Thursday, 24 January 2013

Kehidupan Baru untuk Sang Putri


Abdullah Ibnu Ja’far Radhiyallâhu ‘anhumaa 1) menasihati putrinya di saat pernikahannya, “Hati-hatilah dirimu dari cemburu yang tidak pada tempatnya karena itu adalah kunci perceraian. Hati-hati dari banyak mencela karena hal itu akan mewariskan kebencian. Selalulah ananda  memakai celak karena celak adalah perhiasan yang paling bagus. Dan wewangian yang terbaik adalah air.”
Seorang ibu pernah menasihati putrinya pada malam pengantinnya, “Haruslah ananda bersifat qana’ah, menerima apa adanya dan merasa cukup, mendengar dan taat kepada suamimu. Jagalah kehormatan dirimu dan harta suamimu. Bantulah dia dalam pekerjaannya. Lakukan apa yang membuatnya senang, jaga rahasianya dan jangan ananda langgar perintahnya.  Tutuplah kekurangannya. Jaga lisanmu. Perhatikan tetanggamu dan tetaplah kokoh dalam keimananmu.”
Dalam kitab Tuhfatul `Arus karya Mahmud Mahdi al-Istambuli (hlm 85-86) dibawakan nasihat indah yang mengharukan dari seorang ibu kepada putrinya sebelum pernikahan sang putri.
Ummu Mu’ashirah, demikian kuniah ibu tersebut, berkata kepada putrinya sambil tersenyum dan berlinang air mata, “Wahai putriku! Engkau akan menghadapi kehidupan yang baru. Kehidupan yang di dalamnya tidak ada tempat bagi ibumu, ayahmu, atau seorangpun dari saudara-saudaramu.

Engkau akan menjadi teman bagi seorang lelaki yang dia tidak ingin ada seorang pun menyertainya dalam memilikimu, sampai pun daging dan darahmu. Jadilah dirimu, wahai putriku, sebagai istri (yang baik) baginya dan jadilah engkau ibu baginya. Jadikanlah dia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam hidupnya dan segalanya bagi dunianya.
Ingatlah selalu bahwa lelaki itu, siapa pun dia, sebenarnya adalah anak kecil yang sudah besar sehingga sedikit saja kata yang manis sudah membuatnya senang. Jangan sampai engkau membuat dia merasa bahwa pernikahannya denganmu telah menghalangimu dari keluargamu dan kerabatmu. Sungguh, perasaan demikian terkadang menyergapnya. Dia juga harus meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karena dirimu. Hanya saja, perbedaan antara engaku dan dia adalah perbedaan antara perempuan dan lelaki. Perempuan selalu merindukan keluarganya, rumahnya tempat dia dilahirkan, tumbuh dan besar, dan tempat dia belajar banyak hal.
Akan tetapi, mau tidak mau dia memang harus membiasakan dirinya dengan kehidupan yang baru. Dia harus membentuk kehidupannya yang baru bersama seorang lelaki yang telah menjadi suaminya, menjadi seorang pemimpinnya dan ayah bagi anak-anaknya kelak.
Inilah duniamu yang baru.
Wahai putriku, inilah yang akan engkau hadapi sekarang. Inilah masa depanmu. Inilah keluargamu  yang akan menyertai kalian berdua -engkau dan suamimu- dalam membentuk kehidupan barumu.

Adapun ayah dan ibumu, keduanya adalah masa lalumu. Ibu tidak bermaksud memintamu untuk  melupakan ayah, ibu, dan saudara-saudaramu, karena mereka sendiri selamanya tidak mungkin melupakanmu, wahai sayangku! Bagaimana mungkin seorang ibu bisa melupakan buah hati, belahan jiwanya? Akan tetapi , yang  ibu minta darimu, cintailah suamimu, hiduplah menyertainya, dan berbahagialah dengan kehidupanmu bersamanya.”
Perhatikan nasihat di atas.  Adakah anda, wahai istri, telah mewujudkannya dalam kehidupan bersama seorang lelaki yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam
هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Dia adalah surgamu dan nerakamu” (HR. Ahmad  4/3412, an-Nasa’i no 8962, al-Hakim 2/206 dengan sanad yang sahih. Lihat Adabuz Zifaf hlm 214, dan Ash Shahihah no. 2612)


Catatan kaki :
1) Ia adalah putra dari pemilik dua sayap di surga, Ja’far bin Abi Thalib. Ia terhitung shigarush shahabah (sahabat kecil). Saat ia menjadi yatim karena ayahnya syahid di medan Mu’tah menghadapi Romawi, ia dipelihara oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan tumbuh dalam asuhan beliau. (Siyar A’lamin Nubala, 3/456)

Dikutip dari Majalah Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432 H/2011 hal. 90-91“Nasihat Pernikahan untuk Putriku”
Sumber : Permata Muslimah

Related Post :

0 komentar:

Post a Comment