsir Ayat Kursi.
(2) Arti dari kalimat ini “para ulama mengatakan” berarti menisbatkan pada orang lain yang menyatakan dan ini menjadi isyarat bahwa Syaikh Utsaimin tidak terlalu menerima contoh tersebut.
0 komentar:
Post a Comment