Thursday, 30 October 2014

Suatu Waktu Nanti...


Suatu hari nanti, kalian semua akan jatuh cinta tanpa dibuat-buat.
Tanpa perasaan posesif kekanak-kanakan atau rasa ingin pamer kasih sayang yang berlebihan.
Akan kalian temui seseorang yang membuat kalian jatuh hati tanpa alasan.
Yang membuat kalian tidak takut pada jutaan omong-kosong soal sakitnya patah hati.
Yang membuat kalian sudi menjadi diri kalian sendiri.
Tidak dengan ucapan manis atau perilaku yang berpura-pura.
Kalian akan jatuh cinta dengan seadanya, tetapi juga dengan segalanya.
Kalian akan jatuh cinta dan berani mempertanggung-jawabkannya.
Bukan dengan pujian palsu atau rasa kagum sesaat.
Tetapi dengan tatap mata dan rasa saling percaya.

Suatu waktu nanti akan ada seseorang yang datang.
Dan membuat kalian jatuh cinta tanpa alasan.
Yang akan kalian jadikan prioritas.
Bukan sekedar kalian banggakan di media sosial tetapi kalian bohongi di kehidupan nyata.

Suatu hari nanti, kalian akan bertemu seseorang.
Yang akan mendengarkan cerita kalian di sisa hidupnya.
Yang akan membuat kalian paham benar apa itu arti kata sayang..
Yang membuat kalian tidak sabar untuk menghabiskan hari tua bersama, berdua, tanpa ragu..
Tanpa sempat terpikir untuk berpindah ke lain hati...

Source: Chynatic

Saturday, 25 October 2014

Bagaimana Seharusnya Lelaki Shalih Memperlakukan Istrinya?


Al Hasan bin Ali Rahimahullah pernah berkata kepada seorang laki-laki:
"Nikahkanlah putrimu dengan laki-laki yang bertaqwa. Sebab jika laki-laki itu mencintainya, maka ia akan memuliakannya. Dan jika tidak menyukainya, maka ia tidak akan menzhaliminya."
Laki-laki yang memiliki keistimewaan karena keshalihan dan akhlaknya, tentu mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, menjaga diri dan agamanya..
Tidak menyuruhnya tabarruj dan bepergian, tidak menyuruhnya bergaul dengan kaum laki-laki.. Tetapi ia meletakkannya di atas manhaj Nabi Shalallaahu Alaihi wa Sallam.
Jika ia merasa ada kekurangan pada diri istrinya, maka ia akan mengingat sabda Nabi,
"Berkehendaklah yang baik terhadap wanita.."
Ia akan mencari mana yang terbaik, lalu memperlakukan istrinya dengan cara yang baik. Jika ia merasa ada kekurangan pada diri istrinya, lalu ia tidak menyukainya, maka ia segera mengingat sabda Beliau..
"Janganlah seorang Mukmin laki-laki membenci Mukminah. Jika ia tidak menyukai sebagian akhlaknya, tentu ia meridhai akhlaknya yang lain."
Dengan begitu ia akan mampu menguasai gejolak di dalam dirinya dan bisa menerima kekurangan isterinya. Akhirnya mereka berdua menjadi pasangan yang berbahagia, bernaung di atap rumah tangga yang memancarkan kebahagian dan kebaikan.

[Dari buku ‘Bagaimana Menjadi Istri Sholihah dan Ibu yang Sukses’, Ummu Ibrahim Ilham Muhammad Ibrahim, Darul Falah] 

~Chynatic~

Catatan Untuk Para Ayah


Ketika seorang suami menyakiti hati istrinya,
maka secara tidak langsung ia juga telah menyakiti anak-anaknya.
Betapa banyak kita jumpai kasus seorang wanita yang tersakiti oleh suaminya,
lantas amarahnya ia lampiaskan kepada anak-anaknya.
Memukul, berkata kasar, menyiksa, mengabaikan perasaan mereka…
Bahkan sampai ada yang tega membunuh anak-anaknya.
Wal’iyadzubillah …

Catatan untuk para Ayah:
Ingin membahagiakan anak? Bahagiakan dulu ibu mereka…

Thursday, 16 October 2014

Keutamaan ilmu


Allah Suhabanhu wa ta’ala berfirman:

 يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(Al-Mujadilah; 11)

Orang yang menuntut ilmu adalah orang yang dimuliakan oleh Allah subhanu wa Ta’ala dan akan diangkat derajatnya oleh Allah Ta’ala. 

Untuk bisa menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang berilmu ya kita harus belajar, ga mungkin orang itu lahir dalam keadaan berilmu, ga mungkin.

ان الانسان لم يولد عالما
Innal insana lam yuu ladi ‘aaliman
Sesungguhnya manusia tidak dilahirkan dalam keadaan berilmu, ini perkataan seorang sahabat. 

Semua manusia lahir dalam keadaan jahil, dalam keadaan bodoh, dalam keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian Allah memberikan ilmu kepada mereka. 
Untuk mendapatkan ilmu itu harus belajar.

Ilmu yang dimaksud qala Allah, qala Rasul wa qala Sahabah. Ilmu yang dimaksud adalah apa yang Allah katakan, apa yang rasul katakan kemudian dijelaskan oleh para sahabat.
Ini yang kita kenal dengan al-manhaj, cara bersikap beragama yang benar yang kita ambil dari orang-orang yang terdahulu (generasi terbaik dari umat ini) yang masuk dalam firman Allah, bahkan kepada mereka pertama kali Allah berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
kuntum khairan ummatin ukhrijat linnaas
"Kamulah sebaik-baik manusia yang Allah bangkitkan, sebaik-baik umat yang Allah bangkitkan, keluarkan, untuk manusia."
(Ali Imran; 110)
Para sahabat ridhwaanullaah 'alaihim jamii'an adalah generasi terbaik dari umat ini.


Dan Nabi menyambut orang-orang yang belajar ilmu syar’ i marhaban bi tholibil ilmi, selamat datang bagi orang-orang yang datang untuk menuntut ilmu syar’i.
Dan orang yang menuntut ilmu syar’i  Allah akan mudahkan jalannya ke surga kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا,سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّة
wa man salaka thariiqaan yaltamisu fiihi 'ilmaan, sahalallahu lahu thariqaan ilal Jannah
Barangsiapa yang berjalan untuk  menuntut ilmu, Allah akan mudahkan jalannya ke surga.
Hadits ini shahih di riwayatkan oleh Imam Muslim.


Source: Jeda Rodja - Keutamaan ilmu

Info Kajian: "Muda Foya-Foya, Mati Masuk Surga" - Ustadz Nuzul Dzikri, Lc (24 Dzul Hijjah1435H / 19 Oktober 2014)


"Saat kecil aku mau dimanja..
Ketika beranjak muda inilah saatnya foya foya..
Menginjak usia tua aku harus sudah kaya raya..
Adapun ketika aku mati, bisa masuk surga.."
Slogan yang tidak asing lagi ..right ??

Hidup hanya sekali. Mengapa kita harus bersedih dan hidup dalam kepayahan jika bisa terus bersenang senang. Bukankah kita masih mengingat akhirat dengan mendambakan surga? Ya benar, kebahagiaan dunia dan akhirat lah yg kita kejar. Maka barangkali tak ada salahnya jika kita tanamkan sebuah slogan hidup seperti diatas.

Maka, Yuk Bismillah, Majelis Ta'lim The Strangers Al-Ghuroba mengajak rekan rekan sekalian jamaah kaum muslimin dan muslimat dimanapun kalian berada untuk menghadiri,
Kajian dan dialog Ilmiah bersama USTADZ MUHAMMAD NUZUL DZIKRY LC.

AHAD, 19 OKTOBER 2014 / 24 Dzulhijjah 1435 H
Pukul 13:00 - selesai

Karena sebagaimana kamu menginginkan untuk merasakan kebahagiaan dan kesenangan hidup yang berkepanjangan tersebut, aku juga menginginkannya, dan kita semua menginginkannya. Maka Insya Allah pertemuan kita nanti bertajuk, "Muda Foya-Foya, Mati Masuk Surga"

Kalian ditunggu di:
MASJID NURUL IMAN - BLOK M SQUARE lt.7 (fasilitas ruangan AC)
Jakarta Selatan

Cp : 0812-121-010-85 dan 0813-8046-888-6

Saturday, 11 October 2014

Tentang Cinta


Cinta yang terpuji adalah cinta yang bermanfa’at.
Cinta tersebut akan menarik hal-hal yang bermanfa’at bagi pelakunya, baik di dunia maupun akhirat.
Cinta semacam ini merupakan inti kebahagiaan.
Sebaliknya, cinta yang tercela adalah cinta yang menarik hal-hal yang membahayakan pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, sekaligus merupakan inti kesengsaraan.


[ Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab Ad Daa’ wa Ad Dawaa’ halaman 474 ]

Taman-Taman Kematian


Awal kehidupan manusia..
Engkau menangis
Lalu semua perbuatanmu ditulis,
Dalam catatan amalan dan akhirnya catatan itupun ditutup
Engkaupun pergi menuju akhir dari kehidupan duniamu


Taman-taman kematian...
Tantangan tebesar, Allah menantang semua manusia dengannya
Mereka semua tak berdaya menghadapi tantangan dzat yang Maha Perkasa..


      قُلۡ فَادۡرَءُوۡا عَنۡ اَنۡفُسِكُمُ الۡمَوۡتَ اِنۡ كُنۡتُمۡ صٰدِقِيۡنَ‏

"Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar".
(Ali Imran: 168)

Kematian adalah pintu dan semua orang akan memasukinya...
Apakah seseorang akan berada di surga ?


إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
"Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa."
(Al Qamar: 54-55)


Ataukah dia berada di neraka ?

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلالٍ وَسُعُرٍ
يَوْمَ يُسْحَبُونَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ذُوقُوا مَسَّ سَقَرَ

"Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): 'Rasakanlah sentuhan api neraka'."
(Al Qamar: 47-48)

Disana ada orang-orang yang bergembira dengan kedatangannya
Mereka adalah kaum yang yakin tidak ada tempat lari dari kematian
Merekapun datang menyambutnya, sebelum kematian itu datang menjemput mereka..
Mereka gembira bertemu dengan Allah, maka Allah pun gembira bertemu dengan mereka..
Mereka tukar kehidupan dunia yang fana dengan jihad di jalanNya

Maka, apakah balasannya?



وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ



"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki."
(Ali Imran: 169)

Taman-taman kematian...
Akan tetapi, disana ada pemandangan lain
Mereka adalah ahli maksiat dan kezhaliman yang menghabiskan waktu dengan kesia-siaan
Kesenangan dunia telah melalaikan mereka
Tidak ada yang menunggu mereka selain adzab dan sengsara disebabkan jauhnya mereka dari dzikir kepada Allah


يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

"Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul".
(Al-Ahzab: 66)

Dimanakah orang-orang yang dulu pernah tinggal di dunia?
Bukankah mereka sedang berada disebuah liang sendirian?
Bukankah mereka sedang berada disebuah bilik kegelapan?
Bukankah mereka sedang terkubur tanah yang dipadatkan?
Benar.. mereka telah pergi, dan kitapun akan mengikuti. 
Sungguh, dia akan memanggil kita...
Sebagaimana dia telah memanggil mereka...

Dialah.. Taman-taman kematian...

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati, Kami mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami."
(Al Anbiyaa: 35)



Source: Jeda Rodja Taman-Taman Kematian

Thursday, 9 October 2014

Sebuah Ruang Berdindingkan Ketenangan


Ditulis oleh Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
            Dengan kecepatan sedang,sebuah mobil Avanza berwarna hitam menemani kami menyibak jalur yang cukup padat ke arah kota Surakarta. Sisa-sisa kegembiraan kaum muslimin setelah berbuka puasa selepas maghrib hari itu masih nampak hangat terasa. Malah,semakin dekat dengan lokasi rumah saya, seolah jalan semakin menyempit karena kesibukan kaum muslimin untuk berangkat taraweh. Namun, kecepatan mobil tetap sedang.
            Hanya kami berdua di dalam Avanza hitam itu. Saya dan seorang sopir yang “bertugas” antar jemput. Sopir mobil ternyata bukan sembarang sopir. Sopir itu, dalam kesehariannya adalah kepala bidang ekonomi di BAPEDA sebuah kabupaten yang cukup luas wilayahnya. Saya juga sempat terkejut dan berpikir,”Luar biasa bapak ini! Mau-maunya melakukan tugas antar jemput”.
            Nah, di celah-celah sempit dari ruang waktu yang ada antara Polokarto-Sukoharjo ada selembar diskusi menarik antara saya dan bapak itu. Kata-kata dari bapak itu sangat tersusun rapi dengan nada dan intonasi yang memancarkan ketulusan. Sampai-sampai, kata-kata tersebut mampu memecahkan kebekuan hati. Sungguh!
            “Ustadz, saya senang sekali mendengarkan bacaan Al Qur’an. Saya dapat merasakan keteduhan. Kadang-kadang saya menangis sendiri jika menikmati bacaan tartil Al Qur’an. Sungguh-sungguh memberikan keteduhan!”
            Kata-kata di atas kemudian terngiang terus di telinga. Memang benar,Al Qur’an bisa memberikan keteduhan dan ketenangan. Saya pikir tidak semua orang telah mencapai tingkatan seperti sang “sopir” dalam penggalan kisah di atas.  Saya yakin, belum tentu setiap orang berhasil merasakan keteduhan dengan sebab bacaan Al Qur’an. Bagaimana dengan Anda?
            Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits di dalam shahihnya dari sahabat Al Bara’ bin ‘Azib;
            “Malam itu ada seorang sahabat membaca surat Al Kahfi. Di dekatnya ada seekor kuda miliknya yang diikat dengan dua utas tali cencang. Kemudian, ada segumpal awan tipis turun menaungi. Awan tipis itu terus berputar bergerak turun, sementara kuda miliknya melompat-lompat seolah ingin lari.
            Keesokan hari, sahabat tersebut datang menemui nabi Muhammad dan menceritakan peristiwa semalam. Setelah itu Rasulullah bersabda,
تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ
“Itu adalah keteduhan yang turun karena Al Qur’an”[1]
            Kejadian nyata yang dialami sahabat nabi di atas sejatinya menjadi sebuah jawaban penting untuk kita yang selalu bertanya dan mencari-cari jawaban, Di manakah aku bisa hidup tenang? Kemanakah aku akan mencari sebuah keteduhan?”.
            Apalagi saat kejenuhan telah menjajah hati dan pikiran. Urusan dunia yang menumpuk laksana sebuah menara memang tiada pernah ada akhirnya. Berkutat dan terus berkutat dengan masalah. Walau hidup tak mungkin bebas dari masalah namun kita pasti memiliki titik nadir dari semangat. Di situlah letak penting sebuah keteduhan. Lalu, di manakah kita akan mendapat keteduhan?
            Sabda nabi Muhammad di atas semestinya menyadarkan kita, jika Dzat yang telah menciptakan manusia tentu Maha Mengetahui kelemahan dan kebutuhan hamba Nya. Allah mengetahui,dengan ilmu Nya yang sangat luas, bahwa kita pasti sering mengalami kejenuhan dan kebosanan hidup. Kita membutuhkan ketenangan dan keteduhan. Dan Allah telah memberikan jalan.
            Membaca Al Qur’an pasti menghadirkan ketenangan. Mendengarkan bacaan Al Qur’an tentu menaungkan keteduhan. Percaya ataukah tidak seperti itulah faktanya! Cobalah, tentu Anda akan merasakannya!
            Usaid bin Khudair,seorang sahabat,pagi-pagi benar telah menemui Rasulullah. Ia menceritakan kepada Nabi jika semalam telah melihat semacam bayangan, di dalamnya seperti pelita-pelita bercahaya. Lalu bayangan tersebut naik membumbung tinggi ke angkasa hingga tidak terlihat lagi. Peristiwa itu terjadi saat Usaid bin Khudair sedang membaca Al Qur’an.
            Lihatlah jawaban dan keterangan nabi Muhammad! Beliau yang berbicara atas nama wahyu langit.
          تِلْكَ الْمَلَائِكَةُ كَانَتْ تَسْتَمِعُ لَكَ وَلَوْ قَرَأْتَ لَأَصْبَحَتْ يَرَاهَا النَّاسُ مَا تَسْتَتِرُ مِنْهُمْ
            “Itu adalah para malaikat yang turut mendengar engkau membaca Al Qur’an. Seandainya engkau terus membaca sampai pagi,pasti orang-orang akan mampu menyaksikan malaikat-malaikat itu. Mereka tidak akan bersembunyi dari manusia”[2]
Subhanallah!
            Malaikat pun turut hadir untuk mendengarkan Al Qur’an.
            Boleh-boleh saja kita bertanya,”Tidakkah hal ini khusus untuk sahabat? Bukankah yang semacam ini hanya ada di zaman nabi? Apa mungkin terjadi pada kita yang hidup di akhir zaman?”.Ya, pertanyaan semacam ini wajar sekali.
            Imam An Nawawi menerangkan bahwa hadits di atas adalah dalil tentang keutamaan membaca Al Qur’an. Qira’atul qur’an juga menjadi sebab turunnya rahmat dan hadirnya para malaikat.
            Hanya saja,apakah bacaan kita seperti bacaan Usaid bin Khudair? Baik keindahan maupun benar tidaknya kita mengucapkan huruf dan ayat-ayat Al Qur’an? Seandainya di dalam membaca Al Qur’an sudah benar dan indah bacaan kita bahkan mampu menghayati dan meresapi setiap maknanya, barangkali kita bisa berharap.
            Namun, sudah benarkah Anda dalam membaca Al Qur’an? Benar-benar indahkah bacaan Anda? Silahkan menjawab sendiri.
            Bisa juga kita mengukur kebenaran iman dari bacaan Al Qur’an. Caranya? Sangat mudah. Mampukah kita merasakan ketenangan dan keteduhan di hati dengan membaca Al Qur’an? Itu saja.
            Allah berfirman,
  الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)
                 Maha benar firman Allah! Tidak setitik pun ada ragu di dalam hati. Dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Dzikrullah banyak macam dan bentuknya, salah satunya adalah dengan membaca Al Qur’an. Bahkan,membaca Al Qur’an menjadi pilihan terbaik hamba untuk mengingat rabbnya.
            Sedih. Di satu sisi berbahagia.
            Sedih? Melihat kenyataan saudara-saudara kita yang “salah” jalan untuk mencari ketenangan hati. Banyak pilihan memang tapi hanya ketenangan semu. Sementara waktu saja sifatnya. Bukannya memberi ketenangan malah justru menambah kegelisahan.
            Masih ingat dengan cerita seorang pilot yang memakai shabu-shabu? Ternyata itu bukan cerita baru. Para pelatih dan pendidik siswa penerbangan turut mengamini tentang adanya kemungkinan itu terjadi. Sebab, di udara,seorang pilot pesawat memiliki beban dan tekanan tanggung jawab yang berat. Apalagi saat menghadapi cuaca ekstrem. Belum lagi jika memiliki masalah pribadi atau terkait keluarga. Oleh karena itu, secara berkala selalu dilakukan tes urine untuk para pilot pesawat.
            Apa pengakuan dari pilot yang menggunakan shabu-shabu itu? Ingin mencari ketenangan, biar teduh hatinya. Sayang, salah jalan.
            Bukan hanya pilot! Anak-anak muda sampai para pejabat, ada bahkan banyak di antara mereka yang memilih obat-obatan penenang untuk sekadar “terbang”,melupakan masalah. Namun,itukah jalan keluarnya? Tidak! Sekali lagi, mereka salah jalan. Astaghfirullah
            Pernah mendengar aksi bunuh diri? Sering. Ada yang akhirnya “berhasil” melakukan bunuh diri, ada juga yang gagal. Ada yang mengaku sendiri, entah melalui surat yang ditinggalkan atau melalui sms, juga ada yang berdasarkan penuturan teman dan kerabat. Kira-kira hampir semua beralasan ingin mengusir kegalauan,ingin mengakhiri penderitaan. Agar lebih tenang.
            Dusta! Itu bohong belaka. Agama tidak mengajarkan demikian. Agama membimbing dan mengarahkan kita untuk tegar dan tabah di dalam menjalani semua masalah dan problem. Bukan dengan jalan “pintas” menyesatkan ; bunuh diri.
            Untuk mencari ketenangan hati dan keteduhan jiwa serta pikiran,ada jalannya. Ingat-ingatlah Allah! Dekatkan diri kepada Nya! Bacalah firman-firman Nya! Anda pasti akan tenang.
            Di sisi yang lain, ada rasa bahagia.
            Sebab, kini kita sama-sama tahu jika dengan membaca atau mendengarkan bacaan Al Qur’an,hati pasti akan tenang dan jiwa pun tenteram.
            Sekarang, bersiap-siaplah untuk memasuki dan menikmati sebuah ruang yang beralaskan dan berdindingkan ketenangan! Baca dan dengarkanlah Al Qur’an!

[1] Muslim (795)
[2] Hadits Abu Said,Bukhari (5081) Muslim (796)
Source : Salafy or id

Nasihat Salamah bin Dinar kepada Khalifah


Pada tahun 97 H, khalifah Muslimin Sulaiman bin Abdul Malik menempuh perjalanan ke negeri yang disucikan, memenuhi undangan bapak para Nabi, yakni Ibrahim alaihis salam. Iring-iringan itu bergerak dengan cepat dari Damaskus, ibukota kekhalifahan Umawiyah, menuju Madina al-Munawarah.

Ada rasa rindu pada diri khalifah di raudhah nabawi yang suci dan rindu untuk mengucapkan salam atas Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rombongan tersebut disertai para ahli qurra’ (Ahli al-qur’an), muhadditsin (ahli hadits), fuqaha (ahli fiqih), ulama, umara dan para perwira.

Setibanya khalifah di Madinah dan menurunkan perbekalan, orang-orang dari para pemuka Madinah menghampiri mereka untuk mengucapkan salam dan menyambut kedatangan khalifah.

Akah tetapi Salamah bin Dinar sebagai qadhi dan imam kota yang terpercaya, ternyata tidak termasuk ke dalam rombongan manusia yang turut menyambut dan mengucapkan salam kepada Khalifah.

Setelah selesai melayani orang-orang yang menyambutnya, Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada orang-orang yang dekat dengannya, “Sesungguhnya hati itu bisa berkarat dari waktu ke waktu sebagaimana besi bila tidak ada yang mengingatkan dan membersihkan karatnya. Mereka berkata, “Benar, wahai amirul mukminin.” Lalu beliau berkata, “Tidak adakah di Madinah ini seseorang yang bisa menasihati kita, seseorang yang pernah berjumpa dengan para sahabat Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ada wahai amirul mukminin, di sini ada Abu Hazim al-A’raj.”

Beliau bertanya, “Siapa itu Abu Hazim?” Mereka menjawab, “Dialah Salamah bin Dinar, seorang alim, cendekia dan imam di kota Madinah. Beliau termasuk saslah satu tabi’in yang pernah bersahabat baik dengan beberapa sahabat utama.” Khalifah berkata, “Kalau begitu panggilah beliau kemari, namun berlakulah sopan kepada beliau.”



Para pembantu khalifah pun pergi memanggil Sulaiman bin Dinar.

Setelah Abu Hazim datang, khalifah menyambut dan membawanya ke tempat pertemuannya.

Khalifah: “Mengapa anda demikian angkuhnya terhadapku, wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Angkuh yang bagaimana yang anda maksud dan anda lihat dari saya wahai Amirul Mukminin?”

Khalifah: “Semua tokoh Madinah datang menyambutku, sedang anda tidak menampakkan diri sama sekali.”

Abu Hazim: “Dikatakan angkuh itu adalah setelah perkenalan, sedangkan anda belum mengenal saya dan sayapun belum pernah melihat anda. Maka keangkuhan mana yang telah saya lakukan?”

Khlaifah: “Benar alasan syaikh dan khalifah telah salah berprasangka. Dalam benakku banyak masalah yang ingin aku utarakan kepada anda wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Katakanlah wahai Amirul Mukminin, Allah tempat memohon pertolongan.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim mengapa kita membenci kematian?”

Abu Hazim: “Karena kita memakmurkan dunia kita dan menghancurkan akhirat kita. Akhirnya kita benci keluar dari kemakmuran menuju kehancuran.”

Khalifah; “Anda benar wahai Abu Hazim. Apa bagian kita di sisi Allah kelak?”

Abu Hazim: “Bandingkan amalan anda dengan kitabullah, niscaya anda bisa mengetahuinya.”

Khalifah: “Dalam ayat yang mana saya dapat menemukannya?”

Abu Hazim: “Anda bisa temukan dalam firman-Nya yang suci:


إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh keni'matan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Surah. Al-Infitar [82] : 13-14)

Khslifah: “Jika demikian, dimanakah letak rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala?”

Abu Hazim: (membaca firman Allah):


إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

“Sesungguhnya rahmat Allah itu amat dekat dengan mereka yang berbuat kebajikan.” (QS Al-A’raf [7]: 56)

Khalifah: “Lalu bagaimana kita menghadap Allah kelak, wahai Abu Hazim?”

Abu Hazim: “Orang-orang yang baik akan kembali kepada Allah seperti perantau yang kembali kepada keluarganya, sedangkan yang jahat akan datang seperti budak yang curang atau lari lalu diseret kepada majikannya yang keras.”

Khalifah menangis mendengarnya sampai keluar isaknya, kemudian berkata...
Khalifah: “Wahai Abu Hazim, bagaimana cara memperbaiki diri?”

Abu Hazim: “Dengan meninggalkan kesombongan dan berhias dengan muru’ah (menjaga kehormatan).”

Khalifah: “Bagaimana memanfaatkan harta benda agar ada nilai takwa kepada Allah I?”

Abu Hazim: “Bila anda mengambilnya dengan cara yang benar dan meletakkannya di tempat yang benar pula lalu anda membaginya dengan merata dan berlaku adil terhadap rakyat.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, jelaskan kepadaku siapakah manusia yang paling mulia itu?”

Abu Hazim: “Yaitu orang-orang yang menjaga muru’ah dan bertakwa.”

Khalifah: “Lalu perkataan apa yang paling besar manfaatnya?:”

Abu Hazim: “Perkataan benar, yang diucapkan di hadapan orang yang ditakuti dan diharapkan bantuannya.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, doa manakah yang paling mustajab?”

Abu Hazim: “Doa orang-orang baik untuk orang-orang baik.”

Khalifah: “Sedekah manakah yang paling utama?”

Abu Hazim: “Sedekah dari orang yang kekurangan kepada orang yang membutuhkan tanpa menggerutu dan kata-kata yang menyakitkan.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, siapakah orang yang paling dermawan dan terhormat?”

Abu Hazim: “Orang yang menemukan ketaatan kepada Allah  lalu diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.”

Khalifah: “Siapakah orang yang paling dungu?”

Abu Hazim: “Orang yang terpengaruh oleh hawa nafsu kawannya, padahal kawannya tersebut orang yang dzalim. Maka pada hakikatnya dia menjual akhiratnya untuk kepentingan dunia yang lain.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, maukah engkau mendampingi kami agar kami bisa mendapatkan sesuatu darimu dan anda mendapatkan sesuatu dari kami?”

Abu Hazim: “Tidak, wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah: “Mengapa?”

Abu Hazim: “Saya khawatir kelak akan condong kepada anda sehingga Allah menghukum saya dengan kesulitan di dunia dan siksa di akhirat.”

Khalifah: “Utarakanlah kebutuhan anda kepada kami wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim tidak menjawab sehingga Khalifah mengulangi pertanyaannya: “Wahai Abu Hazim, utarakan hajat-hajatmu, kami akan memenuhi sepenuhnya..”

Abu Hazim: “Hajat saya adalah selamat dan masuk surga.”

Khalifah: “Itu bukan wewenang kami, wahai Abu Hazim.”

Abu Hazim: “Saya tidak memiliki keperluan selain itu wahai Amirul Mukminin.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, berdoalah untukku.”

Abu Hazim: “Ya Allah bila hamba-Mu Sulaiman ini adalah orang yang Engkau cintai, maka mudahkanlah jalan kebaikan baginya di dunia dan di akhirat. Dan jika dia termasuk musuh-Mu, maka berilah dia hidayah kepada apa yang Engkau sukai dan Engkau ridhai. Amin.”

Salah satu hadirin berkata: “Alangkah buruknya perkataanmu tentang Amirul Mukminin. Engkau sebutkan khalifah muslimin barangkali termasuk musuh Allah ? Kamu telah menyakiti perasaannya.

Abu Hazim: “Justru perkataanmu itulah yang buruk. Ketahuilah bahwa Allah telah mengambil janji dari para ulama agar berkata jujur:


وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,"” (QS Al-Imran [3] : 187)

Beliau menoleh kepada Khalifah seraya berkata: “Wahai Amirul Mukminin, umat-umat terdahulu tinggal dalam kebaikan dan kebahagiaan selama para pemimpinnya selalu mendatangi ulama untuk mencari kebenaran pada diri mereka. Kemudian muncullah kaum dari golongan rendah yang mempelajari berbagai ilmu mendatangi para amir untuk mendapatkan suatu kesenangan dunia. Selanjutnya para amir itu tidak lagi menghiraukan perkataan ulama, mereka pun menjadi lemah dan hina di mata Allah . Seandainya segolongan ulama itu tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi para amir, tentulah amir-amir tersebut akan mendatangi mereka untuk mencari ilmu. Tetapi karena para ulama menginginkan apa yang ada di sisi para amir, maka para amir tak mau lagi menghiraukan ucapannya.”

Khalifah: “Anda benar. Tambahkanlah nasihat untukku wahai Abu Hazim, aku benar-benar tidak mendapati hikmah yang lebih dekat dengan lisannya daripada anda.”

Abu Hazim: “Bila anda termasuk orang yang suka menerima nasihat, maka apa yang saya utarakan tadi cukuplah sebagai bekal. Tetapi bila tidak dari golongan itu, maka tidak perlu lah aku memanah dari busur yang tak ada talinya.”

Khalifah: “Wahai Abu Hazim, aku berharap anda mau berwasiat kepadaku.”

Abu Hazim: “Baiklah, akah saya katakan dengan ringkas. Agungkanlah Allah  dan jagalah, jangan sampai Dia melihat anda dalam keadaan yang tidak disukai-Nya dan tetaplah anda berada di tempat yang diperintahkan-Nya.”

Setelah itu Abu Hazim mengucapkan salam dan mohon diri. Khalifah berkata, “Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai seorang alim yang suka menasihati.”


Sumber: Suwaru min Hayaati at-Tabi’in (edisi Indonesia), Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, At-Tibyan, hal. 163-168)


Source:Khayla.net

Al-Imam Ahmad bin Hanbal Tauladan dalam Semangat dan Kesabaran


Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam

Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah

Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.

Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.

Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu

Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).

Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.


Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:

1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.

2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.

3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.

4. Abdurrahman bin Mahdi.

5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.

Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin Ma’in.

Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”

Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”

Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan akhlaknya.

Beliau melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.

Pada umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.

Guru-guru beliau

Beliau menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats, Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.

Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.

Murid-murid beliau

Para ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah, Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.

Bahkan yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam Asy-Syafi’i.

Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).

Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.

Ahlak dan Ibadah Beliau rahimahullah

Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian bagaimana dia!”

Beliau adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan bulu tubuhnya.

Orang-orang yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.

Majelis yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara agama) beliau.

Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”

Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”

Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”

Beliau adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”

Abdullah mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).

Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.

Suatu hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”

Beliau telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.

Ujian yang menimpa beliau

Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.

Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.

Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.

Wafat beliau rahimahullah


Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.

Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.

Maraji’:

1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.

2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39

4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.

5. Siyar A’lamin Nubala

6. Al-Bidayah wan Nihayah

7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad