Wednesday, 12 January 2011

Taisir Musthalah Hadits: Jarh dan Ta’dil

JARH (CELAAN)

Definisi
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan satu pernyataan yang mengharuskan untuk menolak riwayatnya. Dengan menetapkan sifat penolakan atau menafikan (meniadakan) sifat untuk diterima haditsnya. Semisal dikatakan, dia adalah: pembohong (كذاب ), fasiq (فاسق ) lemah (ضعيف ), tidak tsiqah ( ليس بثقة ), tidak dianggap (لا يعتبر ) atau tidak ditulis haditsnya ( لا بكتب حديثه ).

Pembagian

Jarh terbagi menjadi dua, yaitu mutlaq dan muqayyad
Mutlaq ( المطلق )
Jika disebut seorang rawi dengan
 jarh (celaan) tanpa batasan, maka dia menjadi cacat di setiap keadaan.
Muqoyyad ( المقيد )
Disebutkannya seorang rawi dengan
 jarh, namun jarh tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), semisal berkaitan dengan guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau semacamnya, maka jarh tersebut menjadi cacat pada rawi tersebut jika dikaitkan dengan hal tersebut dan tidak berlaku untuk yang lainnya.

Contoh :
Perkataan Ibnu Hajar dalam
 Taqribu Tahdzib tentang Zaid ibn Habab – rawi ini dipakai Imam Muslim – Ibnu Hajar mengatakan “Dia adalah orang yang jujur (1). Namun, riwayat-riwayatnya adalah keliru jika dia dapatkan dari gurunya yang bernama Sufyan Atsauri. Namun dia tidak dha’if untuk guru yang lain.”
Contoh lain:
Perkataan penulis kitab
 Al Kholashoh tentang Isma’il ibn ‘Iyas, “Orang ini ditsiqahkan Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan Bukhori khusus untuk riwayat dari orang Syam, akan tetapi para ulama mendha’ifkan Ismail jika gurunya adalah orang Hijaz.” Jadi, dia dha’if dalam hadits yang diambil dari orang-orang Hijaz namun tidak dha’if jika gurunya dari penduduk Syam (2).
Dan semisal itu, jika dikatakan orang tersebut adalah dha’if jika berkenaan dengan hadits tentang sifat Allah. Maka rawi tersebut bukan rawi yang dha’if untuk riwayat yang lain.
Akan tetapi jika maksud jarh adalah untuk membantah klaim tsiqah dalam batasan/catatan tersebut, maka hal ini tidak menghalangi rawi tersebut sebagai orang yang dha’if dalam keadaan lain (3).
Tingkatan jarh
Yang paling keras adalah yang menyebutkan dengan puncaknya dalam celaan. Misalnya: “orang yang paling pendusta” (أكذب الناس ), “sendi kedustaan” ( ركن الكذب ).
Kemudian apa yang menunjukkan berlebih-lebihan, akan tetapi tidak sampai seperti yang pertama. Misalnya : tukang bohong ( كذاب ), pembuat hadits palsu ( وضاع ), pembohong (دجال ).
Dan yang paling ringan: lembek haditsnya (لينٌ ), lemah hafalannya ( سيئُ الحفظ ) atau orang tersebut ada pembicaraan pada dirinya (فيه مقال ).
Di antara tiga tingkatan tersebut terdapat berbagai tingkatan  jarh yang sudah dikenal (4).
Syarat penerimaan jarh
Terdapat lima syarat penerimaan
 jarh, yaitu:
  1. Hendaknya ia adalah orang yang adil, sehingga tidak diterima jarh dari orang fasiq.
  2. Hendaknya dia adalah yang teliti, sehingga tidak diterima jarh dari orang yang mughfil(tidak teliti).
  3. Hendaknya dia adalah orang yang arif dan mengetahui sebab-sebab cacatnya rawi. Maka tidak diterima jarh dari orang yang tidak mengetahui sebab-sebab cacatnya seorang rawi.
  4. Menjelaskan sebab-sebab jarh. Maka tidak diterima jarh yang samar, semacam mencukupkan diri dengan mengatakan “dia dha’if, tidak diterima haditsnya” tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Hal ini dikarenakan terkadang seseorang menjarhseseorang dengan sebab yang tidak menyebabkan jarh. Inilah pendapat yang masyhur.Ibnu Hajar rahimahullah memilih pendapat diterimanya jarh yang samar (mubham) kecuali dari orang yang sudah diketahui bahwa dia adalah perawi yang adil. Jika demikian, maka tidak diterima jarhnya kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya. Dan inilah pendapat yang rajih, khususnya jika orang yang menjarh adalah ulama yang pakar dalam ilmu ini.
  5. Hendaknya jarh tersebut tidak tertuju kepada orang yang mutawatir keadilannyadan dia terkenal sebagai imam (dalam agama) semacam Nafi’ (Maula Ibnu Umar), Syu’bah, Imam Malik, Imam Bukhari. Maka tidak diterima jarh untuk orang-orang semisal mereka.
TA’DIL (PENILAIAN BAIK)
Defenisinya
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan perkataan yang menyebabkan wajib diterimanya riwayat darinya, bisa berupa sifat diterimanya riwayat atau menafikan sifat ditolaknya riwayat. Misalnya dikatakan : dia “
tsiqah (terpercaya)” (هو ثقة ), “tidak mengapa dengannya” (لا بأس به ) atau “tidak ditolak hadits darinya” (لا يرد حديثه ).
Pembagian Ta’dil
Ta’dil terbagi menjadi dua: Mutlaq dan Muqoyyad
Mutlak
Disebutkannya seorang rawi dengan
 ta’dil tanpa persyaratan. Maka rawi tersebut tsiqahdalam setiap kondisi.
Muqayyad
Disebutkannya seorang rawi dengan
 ta’dil,namun ta’dil tersebut dikaitkan dengan hal tertentu (ada pemberian catatan), baik dari guru tertentu atau sekelompok orang tertentu atau sejwenisnya. Maka ta’dil ini adalah penilaian tsiqah tentang orang ini pada keadaan tertentu tersebut dan tidak pada keadaan selainnya.
Misalnya dikatakan “Dia ini tsiqah bila membawakan hadits dari Az Zuhri atau hadits yang dia dapatkan berasal dari orang Hijaz.” Maka rawi ini tidak tsiqah dalam riwayat yang dia bawakan dari orang lain yang dia tidak ditsiqahkan.
Akan tetapi jika ta’dil muqayyad maksudnya adalah untuk membantah klaim dha’ifnya rawi tersebut, maka hal tersebut tidak menghalangi ketsiqahan rawi tersebut pada selain bantahan tersebut.
Tingkatan ta’dil
Yang paling tinggi adalah yang menunjukkan puncaknya dalam ta’dil. Semacam:“manusia yang paling terpercaya” ( اوثق الناس ), “padanya terdapat puncak ketekunan”(إليه المنتهى ), (فيه الثبت )
Dengan kata-kata yang menguatkan ta’dilnya dengan satu sifat atau dua sifat. Semacam “tsiqah tsiqah” (ثقت ثقة ) atau “tsiqah tsabat” (ثقت ثبت ).
Yang paling rendah adalah kata-kata pujian yang dekat dengan jarh yg paling ringan. Semisal dikatakan “dia adalah orang yang sholeh” ( صالح ), “dia adalah dekat” (مقارب ),“diriwayatkan haditsnya” (يروى حديثه ) atau kata-kata semisal.
Di antara tiga tingkatan tersebut terdapat berbagai tingkatan  ta’dil yang sudah dikenal.
Persyaratan diterimanya ta’dil
Persyaratan diterimanya
 ta’dil ada empat, yaitu:
  1. Orangnya adil, sehingga tidak diterima ta’dil dari orang fasiq.
  2. Orangnya cermat, sehingga tidak diterima ta’dil dari orang yang tidak cermat karena dia bisa saja tertipu dengan kondisi orang tersebut.
  3. Hendaknya orang tersebut mengetahui sebab-sebab ta’dil. Maka tidak diterimata’dil dari orang yang tidak mengetahui sifat-sifat diterima atau ditolaknya suatu riwayat.
  4. Hendaknya ta’dil tersebut tidak berkenaan dengan orang yang terkenal dengan sifat-sifat yang mengharuskan riwayatnya ditolak karena dusta, nyata kefasiqannya atau yang selainnya.
KONTRADIKSI ANTARA JARH DAN TA’DIL
Definisinya
Disebutkannya (keadaan) seorang rawi dengan sesuatu yang mengharuskan untuk menolak riwayat darinya atau mengharuskan diterima riwayatnya. Contohnya perkataan sebagaian ulama, “dia
 tsiqah“, kemudian sebagian yang lain mengatakan, “dia dha’if“.
Keadaan kontradiksi antara jarh dan ta’dil
Keadaan kontradiksi antara
 jarh dan ta’dil ada empat
Keadaan Pertama
Antara
 jarh dan ta’dil sama-sama mubham (samar). Maksudnya tidak dijelaskan pada keduanya sebab-sebab jarh atau ta’dil.
Maka jika kita katakan tidak diterima jarh yang mubham (samar), berarti kita mengambilta’dilnya (meskipun mubham) karena hakikatnya tidak terdapat jarh yang menyelisihinya.
Sedangkan jika kita menerima jarh yang mubham (samar) dan itulah pendapat yang kuat, maka terjadi pertentangan (antara jarh dan ta’dil). Jika demikian keadaannya, maka yang kita ambil adalah yang paling mendekati kebenaran, baik dengan melihat sifat adil pemberijarh dan ta’dil, pengetahuan pemberi jarh dan ta’dil tentang keadaan rawi, atau dengan sebab-sebab jarh dan ta’dil atau dengan melihat jumlah yang terbanyak.
Keadaan Kedua
Antara
 jarh dan ta’dil sama-sama dijelaskan (tidak mubham/samar). Maksudnya, sebab-sebab jarh dan ta’dil dijelaskan. Jika demikian, maka kita mengambil jarh, karena orang yang mengatakan jarh tersebut mempunyai tambahan ilmu (tentang perawi keadaan tersebut). Kecuali jika ahli ta’dil mengatakan : ”Kami mengetahui sebab-sebab jarhnya telah hilang.” Maka pada saat seperti ini, kita mengambil ta’dil karena orang yang menta’dil mempunyai tambahan ilmu (tentang keadaan rawi) yang tidak dimiliki oleh orang yang menjarh.
Keadaan Ketiga
Jika disebutkan
 ta’dil secara mubham (samar) dan jarh dengan penjelasan, maka diambiljarhya. Karena pada orang yang menjarh terdapat tambahan ilmu (tentang keadaan rawi).
Keadaan Keempat
Jika
 jarhnya mubham (samar) dan ta’dilnya dengan penjelasan, maka diambil ta’dil dalam hal ini lebih kuat.
Footnote:
(1) Jujur dalam istilah Ibnu Hajar berarti haditsnya berkualitas hasan.
(2) Semacam haditsnya tentang larangan tentang membaca Al-Qur’an untuk orang haidh. Gurunya adalah orang Hijaz. Maka haditsnya adalah hadits yang dho’if.
(3) Misalnya jika ada ulama yang mengatakan,
 “rawi ini dha’if jika dia mengambil dari orang Hijaz.” Dan perkataan ini digunakan untuk membantah ulama lain yang mengatakan“dia tsiqah jika mengambil dari orang Hijaz.” Maka, inilah yang dimaksud jarhmembantah klaim tsiqah. Sehingga jarh tersebut belum berarti menunjukkan bahwa rawi tersebut tidak dha’if jika mengambil dari orang diluar Hijaz.
(4) Di antara 3 tingkatan tersebut masih ada tingkatan yang lain yang sudah maklum dan diketahui oleh orang-orang yg mengetahui ilmu ini. Misalnya, celaan Imam Bukhari yg keras adalah fihi nadzor (فيه نظر ) (perlu dilihat). Kalau sudah ada celaan ini dari Imam Bukhari maka haditsnya tidak diterima, tidak dapat dijadikan syawahid (hadits penguat), tidak dijadikan mutaba’ah. Karena setiap ulama dalam jarh ada yang secara terang-terangan dan ada yang tidak. Karena jarh pada hakekatnya ghibah dan ini hanya diperlukan dalam rangka membela din dan dalam keadaan terpaksa. Semacam yang dilakukan Imam Bukari. Celaan Imam Bukhari yang paling keras adalah “orang ini bermasalah”, yang artinya pada orang tersebut terdapat masalah yang besar. Sedang jika ulama lain mengatakan “padanya ada pembicaraan” justru menjadi celaan yang paling ringan.

muslimah.or.id
***Artikel: Ummu Zakaria***

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment