Monday, 31 January 2011

10 Nashihah Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah Maksiat

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du.
Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:
Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.
Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu……
Apabila engkau berlimpah nikmat
maka jagalah, karena maksiat
akan membuat nikmat hilang dan lenyap
Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.
Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya
Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.
Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…
Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…
Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.
Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.
Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.
***
(Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com)
***
Artikel www.muslimah.or.id

**Artikel: Ummu Zakaria

Pendapat Syaikh Utsaimin tentang Bahasa Inggris

Syaikh Ibn Utsaimin ketika ditanya hukum mencontek untuk pelajaran Bahasa Inggris ,karena sebagian pelajar menganggap bahwa ini adalah bahasa orang kafir dan mereka menganggap halal melakukan kecurangan atau mencontek ketika ujian.

Syaikh menjelaskan bahwa kecurangan seperti ini adalah haram sebagaimana keumuman sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam : “Siapa yang berlaku curang maka bukan dari golongan kami“.Kemudian Syaikh menjelaskan tentang bahasa inggris sebagai orang kafir sebagai berikut :



Adapun beralasan bahwa ini bahasa orang kafir maka ini tidak benar.Berapa banyak kaum muslimin berbahasa dengan bahasa inggris ini.Walaupun kita berkeyakinan bahwa bahasa arab adalah utama, sebagai bahasa alquran dan bahasa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam.Akan tetapi bahasa inggris digunakan baik orang muslim maupun kafir.


Meskipun bahasa orang kafir, maka engkau bolehjadi memerlukannya disuatu hari.Dan saya malah menginginkan bisa mengenal atau paham bahasa ini?!.Karena saya mendapati padanya mashlahatilallah.Seseorang datang kepada anda untuk mengatakan keislamannya,namun anda tidak mampu memahami bahasa mereka.Mereka menanyakan berbagai kewajiban dalam islam seperti shalat,puasa,zakat,haji dll sedang anda tidak dapat menjelaskannya.Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam memerintahkan pada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa ibriyah ,yakni bahasa masyarakat Yahudi.Dengan sebab jika datang surat dari Yahudi, maka Zaid dapat membacanya serta dapat menuliskan surat balasannya.

Misalkan engkau dalam masyarakat yang mereka tidak bisa berbahasa selain bahasa inggris, baik itu negara inggris atau bukan, bagaimana anda bisa berdakwah kepada Allah? Apakah mungkin engkau berdakwah dengan bahasa isyarat? Hingga meskipun katakanlah hal tersebut bisa dilakukan namun tetap saja engkau tidak akan mampu menunjukkan atau mendakwahinya seperti dengan ungkapan.Maka pendapat seperti ini adalah tidak benar dan gambaran yang salah.Adalah betul jika suatu masyarakat yang memang asalnya berbahasa arab kemudian harus pindah bahasa inggris,atau perancis dll maka ini tidak mungkin.Tapi kita mempelajarinya dengan alasan untuk berdakwah atau kemaslahatan duniawi yang tidak haram

Sumber : Liqo Al Bab Al Maftuh No.61 ,pertanyaan pertama mulai detik 23:39.FIle ceramah ini dapat di download di website beliau rahimahullah


Sumber: http://salafyitb.wordpress.com

**Artikel: Ummu Zakaria

Bercanda Yang Berpahala

Sering kali kita melengkapi kehidupan ini dengan canda dan tawa. Terkadang kita memerlukan penyegaran kembali setelah lama beraktifitas dan menjalani berbagai kesibukan yang melelahkan. Di saat itulah kita dapat melepaskan lelah dan penat dengan canda dan tawa. Hal itu kerap kali terjadi pada para wanita, terkadang bermula dari pembicaraan beberapa orang (ngobrol) dan setelah itu timbul canda dan tawa (guyon).
Namun perlu diwaspadai, akankah canda tersebut menimbulkan masalah atau tidak?
Karena banyak masalah besar yang awalnya hanya diakibatkan karena bercanda yang berlebihan. Nah, mengapa hal ini bisa terjadi? Kemungkinan ada sesuatu yang salah di dalamnya.
Dalam agama Islam canda dan tawa ini diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau pernah bercanda dengan isteri dan sahabat beliau. Oleh karena itu saudariku, kita perlu mengetahui bagaimana adab bercanda sehingga tidak menimbulkan masalah tetapi justru berpahala yaitu dengan meneladani bagaimana adab bercanda yang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ajarkan.
Bercandalah dengan Niat yang Benar
Saudariku mulailah dari niat yang benar ketika akan mengawali suatu amalan, setelah itu lakukan amalan tersebut sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam termasuk dalam bercanda. Perbuatan ini akan mejnadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan kedua syarat tersebut (niat yang lurus dan mengukuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).  Niat yang lurus maksudnya supaya bersemangat untuk melakukan perkerjaan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat dan memperhatikan adab Rasulullah dalam bercanda.

Jangan Berlebihan dalam Bercanda dan Tertawa
Saudariku, ketahuilah. Bercanda dan tertawa yang berlebihan dapat mengeraskan hati, serta dapat menjatuhkan kewibawaan kita di hadapan orang lain.
Jangan Bercanda dengan Orang yang Tidak Suka Bercanda
Setiap orang mempunyai sifat yang berbeda-beda. Ada tipe orang yang suka bercanda namun juga ada orang yang serius atau tidak suka bercanda. Terkadang juga ada yang mempunyai sifat perasa dan ada juga yang nyantai/ cuek. Mengenali sifat orang dalam bergaul apalagi dalam bercanda sangat diperlukan. Jangan sampai menempatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan tempatnya sehingga berlaku dhzolim terhadap saudara kita. Bisa saja dengan ucapan tersebut saudara kita menjadi sakit hati, padahal kita tidak menyadari akan hal tersebut.
Saudariku, tidak dalam segala perkara kita boleh bercanda, ada hal-hal yang diharamkan kita bercanda yaitu:
1. Bercanda/ bermain-main dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala
Orang-orang bermain-main atau mengejek syari’at Allah atau Al Qur’an atau Rasulullah serta sunnah, maka sesungguhnya dia kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman, yang artinya,
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab,”Sesungguhnya kami hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena engkau telah kafir sesudah beriman…” (Qs. At Taubah: 65-66).
Ayat ini turun berkaitan dengan seorang laki-laki yang mengolok-olok dan berdusta dengan mengatakan bahwa Rosulullah dan shahabatnya adalah orang yang paling buncit perutnya, pengecut dan dusta lisannya. Padahal laki-laki ini hanya bermaksud untuk bercanda saja. Namun bercanda dengan mengolok-olok atau mengejek syari’at agama dilarang bahkan dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran.
2. Berdusta saat bercanda
Ada sebagian orang yang meremehkan dosa dusta dalam hal bercanda dengan alasan hal ini hanya guyon saja untuk mencairkan suasana. Hal ini telah di jawab oleh sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Aku menjamin sebuah taman di tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yag baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda, namun tetap jujur serta tidak ditambahi kata-kata dusta. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku juga bercanda, dan aku tidak mengatakan kecuali yang benar.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah seorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Ahmad).
Dusta dalam bercanda bahkan sering ditemui bahkan dijadikan tontonan seperti lawak yang dijadikan sebagai hiburan di televisi dan sepertinya sudah akrab dan tidak lagi disalahkan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Apabila kita mau merenungi hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tentunya kita tidak akan berani untuk berdusta sekalipun dalam bercanda.
3. Menakuti-nakuti seorang muslim untuk bercanda
Tidak diperbolehkan menakuti seorang muslim baik serius atau bercanda. Bayangkan apabila kita membuat terkejut seseorang, padahal beliau mempunyai sakit jantung. Perbuatan ini dapat membuat mudharat yang lebih besar, yaitu dapat mendadak meninggal dengan sebab perbuatan tersebut. Perbuatan ini tidak boleh dilakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya baik bercanda ataupun bersungguh-sungguh, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikan.” (HR. Abu Daud).
4. Melecehkan kelompok tertentu
Ada juga orang yang bercanda dengab mengatakan “Hai si hitam” dengan maksud menjelek-jelekkan penduduk dari daerah tertentu yang asal kulitnya adalah hitam.
Hal ini tidak diperbolehkan sesuai dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan jangan suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” (Qs. Al-Hujuraat: 11)
Yang dimaksud dengan “Jangan suka mencela dirimu sendiri”,  ialah mencela antara sesama mukmin, sebab orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
5.  Menuduh manusia dan berdusta atas mereka
Misalnya seorang bercanda dengan sahabatnya lalu ia mencela, menuduhnya atau mensifatinya dengan perbuatan keji. Seperti seseorang berkata kepada temannya, “Hai anak zina.” Tuduhan ini bisa menyebabkan jatuhnya hukum, karena menuduh ibu dari anak tersebut telah melakukan zina.
Bercandalah kepada Orang yang Membutuhkan
Bercandalah kepada anak-anak seperti yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Hai dzul udzunain (wahai pemilik dua telinga).”
Dari hadits ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah tidak pernah berdusta walaupun dalam keadaan bercanda dan beliaulah orang yang paling lembut hatinya.
Saudariku, semoga Allah menjaga kita dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan dapat menjadikan setiap detik kita amalan yang diberkahi. Wallohul musta’an.
*) Diringkas dari buku Panduan Amal Sehari Semalam pada bab “Bercanda Boleh Saja, Tetapi…” dengan sedikit perubahan dan tambahan dari kitab Al Irsyad oleh Ummu Salamah.

***Artikel: Ummu Zakaria***

Bolehkah Dahi Terhalang Peci Saat Sholat ??

Ada yang mengatakan :”Sujud Tidak boleh kepada yang ditanggung badan atau yang segerak dengan badan (mahmul) atau segala sesuatu yang ada ditubuh misalnya sorban yang ada dikepala atau kain yang panjang menutupi tempat sujud. Sah jika diletakkan sapu tangan di tempat sujud, juga sah jika rambut menutup dahi dan tidak sah jika dahi tertutup oleh kopiah atau peci. Dari Ibnu ‘Abbas: “Sesungguhnya Nabi bersabda: ‘Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh (anggota badan) dan aku tidak boleh merintanginya dengan rambut atau kain’ ” (HR. Ibnu Hibban)
Kesimpulannya: Karena dahi bukan aurat maka tidak boleh terhalang kain (sejenisnya). Sedangkan lutut termasuk aurat, maka boleh tertutup kain celana, sarung, ghamis, dll.
Mohon penjelasan dari keterangan diatas? Jazakumullah.
Abu Nafilah
Ustadz M. Subhan Khadafi, Lc. menjawab:
Bukanlah karena dahi termasuk aurat atau bukan seperti halnya lutut yang merupakan aurat dan harus tertutup ketika shalat berdasarkan kesepakatan para ulama. Masalah ini yang sesungguhnya adalah:
“Apakah dahi wajib menyentuh tanah atau lantai secara langsung tanpa terhalangi oleh kain yang dipakai oleh orang yang sholat tersebut seperti tertutup peci, surban, atau ‘imamah?”
Adapun bila dahi yang terhalangi alas seperti tikar yang melekat pada lantai atau tanah maka para ulama sepakat akan kebolehannya.
Dengan demikian maka pendapat yang kuat adalah: diutamakan dahi untuk tidak terhalang ketika sujud dengan kain yang dikenakan oleh orang yang sedang shalat tersebut berdasarkan atsar Ibnu Umar yang tidak suka melihat orang yang sujud sedangkan dahinya terhalangi oleh surbannya: “Sungguh Ubadah bin Shamit melepaskan sorbannya ketika hendak melaksanakan shalat“.
An Nakha’i juga berkata: “Sujud dengan menempelkan dahiku lebih aku sukai“. Demikian pula sudah menjadi kebiasaan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wasallam- bersujud dengan menempelkan dahinya ke lantai atau tanah sampai diriwayatkan bahwa lumpur yang basah menempel pada dahi beliau –shallallaahu’alaihi wasallam- (HR Bukhari dan Muslim).
Sekalipun demikian jumhur ulama menganggap sah bila seseorang sujud sedangkan dahinya tertutup surban atau peci yang dikenakannya bila dikarenakan sebab tertentu seperti dinginnya atau panasnya lantai. Hal ini karena hadits Anas –radhiallahu ‘anhu- yang dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim:
Sungguh kita pernah sholat bersama Nabi –shallallaahu’alaihi wasallam-, maka sebagian diantara kita ada yang menjulurkan ujung pakaian yang dikenakannya sebagai alas sujudnya karena panas yang sangat menyengat“.
Adapun hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban:
Sesungguhnya Nabi saw bersabda: ‘Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh (anggota badan) dan aku tidak boleh merintanginya dengan rambut atau kain’ ” ,
maka terjemahan yang tepat adalah bukan merintangi tapi melipat. Jadi hadits Ibnu Hibban diatas bukanlah dalil yang melarang seseorang menutup dahinya dengan rambut, surban atau peci yang dikenakannya.
Penulis: Ustadz M.Subhan Khadafi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com

***Artikel: Ummu Zakaria***

Dauroh 1 Hari Bersama Ustadz Abu Yahya Badrussalam & Ustadz Fachrudin Nu'man, "Adab dan Akhlak" "Adab Berteman"(3 Februari 2011)

Dauroh 1 Hari Bersama Ustadz Abu Yahya Badrussalam, "Adab dan Akhlak" (3 Februari 2011)

Adab & Akhlak
Kamis 3 Februari, Masjid Jami' Abu Bakar Ash Shiddiq. jl. Akasia- Tajur, Ciledug {depan POM bensin pondok maharta}


Sesi 1 [ pk 9.00- dzuhur]
Meneladani Akhlak Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam
pemateri: Ust. Abu Yahya Badrussalam




Sesi 2 [ pk 13.00- ashar]
Adab berteman 
pemateri: Ust. Fachrudin Nu'man




Informasi:
ikhwan: -0812 2052 064
-0856 1117 8559


Akhwat: -0811 854758




***Artikel: Ummu Zakaria***

Beberapa Atsar Ulama Salaf Dalam Menentang Para Penyelisih Sunnah

Berkata pula Sahl At-Tustari sebagaimana yang disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam "hami bayanil 'ilmi" (2/1085):

"tidaklah seseorang membuat sesuatu yang baru dalam ilmu melainkan dia akan ditanya tentangnya pada hari kiamat,jika mencocoki sunnah maka dia selamat,dan jika tidak maka celaka."

Berkata pula Imam Utsman bin Sa'id Ad-Darimi rahimahullah:
العلم ليس هو بكثرة الرواية، ولكنه نور يقذفه الله في القلب، وشرطه الاتباع، والفرار من الهوى والابتداع
.

"sesungguhnya ilmu bukanlah dengan banyak riwayat,namun cahaya yang Allah hunjamkan kedalam hati,syaratya adalah: mengikuti (sunnah), dan menjauhi hawa nafsu dan bid'ah."

(Siyaru a'laam an-nubala:13/323)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam dzammut ta'wil (38):

"Beliau –Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam- berada diatas halan yang lurus, maka orang yang mengikuti jalannya pasti berada diatas jalan yang lurus ,maka wajib mengikutinya dan berhenti pada sesuatu yang Beliau berhenti padanya, dan diam dari sesuatu yang Beliau diam darinya."


Apakah yang dimaksud jalan yang lurus -wahai saudaraku sekalian- yang senantiasa diminta oleh setiap yang shalat pada setiap raka'atnya baik yang wajib maupun yang sunnah agar Allah membimbingnya ke arah sana?

Ungkapan para ulama dalam menjelaskan maknanya berdekatan,[1]

Telah dikeluarkan Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya (1/75) dengan sanad yang hasan, bahwa Hamzah bin Mughirah berkata: aku bertanya kepada Abul Aliyah –seorang tabi'I yang mulia- tentang firman Allah Ta'ala:

(
اهدنا الصراط المستقيم
)

"tunjukilah kami jalan yang lurus."

Beliau menjawab: itu daalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan dua sahabatnya setelah meninggalnya: Abu Bakar dan Umar.

Lalu akupun mendatangi Hasan (Al-Bashri) dan kau kabarkan tentang hal ini? Beliau menjawab: Beliau telah benar dan telah menasehati."

Berkata Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam "zaadul ma'aad" (1/69-70):

"dari sinilah engkau mengetahui kebutuhan seorang hamba melebihi kebutuhan lainnya adalah mengenal Rasul Shallallahu alaihi wasallam dan apa yang beliau bawa, dan membenarkannya terhadap setiap apa yang Beliau kabarkan, dan mentaatinya terhadap setiap yang Beliau perintahkan, sebab tidak ada jalan menuju kebahagiaan baik di dunia maupun diakhirat, kecuali melalui tangan para rasul.

Tidak ada jalan untuk mengetahui yang baik dan buruk secara rinci kecuali melalui mereka,tidak ada hidayah melainkan petunjuk mereka dan apa yang mereka bawa, mereka adalah timbangan yang benar yang mana setia ucapan,amalan, dan akhlak ditimbangan dengannya.Dengan mengikuti mereka akan terpisahkan antara orang yang mendapatkan hidayah dan orang yang sesat.

Kebutuhan terhadap mereka lebih dari sekedar kebutuhan jasad terhadap ruhnya, kebutuhan mata terhadap cahayanya, kebutuhan ruh terhadap kehidupannya, kebutuhan apa saja yang diwajibkan bagi seorang hamba, maka kbutuhannya terhadap para rasul melebihi semuanya ….."

Hingga beliau berkata: jika kebahagiaan seorang hamba didua negeri (dunia dan kahirat) tergantung pada bimbingan Nabi Shallallahu alaihi wasallam,maka wajib atas setiap ayng menasehati dirinya dan senang akan keselamatan dan kebahagiannya, agarhendaknya dia mengenal petunjuk sejarah dan perjalanan Beliau shallallahu alaihi wasallam ,yang dengannya mengeluarkan seseorang dari tingkat kejahilan,dan memasukkan kedalam kelompok para pengikut dan pendukungnya. Manusia dalam hal ini ada yang mengmabil bagian yang banyak dan ada pula yang sedikit, ada yang tidak megambil bagiannya, dan semua keutamaan hanya ditangan Allah Azza wajalla, Allah berikan kepada siapa yang dia kehendaki, dan Allah yang memiliki keutamaan yang agung."

(haqqun nabiy,Syaikh Al-Bukhari:32-34)



Alih Bahasa : AL-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

[1] Lihat ucapan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (3/29-30)

(Sumber :
 http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65:beberapa-atsar-ulama-salaf-dalam-menentang-para-penyelisih-sunnah-&catid=30:manhaj-salaf&Itemid=18)

***Artikel: Ummu Zakaria***

Hakikat Pembela Kebenaran (Al-Anshor Yogyakarta)

***Artikel: Ummu Zakaria***

Laksana Bidadari dalam Hati Suami (Bagian 4)

Penuh Cinta dan Kasih
Allah Ta’ala berfirman,
فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا (36) عُرُبًا أَتْرَابًا (37)
Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. Penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (Qs. Al-Waqi’ah: 36-37)
Ibnul A’rabi berkata, “Al-’Urubu min An-Nisaa’i” ( العرب من النساء) maksudnya wanita yang patuh kepada suaminya dan memperlihatkan cintanya kepadanya.
Tentang penafsiran ‘urub (عرب ) para ahli tafsir menyebutkan bahwa wanita-wanita tersebut sangat mencintai suaminya, sayang dan manja kepada suami, membuat suami cinta kepadanya, membuat nafsu syahwat suaminya bergelora kepadanya dan membuat suami berdandan karenanya.
Bukhari dalam Shahihnya berkata, ” ‘Uruban (عربا ) adalah wanita yang amat cinta pada suaminya.”
Seorang wanita shalihah cerminan dari pribadi yang penuh kasih dan cinta pada suaminya. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencintai pria lain…sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Istri-istri kalian akan menjadi penghuni surga yang sangat mencintai, yang jika dia disakiti dan menyakiti maka dia segera datang kepada suaminya, dia letakkan tangannya di atas telapak tangan suaminya, seraya berucap, “Saya tidak dapat tidur sampai engkau meridhaiku.” (HR. Thabrani)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menganjurkan kepada laki-laki yang akan menikah untuk mencari wanita yang penyayang dan berbelas kasih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nikahilah wanita yang penyayang dan berpotensi beranak banyak, karena aku akan membanggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain di hari kiamat” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Di antara bentuk cinta dan kasih kepada suami adalah bertutur kata dengan manis, lembut dan mesra, karena manisnya tutur kata wanita dapat memikat dan mempesonakan hati lelaki. Apa engkau tidak ingin kata-katamu laksana tetesan air yang begitu menyejukkan di tengah gurun pasir nan tandus lagi gersang bagi suamimu? Saudariku…sesungguhnya lelaki membutuhkan ketenangan dan ketentraman di dalam jiwanya. Dia membutuhkan terpal yang dapat membuatnya teduh…ke manakah lagi kiranya dia akan mencari keteduhan hati jika tidak pada dirimu?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anggota tubuh manusia wajib disedekahi, setiap hari dimana matahari terbit lalu engkau berlaku adil terhadap dua orang (yang bertikai) adalah sedekah, engkau menolong seseorang yang berkendaraan lalu engkau bantu dia untuk naik kendaraanya atau mengangkatkan barangnya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap langkah ketika engkau berjalan menuju shalat adalah sedekah dan menghilangkan gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Renungkan…perkataan yang baik adalah sedekah, siapakah yang lebih pantas untuk mendapatkan kebaikan kata-katamu yang memikat jika bukan suami yang mendampingi hidupmu?!
Mari kita lihat di antara sifat bidadari yang paling baik adalah gaya bahasa yang memikat saat ia mendekati suaminya, ia menyayangi sebagaimana ibu yang menyayangi anaknya, ia menggoda suaminya dengan parasnya yang cantik jelita.
Bersuara Merdu
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
Sesungguhnya istri-istri penghuni surga bernyanyi untuk suami-suami mereka dengan suara yang paling bagus yang tidak pernah didengar oleh seorangpun. Di antara lagu yang mereka nyanyikan ialah ‘Kami adalah bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik, istri-istri kaum yang mulia.’ Mereka memandang dengan kegembiraan. Di antara nyanyian mereka lagi ialah ‘Kami kekal tidak akan pernah mati, kami setia tidak akan pernah berkhianat, dan kami bermukim tidak kan pernah bepergian.” (Shahih Al Jami’ Ash-Shaghir)
Sebagaimana manusia tertarik dengan suara yang indah, Allah dengan kekuasaanNya menjadikan suara yang indah dan menggembirakan sebagai salah satu kesenangan surga yang tidak akan sirna dan tak ada habis-habisnya.
Ketika kita melihat pada realita yang ada, tiap manusia dianugrahi warna suara yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, ada yang terlahir dengan suaranya yang syahdu, ada pula yang kurang syahdu. Akan tetapi, pelajaran yang bisa kita petik dari sini yakni, hendaknya kita berusaha memperelok nada bicara kita di depan suami kita. Meskipun suara kita hanya bermodal pas-pasan saja.
Saudariku…Mulailah dari sekarang, karena belum terlambat untuk menjadi laksana bidadari dalam hidup suami. Dengan melihat karakteristik sang bidadari, seharusnya hal tersebut menjadi cermin akhlak bagi setiap wanita dunia. Bidadari adalah makhluk yang tercipta mirip dengan bangsamu, duhai wanita…
Maka dari itu, berusahalah agar engkau bisa meneladani kecantikan akhlaknya, berlombalah, dan bersegeralah dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wahai orang yang memanggil dan mencari bidadari, agar dapat bercumbu dengannya di taman-taman surgawi
Andaikan kau tahu siapa yang kau seru, tentu kau tak kan diam saja membisu
Andaikan kau tahu di mana dia berada, kau kan berusaha sekuat tenaga
Segeralah dan tapaki jalan menuju ke sana, karena jalan yang kau tempuh tak lama lagi kan tiba
Bercintalah dan berbicaralah dalam kalbu, persiapkan maskawin selagi kau mampu untuk itu
Jadikan puasamu sebagai bekal untuk pertemuan, malam pertama adalah malam yang fitri setelah Ramadhan
Harapkan keindahan dan kecantikannya yang memikat, hampirilah sang kekasih dan jangan kau terlambat!”
Wahai lelaki dunia…
Cintailah istri shalihah yang tiada sempurna
Dengan cinta yang nyaris sempurna*
Menikahinya akan menghantarkanmu bersanding dengan bidadari di surgaNya yang sempurna
*) karena kesempurnaan cinta yang hakiki hanya pantas ditujukan bagi Rabbul A’la, maka dari itulah penulis menggunakan kata “nyaris”.
***
Artikel
 muslimah.or.id
Penulis: Fatihdaya Khairani
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits
Maraji’:
  1. Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta.
  2. Panduan Lengkap Nikah (Dari “A” sampai “Z”), Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdirrazzak, Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan ke-4, Bogor, 2006.
  3. Bersanding Dengan Bidadari di Surga, Dr.Muhamamd bin Ibrahim An-Naim, Daar An Naba’, Cetakan Pertama, Surakarta, 2007.
  4. Mengintip Indahnya Surga, Syaikh Mahir Ahmad Ash-Shufi, Aqwam, Cetakan Pertama, Solo, 2008.
  5. Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Darul falah, Cetakan ke-11, Jakarta, 2003.
  6. Majelis Bulan Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Pustaka Imam Syafi’i, Cetakan ke-2, Jakarta, 2007.
  7. Bidadari Surga Agar Engkau Lebih Mulia Darinya, ‘Itisham Ahmad Sharraf, IBS, Cetakan ke-3, Bandung 2008.

***Artikel: Ummu Zakaria***

Sunday, 30 January 2011

Dengan Islam, Kubidik Kebahagiaan Rumah Tanggaku

Tatkala kebahagiaan menjadi suatu tujuan sebuah kehidupan, semua orang pun berlomba menggapainya. Bahkan sangat kentara perlombaan ini, dalam seluruh aktivitas hidup mereka. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, waktu-waktu itu terpenuhi dengan rangkaian pola kehidupan dengan berbagai gaya maupun cara yang puncaknya adalah usaha meraih kebahagiaan. Ini semua terlepas dari sebuah kesadaran maupun kelalaian individu yang menjalaninya. Yang pasti, tidak ada seorang pun yang riang gembira tatkala merugi atau bahkan celaka di ujung usahanya, namun penyesalan yang tiada guna adanya. Ini meyakinkan kita bahwa tiada satu pun yang tidak menginginkan kebahagiaan.
Seperti itulah individu setiap insan, dan seperti itu pula kiranya yang terdapat pada setiap rumah tangga. Pasutri yang telah mengikat hubungan kuat lagi erat antara keduanya dengan sebuah ikatan suci pernikahan pun mendambakan kebahagiaan. Maka tak heran lagi, bila beraneka ragam pola serta gaya maupun corak serta warna kehidupan rumah tangga pun bisa kita dapatkan dan kita baca. Hal ini tentu tidak lepas dari beragamnya cara pandang setiap rumah tangga tentang kehidupan dan kebahagiaan itu sendiri.
Kebahagiaan dan keberuntungan hidup memang indah, dan bahkan lebih indah dari kata “indah” itu sendiri. Namun dengan segala kelemahan yang ada pada setiap diri insan yang memang diciptakan dengan penuh kelemahan dan kekurangan, hendaknya masing-masing diri setiap pasutri memahami bahwa yang mengetahui hakikat kehidupan serta kebahagiaan adalah Alloh Penciptanya dan Pencipta seluruh alam semesta ini.
Alloh dengan syari’at Islam-Nya menjanjikan kebahagiaan dan keindahan, sehingga tidak ada kehidupan serta kebahagiaan yang hakiki selain apa yang telah digariskan oleh Alloh dalam syari’at Islam. Dengan kata lain, kehidupan dan kebahagiaan hakiki itu hanya ada pada Islam. Alloh Ta’ala berfirman:
Barangsiapa yang mengerjakan amal sholih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. an-Nahl [16]: 97)
Kalau demikian, dengan apa hendaknya kita membidik kebahagiaan sebuah rumah tangga? Jawabannya dengan penuh kepastian adalah dengan Islam. Islamlah yang menjanjikan hakikat kehidupan dan kebahagiaan hidup, baik bagi setiap individu muslim dan muslimah maupun bagi setiap pasutri dalam bingkai rumah tangga yang Islami. Rahasia indah dan bahagianya sebuah rumah tangga ada pada nilai-nilai Islami yang mewarnainya. Ini menegaskan kembali betapa indahnya keluarga yang Islami dan sesungguhnya keluarga yang terhiasi dengan harta benda yang melimpah ruah, namun terpenuhi dengan kabut kekufuran tak akan membuahkan kebahagiaan yang hakikiAlloh Ta’ala berfirman:
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Alloh menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.(QS. at-Taubah [9]: 55)
Wallohu A’lam.
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com

Tanya Jawab: Aku Tak Percaya Diri

Dijawab oleh al-Ustadz al-Fadhil Abu Umar Basyier
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
saya mau curhat, mohon tanggapan dari ustadz. Ceritanya saya dipertemukan dengan akhwat yang jamilah (cantik) sekali. Sayang, saya merasa kurang PD (percaya diri) dihadapannya. Bagaimana Ustadz? Terima kasih
08158431xxxx
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh.
Alhamdulillah. Kalau saudara berniat tulus hendak menikahinya, sementara saudara sudah melihat bahwa si akhwat memiliki kriteria sebagai wanita yang shalihah, berakhlak baik – tidak hanya jamilah saja – dan memiliki keturunan yang baik pula.
Di samping itu, ia tidak memiliki hal-hal yang sangat saudara benci dalam kepribadiannya, untuk itu, silakan saja saudara maju melamarnya,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki “baa-ah” (kemampuan seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya.”
Rasa cinta dan suka itu fithrah. Allah ta’ala menegaskan,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Jannah).” (Ali Imran : 14)

Saudara harus merasa percaya diri, karena masalah jodoh sulit diukur dengan standar pisik. Apalagi, ini berkaitan dengan niat yang luhur, menyelamatkan diri dari bahaya zina. Imam Nawawi menjelaskan, “Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan melihat tubuh kalian, tetapi melihat hati kalian.’ Karena, hal-hal yang bersifat lahir tidak akan bisa menghasilkan ketakwaan. Ketakwaan itu hanya bisa dicapai melalui bantuan amalan hati. Allah ta’ala hanya memberikan ganjaran dan pahala berdasarkan kondisi hati, bukan kondisi fisik.”
Asal Akhi (saudaraku-red) membekali diri dengan ketakwaan, mengisi hati dengan ketaatan, perbaiki niat dan lakukan amalan yang terbaik di hadapan Allah, Akhi pasti akan memiliki hati yang kuat dan teguh. Coba camkan apa yang diucapkan seorang ulama bernama Abdul Aziz kepada seorang pemuka bid’ah bernam Bisyr al-Marisi, saat si ahli bid’ah mengejeknya karena ulama itu bertampang buruk, “Sesungguhnya Allah menimpakan bala cobaan terhadap Nabi Yusuf, justru karena wajahnya yang ganteng.”
Kami tidak bilang kalau Akhi tidak ganteng lho… Tapi, mungkin Akhi agak minder, karena kayaknya si akhwat lebih “berkelas” dibandingkan Akhi. Itu tidak jadi soal. Tampil saja apa adanya. Bila Akhi sudah merasa mantap untuk melamarnya, bulatkan tekad, lamar saja. Tapi, untuk mengurangi risiko “keterlanjuran”, sebaiknya Akhi menjajaki terlebih dahulu perasaan si akhwat. Mungkin dengan perantaraan akhwat lain, adiknya atau saudaranya. Bila sudah mendapatkan lampu hijau atau setidaknya lampu kuning kehijau-hijauan, baru Akhi melangkah ke tahap selanjutnya.
Akhi, rasa suka memegang peranan sangat penting untuk kelanggengan sebuah rumah tangga. Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Kalau seorang lelaki berkesempatan untuk melihat pada diri wanita itu sesuatu yang mendorongmu untuk mau menikahinya, hendaknya ia melakukannya.”
Ibnu Hajar -rohimahulloh- menjelaskan, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang muslim dianjurkan melihat wanita yang hendak dipinangnya.”
Imam al-Mubarakfuri memberi penjelasan: “Arti ‘yang mendorongmu untuk mau menikahinya,’ yakni bahwa dengan melihatnya, akan lebih baik, lebih pantas dan memungkinkan terjadinya persesuaian antara keduanya.”
Nah, Akhi sudah memiliki yang pertama, yaitu rasa suka atau rasa cinta. Bila “kecantikan” si akhwat semakin disempurnakan dengan inner beauty (keindahan batinnya), kesalihan dan kebagusan akhlaknya, lengkaplah seperti disebutkan dalam hadits, “Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baiknya kenikmatan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Untuk itu, jangan membuang-buang kesempatan. Bila Akhi melamarnya, dan ternyata Allah menakdirkan kalian berdua tidak bisa bersatu dalam kehidupan berumah tangga sebagai suami istri, tidak menjadi masalah. Itu jauh lebih ringan, ketimbang Akhi membuang kesempatan mencoba melamarnya, akhirnya keburu dilamar orang lain. Lebih menyakitkan lagi, kalau ternyata ketahuan sesudahnya, bahwa si akhwat sebenarnya menunggu keberanian Akhi melamarnya. Untuk itu, sekali lagi, tampil saja apa adanya, namun lekaslah mengambil sikap bila segalanya dianggap sudah memungkinkan.
Masalahnya, kalau Akhi belum siap menikah, rasa cinta itu harus diperangi agar tidak mengakar dalam hati. Bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan di luar aturan syariat.
Sebagai analogi, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa laparnya kita, meski makanan itu halal. Namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan Ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Ya, kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidak berpuasa.
Akhi, bila rasa cinta itu masih menggeliat di hati Akhi, sementara Akhi belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itu tidak boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta kasih dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat dan bepergian bersama-sama adalah haram.
Dan sebenarnya cinta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu, bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya bila dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telah memiliki nafsu untuk berbuat kezhaliman, berbuat haram dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Cobalah simak hadits Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
“Jangan melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa sengaja) adalah mubah, tapi yang ke dua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, “Palingkan pandanganmu dari wanita itu.”
Akhirnya si akhwat yang jelita itu, bisa menjadi anugerah bagi Akhi, bila Akhi bisa menikahinya menurut aturan syariat. Namun bisa juga menjadi bencana paling hebat dalam kehidupan Akhi, bila Akhi membiarkannya menjadi bibit kemaksiatan demi kemaksiatan, dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Akhi mendapatkan yang terbaik. (***)
Rubrik Konsultasi Pra Nikah Majalah Nikah Sakinah Vol. 9 No. 9, Desember 2010 (pernah di muat di majalah Nikah Vol.4, No.1, April 2005)
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com


***Artikel: Ummu Zakaria***

Rangkaian Tabligh Akbar Pekanbaru Bersama Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A. “Dengan Senyuman, Masalah Sirna” (2-4 Februari 2011)

Hadirilah Tabligh Akbar…!

Bersama: DR. Muhammad Arifin Badri, MA

  • Pakar Fiqih dan Ekonomi Islam, Pengasuh Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI)
  • Dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’i Jember (STDIIS – Jember)
  • Penulis Buku “Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah”
  • Alumni Doktoral Universitas Islam Madinah – Saudi Arabia, Jurusan Fiqih

Tema:

1. Dengan Senyuman, Masalah Sirna

Rabu, 30 Shafar 1432H (02 Februari 2011)
Ba’da ‘Isya di Masjid Agung An-Nur – Pekanbaru

2. Memahami Khilaf Para Ulama

Kamis, 01 Rabi’ul Awwal 1432H (03 Februari 2011)
Ba’da ‘Isya di Akramunnas UNRI – Pekanbaru

3. Mengenal Hukum Tasyabbuh

Jum’at, 01 Rabi’ul Awwal 1432H (04 Februari 2011)
Ba’da Subuh s/d 07.30 wib di Masjid Fatimah- Pekanbaru
Jl. Arifin Ahmad, Jl. Subayang (Villa Paus Flower Residence)

4. Islam Bukan Hanya Milikku Seorang

Jum’at, 01 Rabi’ul Awwal 1432H (04 Februari 2011)
09.00 wib s/d 11.00 wib di Masjid Umar bin Khattab
Jl. Delima Gg. Delima XII, Panam – Pekanbaru


http://salafiyunpad.wordpress.com/


***Artikel: Ummu Zakaria***