Thursday, 9 October 2014

Kisah Cinta Tak Sampai Mughits kepada Barirah

Ada sebuah kisah cinta yang menarik yang terjadi di masa ketika Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam masih hidup, tentang kehidupan antaraMughits dan Barīrah. Mereka berdua termasuk ṣahābat nabi, yang dulunya terikat pernikahan ketika mereka berdua masih menjadi budak. Kemudian, Ibunda kaum muslimin, ‘Aisyah, membeli Barīrah lalu memerdekakannya. Setelah itu, Barīrah diberikan pilihan, apakah ingin tetap bersama Mughīst, ataukah cerai karena dalam Islam terdapat ketetapan bahwa jika seorang budak wanita merdeka, ia punya hak untuk melanjutkan status pernikahan suami yang masih berstatus budak, atau memutuskan untuk meninggalkan suaminya tersebut. Lalu, Barīrah memilih cerai. Cerita ini dimuat dalam hadīts ṣahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhārī, sebagai berikut
Dari ‘Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu ‘anhumā, (ia berkata)
“sesungguhnya suami Barīrah adalah seorang budak.”
‘Ibnu ‘Abbas berkata tentang Mughīts,
“Aku ingat, tatkala hal itu terjadi, Mughīs mengikuti Barīrah kemana pun Barīrah pergi, sambil menangis dan air matanya mengalir deras hingga membasahi jenggotnya.”
Kemudian Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Abbas (Ayah‘Ibnu ‘Abbas) tatkala melihat kejadian tersebut,
“Wahai ‘Abbas, tidakkah engkau merasa takjub atas besarnya cinta Mughīs terhadap Barīrah, dan besarnya rasa benci Barīrah terhadap Mughīs ?”
Maka, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Barīrah,
“Bagaimana jika Engkau kembali pada Mughīs?”
Barīrah menjawab,
“Apakah ini perintahmu Wahai Rasulullāh?”
Nabi menjawab,
“Aku hanya memberi syafa’at (saran untuk ruju’).”
Kemudian Barīrah menjawab,
“Aku sudah tidak membutuhkannya lagi.”
Sungguh kisah yang sangat menarik, di dalamnya terdapat banyak faidah dan hikmah yang dapat diambil, yaitu:
  • Tentunya yang paling menarik adalah kisah cinta antara Mughīs dan Barīrah. Dapat kita lihat bahwa sangat besarnya cinta Mughīṡ kepada Barīrah, sampai-sampai saat Barīrah pergi, Mughīs mengikuti Barīrah dari belakang. Tidak sampai di situ, Mughīs mengikuti Barīrah dalam keadaan  air matanya bercucuran, hingga basahlah jenggotnya.
  • Sebuah kenyataan pahit yang dialami oleh Mughīs, padahal rasa cinta Mughīs begitu besar terhadap Barīrah, akhirnya kandas berujung perceraian. Terkadang rasa cinta yang dimiliki, tidak menyebabkan langgengnya suatu pernikahan. Terbukti bahwa besarnya rasa cinta Mughīs kepada Barīrah akhirnya tidak dapat mengalahkan besarnya rasa benci Barīrah kepada Mughīs.
  • Seorang yang sudah benar-benar jatuh cinta, dia akan melakukan apa saja, bahkan bisa dikatakan sebagai pengemis cinta, agar cintanya dapat diterima. Orang yang jatuh cinta, hatinya tidak ingin lepas dari orang yang ia cintai. Sungguh tersiksa hati orang yang sedang jatuh cinta, terjerat cinta. Ia akan selalu memikirkan orang yang ia cintai, meskipun orang yang ia cintai tidak memikirkannya, bahkan membencinya. Menyedihkan!
  • Mughīs dan Barīrah menikah ketika mereka sama-sama menjadi budak, sehingga diperbolehkannya sesama budak untuk menikah. Namun, ketika budak perempuan itu merdeka, ia memiliki hak pilih atas suaminya (yang masih menjadi budak), apakah tetap bertahan ataukah cerai. Hal ini juga mengisyaratkan adanya pertimbangan sekufu (selevel, pent.) dalam pernikahan karena Nabi memberikan hak pilih kepada Barīrah ketika ia dimerdekakan, sedangkan Mughīs masih berstatus budak.
  • Hadīts ini juga menceritakan betapa cerdasnya Barīrah. Ketika Nabi bertanya, ia menjawab apakah ini adalah perintah Nabi. Jika hal itu adalah perintah Nabi, mau tidak mau Barīrah harus mendengar dan taat. Ternyata Nabi hanya memberi saran agar ia ruju’ kepada Mughīṡ. Ini menunjukkan betapa besar semangat shahabat nabi dalam mematuhi perintah Rasulullāh ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam.
  • Di dalam hadīts ini, diketahui posisi nabi sebagai pemberi syafa’at (pihak penengah atau perantara). Dengan demikian, dibolehkan meminta bantuan “pihak penengah” untuk dimintai pertimbangan ketika hendak menikah. Pihak penangah ini bisa  seorang yang disegani oleh sang wali nikah, seperti kyai, ustādż, atau tokoh masyarakat yang disegani.
  • Faidah terakhir, tangisan Mughīs hingga membasahi jenggotnya menunjukkan bahwa para ṣaḥābat itu memelihara jenggot karena jenggot adalah perintah dari Rasulullāh. Rasulullāh ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
Selisihilah orang-orang musyrik! Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis!” (HR. Al-Bukhari)
Sumber: Pemudamuslim

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment