Penulis: Pengasuh Rubrik Muslimah Bertanya
Apakah batasan kufu dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan?
Dianwati
ummuyusuf@myquran.com
Dianwati
ummuyusuf@myquran.com
Jawab:
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Beliau rahimahullah berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)
“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun.”
Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.
Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul Ma‘ad, 4/22) .
Related Post :
MUNAKAHAT
- Menuntut Kesempurnaan ?
- Baru Talaq Satu dan Dua, Jangan Segera Berpisah, Ia Masih Istrimu!
- Dunia tak hanya milik berdua
- Suami Sejati : "Surat dari Suami Buat Para Suami"
- Wasiat Seorang Ibu Kepada Putrinya Yang Akan Merasakan Mahligai Malam Pertama
- Wahai Sepasang Suami Istri, Di mana Cinta Itu?
- Kehidupan Baru untuk Sang Putri
- Malam Pertama
- Apakahkah Suami Istri Kembali Bersatu Di Surga Kelak?
- Bolehkah Nazhor Diulangi ?
- Nasehat tentang Mahar dan Pesta Pernikahan
- Peran Suami dalam Rumah Tangga
- “ Surat dari Suami Untuk Para Istri ”
- Indahnya Rumah Tangga di Bawah Naungan Manhaj Nubuwwah
- Menjamak Shalat Karena Jadi Penganten
- Faedah Menikah di Usia Muda
- Dengan Islam, Kubidik Kebahagiaan Rumah Tanggaku
- Tanya Jawab: Aku Tak Percaya Diri
- Kutunggu Pinanganmu
- Siapakah Mahrammu?
- Menolak Pinangan Tanpa Alasan
- Bekal-Bekal Menuju Pernikahan Sesuai Sunnah Nabi
- Nasihat Pernikahan untuk Putriku
- Nasehat bagi wanita yang terlambat menikah
0 komentar:
Post a Comment