Segala puji bagi Allaah, salawat dan salam semoga selalu
terlimpah kepada Rasulullah. Amma
ba’du.
Seorang penuntut ilmu, tentu tidak menginginkan ilmunya hilang
begitu saja tanpa bekas. Terlebih lagi, jika yang hilang itu adalah keberkahan
ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menambah dekat dengan Allah ta’ala, namun
justru sebaliknya, wal
‘iyadzu billah…
Tidak sedikit, kita jumpai para penuntut ilmu syar’i yang
berusaha untuk mengkaji kitab para ulama, bahkan bermajelis dengan para ulama
dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, perkara ini adalah
sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokohnya ilmu
dalam diri setiap pribadi muslim, niscaya agamanya akan tertopang landasan yang
kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul
Mukminin dalam bidang hadits, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di
dalam Kitab Shahihnya yang menegaskan, “Ilmu
sebelum ucapan dan perbuatan.”
Begitu pula, perkataan Imam Ahlus Sunnah di
masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullahyang
sangat terkenal, “Umat
manusia sangat membutuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka
terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam
sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak
hembusan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali
al-Halabi hafizhahullah).
Akan tetapi, tatkala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami
itu tidak sampai meresap serta tertancap kuat ke dalam lubuk hati, maka justru musibah dan
bencana yang ditemui. Tidakkah kita ingat ungkapan emas para ulama salaf yang
menyatakan, “Orang-orang
yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan
dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada
dirinya terdapat kemiripan dengan Nasrani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah
al-Fatihaholeh Fadhilatusy
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa
yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jumpai. Itu bukanlah
dongeng atau cerita fiksi.
Saudaraku, semoga Allah menjaga diriku dan dirimu… Masih
tersimpan dalam ingatan kita, doa yang sepanjang hari kita panjatkan kepada
Allah, “Ya Allah, tunjukilah kami
jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas
mereka, dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula
orang-orang yang sesat (Nasrani).” Inilah doa yang sangat
ringkas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas
al-Harrani rahimahullah pun
menyebutnya sebagai doa yang paling bermanfaat, mengingat kandungannya yang
sangat dalam dan berguna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimurkai karena
mereka berilmu namun tidak beramal. Adapun kaum Nasrani tersesat karena mereka
beramal tanpa landasan ilmu. Maka, orang yang berada di atas jalan yang lurus
adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.
Dari sinilah, kita mengetahui, bahwa hakekat keilmuan seseorang
tidak diukur dengan banyaknya hafalan yang dia miliki, banyaknya buku yang
telah dia beli, banyaknya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyaknya ustadz atau
bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang
dibanggakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia,
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu wa ardhahu, “Bukanlah
ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah
khas-yah/rasa takut -kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya
Ibnul Qayyimrahimahullah).
Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat
keras dalam berjuang menggapai keikhlasan dan menaklukkan hawa nafsu serta
ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah,
beliau berkata, “Tidaklah
aku menyembuhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh
Syaikh Bakr Abu Zaidrahimahullahu
rahmatan wasi’ah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya setiap amal itu
dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas
apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan
Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau
perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa
yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ikhlas, bukanlah ucapan yang terlontar di lidah, huruf yang
tertulis dalam catatan, banyaknya harta yang telah kita sumbangkan untuk
kebaikan, lamanya waktu kita berdakwah, atau penampilan fisik yang tampak oleh
mata. Ikhlas adalah ‘permata’ yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang
merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah
kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan menjadi sebab terbukanya gerbang
ketentraman dan hidayah dari Allah ta’ala.
Allahta’ala berfirman
(yang artinya), “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik),
maka mereka itulah orang-orang yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82).
Allah berfirman (yang artinya), “Pada
hari [kiamat] tidak lagi berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang
menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya
Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi
yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa keikhlasan tak ada amal yang akan
diterima, Allahul musta’an.
Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kontemporer yang
sangat terkenal Syaikh al-Albani rahimahullah di
dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak menjadi orang yang memburu popularitas.
Beliau mengutip ungkapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh
zhuhur, “Menyukai
‘ketinggian’ akan mematahkan punggung.”Maknanya, gila
popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah berfirman
(yang artinya), “Berikanlah
peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna bagi orang-orang yang
beriman.” (QS.
adz-Dzariyat: 55).
Ikhlas -wahai
saudaraku- … adalah rahasia kesuksesan dakwah nabi
dan rasul serta para pendahulu kita yang salih. Berapapun jumlah orang yang
tunduk mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah
menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun
ayahnya sendiri produsen berhala, meskipun anaknya sendiri menolak
perintah Rabbnya, meskipun pamannya sendiri tidak mau masuk Islam yang
diserukannya, meskipun tidak ada pengikutnya kecuali satu atau dua saja, bahkan
ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang
mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikhlasan dan ketaatan
mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan
amalan yang mereka miliki. Allah ta’alaberfirman
(yang artinya), “Barangsiapa
yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan
kaum yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin,
syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)
Kalau kita memang ikhlas -wahai
saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita
mendapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain…
Kalau kita memang ikhlas -wahai
saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita
sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil
yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil
gara-gara niat.” (Jami’
al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah memberikan karunia
keikhlasan kepada kita...
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Post a Comment