Wednesday, 15 December 2010

Sang ‘Ghuroba’ Remaja

[ Diceritakan oleh seorang remaja muslimah yang tinggal di lingkungan non Islami ].
Kisah ini menjadi pelajaran bagi para orang tua agar berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan anak-anaknya pada lingkungan sunnah. Mulai dari tempat tinggal hingga sekolah.
“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. [Hadits Muslim no. 145]
Saya tidak pernah merasa aneh saat masih bersekolah di TK -saya pikir saya masih terlalu kecil untuk memahaminya. Namun tak sampai di kelas satu, saya mulai merasakan perbedaan. Ketika teman-teman saya berada di kelas musik, saya tetap bertahan di kelas kami. Saya duduk di meja saya sambil menatap kertas kepunyaan guru, bertanya-tanya mengapa saya tidak bersama dengan yang lain. Ya, saya paham bahwa musik itu haram… tapi mengapa “aku” menjadi berbeda dengan yang lain?


Saya bertanya dengan pertanyaan itu berulang-ulang. Kenapa AKU? Sebulan kemudian saya merasa sedih melihat teman-teman sekolah berjalan berbaris dengan bangga di dalam ruangan hingga ke luar -dalam kostum labu, kucing, penyihir, hantu- membenci fakta bahwa aku seorang muslim yang harus berbeda. Natal, Thanksgiving, Valentine, dan Paskah tidak ada yang berbeda. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, semuanya sama.
Di rumah, setelah sekolah, saat bersama-sama dengan teman-teman Muslim di kota Iowan, perasaan itu akan hilang, dan aku berpikir pada diri sendiri bahwa menjadi seorang muslim adalah hal terbaik dalam hidup. Bukankah ayah saya menceritakan kisah Nabi Ibrahim (‘alaihissalam) tadi malam? Orang yang pada awalnya hanya sendirian dengan keislamannya. Hingga ia dapat mengenal Allah. Dan bagaimana dengan kisah-kisa hebat, Umar yang bijaksana, baik hati, lembut, Abu Bakar yang jujur, takut pada Allah, Bilal yang berani. (Dibandingkan) dengan mereka yang Santa Clause, St. Valentines, dan kelinci-kelinci Paskah?


Mereka berterima kasih melalui Thanksgiving kepada Tuhan mereka, (sedangkan) kita (berterima kasih) sepanjang tahun. Tapi begitu di kelas, dikelilingi oleh teman-teman saya sesama siswa, saat mereka berceloteh dengan semangat tentang apa yang mereka punya untuk Natal, atau kemana mereka pergi saat Paskah, kisah-kisah indah itu lenyap diganti dengan kebencian pahit terhadap agama saya.


Saat kelas lima, keadaan menjadi lebih baik. Saya menjadi lebih tua, mengerti lebih sedikit, tapi perasaan itu selalu ada. Khususnya menguat ketika aku harus memulangkan undangan pesta tidur atau pesta ulang tahun dengan sopan dengan alasan aku sangat sibuk di tanggal tersebut. Atau ketika, kadang-kadang pada akhir musim semi, teman sekelas akan bertanya-tanya mengapa aku tidak pernah memakai celana pendek atau rok mini.


Hingga sekitar kelas empat, teman-temanku kebanyakan laki-laki. Sejak awal saya telah belajar, jika tak benar-benar cocok maka akan susah untuk menjadi dekat dengan anak-anak wanita. Mereka selalu membentuk kelompok, terutama di awal-awal tahun, “kelompok khusus”. Dengan teman-teman anak lelaki, tak sama. Diam-diam aku berpikir bahwa umumnya gadis-gadis itu sangat membosankan dan anak laki-laki selalu lebih menarik. Tapi saat mereka di kelas 9 dan 10, anak-anak laki-laki mulai tertarik dengan kelompok anak-anak perempuan, begitu juga sebaliknya. Sehingga, sejak saat itu, saya benar-benar di luar kelompok. Saya cocok dengan tidak bergabung pada keduanya.

Aku mulai menggunakan jilbab pada saat itu. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, itu adalah salah satu hal terhormat yang saya lakukan. Aku pergi ke sekolah yang sama sejak kelas satu sehingga orang-orang telah mengenal saya. Tidak ada kejutan karena telah terbiasa melihat ibu saya yang datang dan pergi dengan menggunakan jilbab utuh dan menganggap bahwa suatu hari nanti saya juga akan menggunakannya. Hal itu menjadi mudah bagi saya karena saya tidak terlalu perhatian terhadap penampilan, berpakaian, rambut seperti halnya anak-anak remaja di awal usia 10 dan 11 tahun.

Selama musim panas sebelum kelas 6, kami pindah ke negara lain. Orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya di rumah (home schooling), tingkat pendidikan di negara ini tidak terlalu tinggi. Alhamdulillah, karena itu adalah salah satu pilihan terbaik yang pernah mereka buat. Hal ini memberikan saya satu tahun penuh untuk berpikir tentang saya sendiri dan alasan mengapa saya berada di bumi ini. Saya memiliki lebih banyak kesadaran dan pemahaman pada agama dan diri saya sendiri saat kelas tujuh, ketika karena tugas ayah saya, kami harus pindah lagi ke kota lain dan saya dimasukkan kembali ke sekolah umum. Kali ini aku ditempatkan di sebuah sekolah yang didominasi bangsa Afrika-Amerika (memiliki program bahasa, Bahasa Arab merupakan salah satu yang diajarkan), benar-benar berbeda dari sekolah “kulit putih” yang telah saya masuki selama ini. Alhamdulillaah, perubahan itu menjadi lebih baik – mereka lebih banyak menerima kaum minoritas dan perbedaan di sekolah itu. Itu bukanlah satu-satunya “perubahan untuk yang lebih baik”. Kali ini masalahku bukanlah membenci mengapa aku menjadi beda. Sekarang ada perubahan dalam diriku. Aku benci dengan cara-cara teman sekelasku bertindak, hal-hal yang mereka bicarakan, cara mereka berpakaian. Intinya adalah, aku benci dengan kaum kufaar tersebut. Akhirnya, aku mencintai menjadi berbeda.

Tahun tersebut merupakan tahun terakhir saya di sekolah umum. Orang tua saya memutuskan untuk memberikan saya home schooling, akhirnya menyadari sepenuhnya dampak dari sekolah umum. “Aku tak perlu menjadi berbeda lagi.” Aku ingat bagaimana aku begitu bersemangat menulis dalam jurnal saat di awal kelas delapan. Sedikitnya yang kutahu.

Tahun berikutnya kami pindah ke kota dengan komunitas Muslim cukup besar. Aku benar-benar senang, berpikir bahwa sekarang, sejak sekian lama, saya akan berada di tempat yang seharusnya saya berada. Saya merasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dan … tapi hanya sebagian, sedikit kurang.
Dari sekarang hingga nanti, saat saya bercerita dengan Muslim lainnya tentang pelarangan musik, atau mengapa kita tidak boleh pergi ke bioskop, atau mengapa lebih baik menggunakan jilbab dibandingkan hanya memakai rok panjang dan kemeja, atau mengapa kita harus mengikuti sunnah Nabi (shalallahu ‘alaihi wa sallam) tidak hanya Al-Qur’an, dan tiba-tiba aku mendapatkan pang, “Aku begitu berbeda, begitu aneh! Mengapa??” Kadang-kadang, ketika aku sedang duduk bersama sekelompok teman-teman muslimah seumuranku lainnya, berbicara, mungkin tertawa dan bercanda. Ketika percakapan, entah bagaimana, tiba-tiba berubah menjadi Will Smith, Madonna, tips make-up terbaru dalam (majalah) Seventeen. Tiba-tiba udara dingin seakan-akan mengalir dalam tubuh saya, saya merasa seolah-olah mereka semua satu dan aku berada di sisi lain. “Sekarang aku berada di kalangan umat Islam tapi aku masih menjadi orang luar,” pikirku saat melihat mereka.

Tapi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika aku membenci siapa aku karena aku berbeda. Sekarang aku tersenyum dan menemukan kekuatan dalam mengingat kata-kata Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wa sallam).

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. [Hadits Muslim no. 145]
-Anonymous 16 tahun Muslim, TX

- shalihah.com -

Sumber asli So Strange!
***artikel Ummu Zakaria***

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment