Wednesday, 23 March 2011

Keutamaan Kanan daripada Kiri

Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam seluruh aktifitas beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5926 dan Muslim no. 268)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ لِيَكُنْ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ

“Apabila salah seorang dari kalian memakai sandal, hendaknya memulai dengan yang kanan, dan apabila dia melepas hendaknya mulai dengan yang kiri. Hendaknya yang kanan pertama kali mengenakan sandal dan yang terakhir melepasnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5856 dan Muslim no. 2097)


Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلَبَنٍ قَدْ شِيبَ بِمَاءٍ وَعَنْ يَمِينِهِ أَعْرَابِيٌّ وَعَنْ يَسَارِهِ أَبُو بَكْرٍ فَشَرِبَ ثُمَّ أَعْطَى الْأَعْرَابِيَّ وَقَالَ الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberi minum susu campur air, sementara di sebelah kanan beliau ada seorang badui dan di sebelah kiri beliau ada Abu Bakr. Maka beliau minum kemudian beliau berikan (sisanya) kepada orang badui tersebut. Beliau bersabda: “Hendaknya dimulai dari sebelah kanan dahulu dan seterusnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5619 dan Muslim no. 29029)

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Jika seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya. Jika dia minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya. Karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula.” (HR. Muslim no. 3764)

Penjelasan ringkas:

Memulai dengan yang kanan pada seluruh amalan-amalan yang sifatnya amalan kemuliaan merupakan salah satu di antara tuntunan Islam yang mulia. Ini menunjukkan bagaimana keuniversalan Islam karena menyinggung masalah yang mungkin dianggap remeh banyak orang, yaitu dalam mengerjakan sesuatu apakah dimulai dari yang kanan atau yang kiri, menggunakan tangan kanan atau tangan kiri, menggunakan kaki kanan atau kaki kiri.
Adapun hikmah dianjurkannya memulai dengan yang kanan pada amalan-amalan yang sifatnya kemuliaan, karena kanan itu lebih mulia daripada kiri.
Sangat banyak dalil-dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya:
1.    Kedua tangan Allah Ta’ala adalah kanan. Berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

“Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan: Yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga, dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 3406)

2.    Kebiasaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memulai setiap aktifitasnya dengan yang kanan.

3.    Karena menggunakan tangan kiri dalam makan adalah perbuatan menyerupai setan, padahal Islam telah mengharamkan seseorang itu serupa dengan setan.

4.    Nabi shallallahu alaihi wasallam mendahulukan orang yang di sebelah kanan beliau padahal dia hanyalah arab badui dan mengundurkan orang yang ada di sebelah kiri beliau padahal di situ ada Abu Bakr.

5.    Dalam wudhu anggota wudhu yang kanan lebih didahulukan untuk dicuci daripada yang kiri.

6.    Dan masih banyak dalil-dalil lainnya.
Karenanya disunnahkan seseorang untuk mulai dengan yang kanan pada setiap amalan kemuliaan, seperti: Masuk masjid mulai dengan kaki kanan dan keluar dengan kaki kiri, masuk wc dengan kaki kiri dan keluar darinya dengan tangan kanan, menyentuh kemaluan dengan tangan kiri, bersiwak dengan tangan kanan. Wallahu a’lam




Sumber: http://al-atsariyyah.com/keutamaan-kanan-daripada-kiri.html
http://hanifatunnisaa.blogsome.com/


Artikel Ummu Zakaria

Tuesday, 22 March 2011

Talak Bagian 5 (Sebab Talak: Ilaa’)

3. Iilaa’ (إلاء )
Iilaa’ menurut bahasa adalah bersumpah melarang diri dari sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah syar’i adalah seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. [Lihat Terj. Al-Wajiz(hal. 620), Ensiklopedi Fiqh Wanita(II/437), dan Terj. Subulus Salam(III/55)]
Dalil pokok tentang iilaa’ adalah firman Allah:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Orang-orang yang meng-ilaa para istrinya, mereka diberi kesempatan untuk berpisah maksimal selama enam bulan. Jika dia kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 226)

Berdasarkan ayat di atas, Iilaa’ ada dua macam, yaitu:
  1. Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu kurang dari empat bulan.
  2. Dalam keadaan seperti ini, maka seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya dan membayar kaffarat atas sumpahnya tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
    مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ فَـرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَـلْيَأتِهَا وَلْيُكَـفِّـرْ عَـنْ يَمِيْنِهِ .
    Barang siapa bersumpah terhadap suatu hal kemudian dia melihat hal lain yang lebih baik darinya, maka lakukanlah sesuatu yang lebih baik (dari hal yang dia bersumpah atasnya), lalu bayarlah kaffarat sumpahnya itu.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1650), Ibnu Majah (no. 2108), dan an-Nasa'i (VII/11), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
    Jika ia tidak membayar kaffaratnya dan tetap pada sumpahnya, maka istrinya harus bersabar sampai habis waktu iilaa’ yang dinyatakan oleh suaminya, dan istri tidak berhak untuk menuntut cerai. Hal tersebut juga pernah dialami oleh sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak mencampuri sebagian istrinya dan beliau menetap di sebuah kamar selama satu bulan (dalam riwayat disebutkan bahwa sebulan yang dimaksudkan itu adalah selama 29 hari). [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5289), an-Nasa'i (VI/166), dan Tirmidzi (no. 685), dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]
  3. Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu lebih dari empat bulan.
  4. Dalam kondisi semacam ini, seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya dan membayar kafarat atas sumpahnya tersebut, sebagaimana halnya keadaan pertama di atas. Namun, apabila suami tidak juga menggauli istrinya yang telah bersabar menunggunya sehingga berlalu waktu empat bulan, maka istri boleh menuntut kepastian dari si suami dengan jima’ (persetubuhan) sebagai tanda kembali bersatunya (fai’ah) suami dan istri, atau dengan talak sebagai tanda berpisahnya suami dengan istri.
Dengan demikian, seorang suami yang meng-iilaa’ istrinya sangat dianjurkan bahkan diutamakan untuk kembali kepada istrinya dan membayar kaffarat atas sumpah yang telah diucapkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَأَنْ يَلَجَّ أَحَـدُكُـمْ فِي يَمِيْـنِهِ فِي أَهْـلِهِ آثَـمُ لَهُ عِـنْـدَ اللهِ تَـعَـالَى مِنْ أَنْ يُعْـطِـيَ كَـفَّـارَتَـهُ الَّتِي فَـرَضَ اللهُ عَـلَيْهِ .
Sungguh dosa seseorang yang bersikukuh mempertahankan sumpahnya (untuk tidak mencampuri) keluarganya itu lebih besar disisi Allah daripada ia membayar kaffarat atas sumpahnya yang Allah wajibkan kepadanya.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1655), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah berkata, “Membatalkan sumpah nilainya lebih utama dari pada mempertahankan sumpah jika dalam pembatalannya tersebut mengandung kemaslahatan yang kuat (besar).” [Lihat Terj. Syarah Riyadhush Shalihin(V/351) dan lihat juga penjelasan Syaikh Salim dalam Ensiklopedi Larangan (III/83-85)]
Namun, jika masa iilaa’ tersebut telah habis, maka si suami diberikan pilihan untuk kembali pada istrinya atau menceraikannya. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fat-hul Baari (IX/428), bahwa diriwayatkan dari Abu Shalih, ia berkata,
Aku bertanya pada dua belas Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang melakukan iilaa’. Mereka menjawab, “Tidak apa-apa baginya sampai berlalunya waktu empat bulan, setelah itu dia boleh memilih untuk kembali pada istrinya atau menceraikannya.” [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/438)]
bersambung insyaallah
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
  • Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
  • Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
  • Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
  • Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
  • Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
  • Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
  • Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
  • Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
  • Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
  • Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
  • Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
  • ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh
Artikel Ummu Zakaria

Friday, 18 March 2011

Talak Bagian 4 (Sebab Talak: Khulu’)

2. Khulu’ (الخلوع )
Khulu’ diambil dari ungkapanخلع الثوب yang artinya, melepas baju. Karena secara kiasan, istri adalah pakaian suami. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
… هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ …
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”(Qs. Al-Baqarah: 187)
Sedangkan definisinya menurut syari’at adalah: berpisahnya suami dengan istrinya dengan tebusan harta yang diberikan oleh istri kepada suaminya. [Lihat Fiqhus Sunnah(II/253), Manaarus Sabiil (II/226), Fat-hul Baari (IX/395), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 297), Terj. Al-Wajiz (hal. 637), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/422)]
Masalah ini sering sekali terlontar dari bibir kaum wanita. Tidak sedikit dari mereka yang protes kepada suaminya karena berbagai masalah yang menimpa rumah tangganya, sehingga muncullah benih-benih kedurhakaan yang jika dibiarkan maka dia akan tumbuh dan berkembang menjadi penyakit mematikan yang dapat mengancam keutuhan rumah tangga keduanya. 

Kita juga sering melihat fenomena di mana para wanita dituntut untuk balik menuntut suami agar mau mengikuti segala kemauannya, sehingga kita mengenal istilah ’suami-suami takut istri’. Bahkan tidak jarang dari fenomena ini berakibat kepada banyaknya kisah cinta yang dirajut selama bertahun-tahun harus berakhir di pengadilan agama. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ .
Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” [Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1186) dan Abu Dawud (no. 9094), dari Abu Hurairahradhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahih Jaami'ush Shaghiir(no. 6681)] 
Dan dalam riwayat lain disebutkan juga,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi Surga.” [Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (no. 2226), Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), Ad-Daarimi (II/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban (no. 4172 - At-Ta'liiqaatul Hisaan), Al-Hakim (II/200), Al-Baihaqi (VII/136), dari Tsauban radhiyallahu 'anhu. Lihat Irwa' Al-Ghaliil(VII/100)] 
Makna kata: ‘alasan‘ yang tercantum dalam hadits di atas adalah alasan yang dibenarkan oleh syar’i, yaitu segala yang dapat mengakibatkan keduanya sudah tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. 
Apabila seorang istri sudah tidak sanggup lagi hidup berdampingan dengan suaminya, karena suaminya sering melakukan dosa dan maksiat, meskipun sudah diingatkan berulang kali, maka seorang istri boleh menuntut cerai terhadap suaminya tersebut dengan mengeluarkan pengganti berupa harta (disebut juga fidyah dan iftida) sebagai tebusan untuk dirinya dari kekuasaan suami. [Lihat 'Aunul Ma'bud (VI/306), Syarah Al-Arba'un Al-Uswah (no. 27), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 297) dan Terj. Al-Wajiz (hal. 637)]
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
… وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْ خُذُوا مِمَّآ ءَاتَيْتُمُو هُنَّ شَيْئًا إِلَّآ أَنْ يَخَافَآ ألَّا يُقِيْمَا حُدُودَ اللهِۖ …
… dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah,” (Qs. Al-Baqarah: 229) 
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang dan menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
يَـا رَسُولُ الله، مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِيى دِيْنٍ وَ لَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّيْ أَخَافُ الكُفْرَ، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه و سلم : تَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَـتَهُ ؟ ، فَقَالَتْ : نَعَمْ . فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا .
Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, akan tetapi aku takut akan (menjadi) kufur.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?” Ia menjawab, “Ya.” Maka kemudian kebun itu dikembalikan kepada Tsabit bin Qais dan (beliau) menyuruhnya untuk menceraikan istrinya. [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5276)] 
Sedangkan alasan yang banyak dikemukakan oleh para wanita yang menuntut cerai dari suaminya pada zaman sekarang ini, datang dari hawa nafsunya sendiri. Karena kurangnya pemahaman terhadap agama dan tidak adanya rasa qana’ah (merasa puas) terhadap suami, sehingga mengakibatkan timbulnya konflik di dalam rumah tangga. Dan seorang istri yang bertakwa kepada Allah Ta’ala, sekali-kali tidak akan meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at, meskipun orang tuanya memerintahkan hal itu kepadanya. 
Karena suami memiliki hak yang lebih besar atas dirinya melebihi orang tuanya sendiri. Dengan demikian, apabila wanita tersebut lebih memilih untuk mengabulkan keinginan kedua orang tuanya dan merelakan kehancuran rumah tangganya, maka dia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [LihatEnsiklopedi Fiqh Wanita (II/423-424) dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 101-102)]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لاَ طَاعَةَ لِبَشَرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ .
“Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam hal kemaksiatan terhadap Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf (baik).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), An-Nasa'i (VII/159-160 no. 4205), Abu Dawud (no. 2625) dan Ahmad (I/94 no. 623), dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu] 
Adapun dalam Islam, pemberlakuan khulu’ dinilai sebagai fasakh (pembatalan nikah). Artinya, perceraian karena khulu’ bukan termasuk talak. Demikianlah yang difahami oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika mentafsirkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُـدُودَ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَـدَتْ بِهِ ۗ …
… Jika kamu (wali) merasa khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya…” (Qs. Al-Baqarah: 229) 
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat di atas, bahwa adanya kata “ ” menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. [Diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq dalamMushannafnya (no. 11765) dengan sanad yang shahih, dari Thawus radhiyallahu 'anhu].
Meskipun khulu’ menggunakan lafazh talak, akan tetapi berlaku sebagai khulu’, selama dilakukan dengan cara ada penebusan dari seorang istri agar dirinya bisa lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya. Oleh karena itu, apabila istri mengajukan khulu’ dalam masa‘iddahnya, setelah suami menjatuhkan talak kedua , kemudian suami menerima pengajuankhulu’ tersebut, maka status talak yang ketiga ini adalah talak ba-’in shugra dan bukantalak ba-’inkubro. Karena talak yang terakhir tidak dihitung sebagai talak, tetapi fasakh
Dengan demikian, jika dua mantan suami-istri ini hendak menikah lagi maka tidak disyaratkan sang istri harus dinikahi laki-laki lain terlebih dahulu. Karena talaknya baru dua kali dan bukan tiga kali. Hanya saja, proses pernikahannya harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, mahar yang baru pula, dan tentunya setelah istri ridha untuk menikah lagi dengannya.
[lihat Zaadul Ma'ad (V/197 dan 199), Al-Mughni (VII/52-56), Al-Inshaaf (VIII/392),Raudhah Ath-Thaalibiin (VII/375), Al-Muhallaa (X/238), Majmuu' Al-Fataawaa (XXXII/289 dan 309), Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/160), Shahiih Fiqh Sunnah (III/340-348), Terj. Al-Wajiz (hal. 640-641), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/425-428), Panduan Keluarga Sakinah(hal. 317-319), Ensiklopedi Larangan (III/72-73)]
bersambung insyaallah
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
  • Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
  • Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
  • Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
  • Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
  • Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
  • Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
  • Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
  • Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
  • Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
  • Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
  • Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
  • ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh

Artikel Ummu Zakaria

Nasehat tentang Mahar dan Pesta Pernikahan

Oleh: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah


Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada saudara-saudara kami sesame muslim. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepadaku dan kepada mereka untuk melakukan apa yang dicintai dan diridhoi oleh-Nya. Dan semoga Dia menjauhkan kita semua dari keterjerumusan ke dalam apa yang dilarang dan diharamkan oleh-Nya. Amin.

Assalamu’alaykum wa rohmatullah wa barakatuh. Amma ba’du

Sejumlah orang yang memiliki ghirah dan keshalehan telah mengadu kepadaku perihal fenomena sikap berlebih-lebihan di dalam masalah mahar dan pesta pernikahan, yang menyebar di kalangan masyarakat. Juga tentang orang-orang yang saling berlomba memamerkan diri, mengeluarkan harta yang sangat banyak untuk keperluan tersebut. Serta tentang keharaman dan kemungkaran yang banyak terjadi di dalam pesta-pesta pernikahan seperti mengambil foto, ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, memperdengarkan suara para penyanyi dengan pengeras suara dan menggunakan alat-alat musk serta mengeluarkan biaya begitu banyak untuk hal-hal yang diharamkan ini.

Semua itu termasuk hal yang menyebbakan sekian banyak pemuda mengurungkan niat untuk menikah dikarenakan ketidak-mampuan mereka menanggung biayanya yang sedemikian mahal. Padahal yang diperbolehkan bagi kaum wanita secara khusus di dalam pernikahan itu hanya memukul duff dan nyanyian biasa di antara mereka, sebagai sebuah pemberitahuan kepada khalayak ramai akan acara pernikahan tersebut. Sehingga diketahui bedanya pernikahan itu dari bentuk hubungan gelap/ perzinaan. Hal itu sebagaimana yang diterangkan di dalam As-Sunnah. Tapi tanpa perlu mengumumkan pernikahan tersebut dengan pengeras suara.

Sebenarnya kebanyakan orang melakukan perkara-perkara haram ini hanya karena ikut-ikutan, dan tidak mengetahui sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, penghulu orang-orang yang terdahulu dan terkemudian. Maka saya memandanag perlu untuk menulis tulisan ini sebagai nasehat tulus terhadap Allah Ta’ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum. Aku katakana –dan hanya Allah- lah Dzat yang dimintai pertolongan- : Telah diketahui bahwa pernikahan itu adalah salah satu sunnah para Rasul. Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menikah. Allah Ta’ala berfirman :

فآ نكحوا ماطا ب لكم من النساء مثنى و ثلث وربع

Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (An-Nisa: 3)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وأ نكحوا الأ يمى منكم والصلحين من عباد كم وإمائكم

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yan perempuan.” (An-Nur:32)

Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج , ومن لم يستطع فعليه با لصوم فإنه له وجاء .

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya ia menikah. Dan barangsiapa yang belum memiliki kemampuan, maka hendaknya ia berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني

Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka. Aku shalat dan istirahat. Dan aku menikahi perempuan-perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, ia bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya kaum muslimin pada umumnya dan para Ulil Amri pada khususnya memiliki kewajiban untuk mewujudkan sunnah ini dan memudahkannya. Sebagai pengamalan terhadap apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

إذ أتا كم من تر ضون خلقه ودينه فزوجوه , إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض .

Kalau ada seorang yang akhlak dan agamanya kalian ridhoi, maka nikahkanlah ia. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” ( HR. At-Tairmidzi 1085. ia berkata: hadits hasan ghorib )

Kemudian Muslim meriwayatkan di dalam Shahihnya, begitu juga Abu Dawud dan An-Nasa’I, dari hadits Abu Salamah bin Abdurrahman radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata: aku telah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “ Berapakah mahar (yang diberikan oleh) Rasulullah ?” Aisyah berkata: “ Mahar beliau untuk istri-istri beliau adalah dua belas uqiyah dan nasy.” Aisyah berkata: “ Apakah kamu tahu apa itu nasy ?” Aku katakan, “Tidak.” Aisyah berkata: “ setengah uqiyah,. Jadi semuanya adalah lima ratus dirham.

Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : “ Aku tidak pernah tahu jikalau Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menikahi istri-istri beliau, ataupun menikahkan putrid-putri beliau, dengan mahar lebih dari dua belas uqiyah.” At-Tirmidzi berkata: hadits hasan ghorib

Dan telah tsabit di dalam Ash-Shahihain dan selainnya, dari Sahl bin Sa’d Al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menikahkan seorang wanita dengan pria miskin yang tidak memiliki sedikitpun harta dengan mahar hafalan Al-Qur’an yang ia miliki.
Imam Ahmad, Al-Baihaqi serta Al-Hakim, meriwayatkan bahwa antara keberkahan seorang wanita adalah dimudahkannya perkara maharnya. Meskipun terdapat sunnah yang begitu jelas dari perkataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ini, namun banyak orang terjatuh di dalam hal-hal yang menyelisihinya. Sebagaimana mereka juga melanggar perintah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya di dalam membelanjakan harta untuk perkara-perkara yang tidak semestinya. Allah Ta'ala telah mengingatkan kita di dalam Kitab-Nya yang mulisa tentang berlebih-lebihan dan boros

ولا تبذرتبذ يرا إن المبذرين كانوا إخون الشيطين وكا ن الشيطن لر به كفورا

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” ( Al-Isra': 26-27 )

Dan Allah Ta'ala juga berfirman:

ولا تجعل يدك مغلو لة إلى عنقك ولا تبسطها كل البسط فتقعد ملوما محسورا

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” ( Al-Isra': 29)

Allah Ta'ala telah memberitahukan bahwa di antara sifat kaum mukminin adalah mengambil sikap pertengahan di dalam membelanjakan harta. Allah Ta'ala berfirman:

والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

وأنكحوا الأ يمى منكم والصلحين من عبادكم وإما ئكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله وسع عليم

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)lagi Maha mengetahui.” (An-Nur: 32)

Jadi Allah Ta'ala memerintahkan untuk menikahkan orang-orang yang sendirian secara mutlak. Agar “orang-orang yang sendirian” ini juga mencakup orang yang kaya dan orang yang miskin secara umum. Ia pun menjelaskan bahwa kefakiran itu tidak menghalangi seseorang untuk menikah. Karena rezeki itu ada di tangan Allah Ta'ala. Dan Ia Maha Kuasa untuk mengubah keadaan orang yang fakir ini sehingga menjadi kaya. Kalau syariat islam telah memberikan dorongan untuk menikah dan menganjurkannya, maka kaum muslimin hendaknya segera melaksanakan perintah Allah Ta'ala dan perintah Rasul-Nya dengan memudahkan urusan pernikahan dan tidak memberat-beratkan diri didalamnya. Dengan begitu, Allah Ta'ala akan memenuhi janji-Nyakepada mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “ Taatilah Allah berkenaan dengan perintah-Nya kepada kalian untuk menikah, maka Ia akan memenuhi janji-Nya untuk memberikan kekayaan kepada kalian.”
Dan dari Ibnu Mas'ud, ia berkata, “Carilah kekayaan didalam pernikahan.”

Maka wahai hamba-hamba Allah sekalian, bertakwalah kepada Allah Ta'ala terkait dengan diri-diri kalian sendiri dengan putri dan saudari kalian yang telah Allah Ta'ala limpahkan pengurusan mereka kepada kalian. Juga dengan orang-orang selain mereka serta saudara-saudara kalian sesama muslim. Berusahalah kalian semua untuk mewujudkan kebaikan didalam masyarakat, dan untuk mempermudah pertumbuhan dan perkembangannya, serta menyingkirkan sebab-sebab tersebarnya kerusakan dan kejahatan. Janganlah kalian menjadikan nikmat Allah Ta'ala atas kalian sebagai tangga untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Ingatlah selalu bahwa kalian akan dimintai tanggung jawab dan dihisab atas apa yang telah kalian perbuat sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

فوربك لنسئلنهم أجمعين. عما كانوا يعملون

Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)

Dan telah diriwaytkan dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau shalallahu 'alaihi wasallam telah berabda:

لن تزول قد ما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع : عن شبا به فيما أبلاه , وعن عمره فيما أفناه , وعن ماله من أ ين اكتسبه , وفيما أنفقه وعن علمه ماذا عمل به

Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat nanti sampai ia ditanya tentang 4 perkara: tentang masa mudanya, untuk apa ia habiskan. Dan tentang usianya, untuk apa ia gunakan. Kemudian tentang hartanya, dari mana ia dapat dan untuk apa ia belanjakan. Lalu tentang ilmunya, apa yang telah ia lakukan dengannya.” (HR. At-Tirmidzi, dari hadits Abu Barzah Al-Aslami. Dan At-Tirmidzi berkata: hadits hasan shahih.)

Dan bersegeralah untuk menikahkan putra dan putri kalian, mengikuti Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau yang mulia serta orang-orang yang menempuh petunjuk dan jalan mereka. Berusahalah untuk menikahkan orang-orang yang bertakwa dan dapat memegang amanah serta memiliki agama yang baik.
Bersikaplah sederhana di dalam mengeluarkan biaya pernikahan dan walimahnya. Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam menentukan kadar mahar, atau memberikan syarat harus menyerahkan hal-hal yang dapat memberatkan beban sang suami. Kalau kalian memiliki kelebihan harta, maka belanjakanlah untuk hal-hal yang baik dan berguna bagi orang lain, serta membantu para fakir miskin dan anak-anak yatim. Atau juga untuk keperluan dakwah kepada Allah Ta'ala, dan mendirikan masjid-masjid. Semua itu lebih baik dan lebih kekal ganjarannya dan lebih selamat di dunia ataupun di akhirat, daripada membelanjakan uang tadi untuk pesta besar-besaran atau menyombongkan diri di hadapan manusia dalam kesempatan-kesempatan seperti ini.

Siapapun yang berpikir untuk mengadakan pesta besar-besaran dan menghadirkan penyanyi-penyanyi di dalam pesta tersebut, hendaknya mereka ingat bahwa hal itu mengandung bahaya yang sangat besar. Dan dikhawatirkan dengan perbuatannya itu, ia termasuk orang yang kufur terhadap nikmat Allah Ta'ala dan dan tidak mensyukurinya. Ia akan menemui Allah Ta'ala dan Allah Ta'ala akan menanyakannya tentang segala apa yang telah ia perbuat. Maka hendaknya ia bersikap sederhana dalam hal tersebut, serta betul-betul memperhatikan untuk hanya mengadakan perkara-perkara yang memang dibolehkan oleh Allah Ta'ala di dalam pesta perkawinan itu. Tanpa perkara-perkara yang diharamkan.

Dan seharusnya para ulama dan penguasa kaum muslimin memiliki perhatian terhadap masalah ini serta berusaha untuk menjadi teladan yang baik bagi orang lain. Karena masyarakat akan mencontoh mereka dan mengikuti mereka di dalam hal kebaikan atau keburukan. Maka semoga Allah Ta'ala merahmati seorang yang menjadikan dirinya ebagai teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi kaum muslimin di dalam masalah ini dan yang selainnya.

Karena di dalam sebuah hadits yang shahih dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شىء

Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik di dalam islam, maka baginya pahala sunnah yang baik itu dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang tersebut.” (HR. Muslim)

Aku memohon kepada Allah Ta'ala semoga Dia Ta'ala mengaruniakan kaum muslimin taubat yang sungguh-sungguh dan amal shaleh, serta pemahaman di dalam agama, juga penerapan syariat yang suci ini di seluruh urusan kehidupan mereka. Agar semua urusan dan keadaan mereka menjadi baik, dan masyarakat mereka pun menjadi bahagia serta mereka selamat dari murka Allah Ta'ala dan sebab-sebab seksaan-Nya. Allah -lah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.


Wa shollallahu wa sallam 'ala 'abdihi wa rosuulihi Nabiyyina muhammadin wa aalihii wa shohbihii ajma'in.

(sumber: Mafasidul Mugholah fil Muhur)

di nukil dari majalah Akhwat Shalihah Vol.7/1431/2010. Hal. 15-19 untuk Ummu Zakaria