-jika di lingkungan keluarga dan kerabat dilarang oleh orang tua, maka silahkan dilepas. Tetapi ketika keluar rumah silahkan memakainya.
-jika di kampus atau di kantor dilarang memakainya, maka silahkan dilepas. Tetapi ketika ke pasar dan ke tempat kajian silahkan memakainya.
Karena Islam mengajarkan tidak perlu menunda sesuatu karena ingin sempuna sekali. Jika hanya bisa meraih setengahnya maka jangan ditinggalkan semuanya. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah,
ما لا يدرك كله لايترك كله
“Sesuatu yang tidak bisa dicapai seluruhnya jangan ditinggal yang paling utama.”
Banyak jalan menuju surga
Jika ingin memakai cadar tidak mesti memakai cadar lengkap dengan purdahnya, kemudian memakai pakaian serba besar berwarna hitam. Karena tujuan cadar adalah menutup wajah yang merupakan salah satu bagian yang paling dinikmati oleh laki-laki, maka apapun yang digunakan untuk menutup muka maka boleh-boleh saja.
Misalnya slayer dan masker penutup muka. Para wanita bisa menggunakan slayer untuk menutup wajah mereka. Sehingga hampir mirip fungsinya dengan cadar. Dan kesan orang memakai slayer tentu berbeda kesan orang memakai cadar. Karena slayer sudah dianggap biasa di masyarakat kita. Akan tetapi fungsinya hampir sama dan bisa diniatkan untuk melaksanakan sunnah, yaitu menutup wajah.
Cadar bukan sekedar budaya Arab
Banyak sekali dalil dari Al-Quran dan sunnah menunjukan bahwa menutup wajah dengan cadar adalah ajaran Islam. Salah satunya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [ Al Ahzab: 59]
Di dalam kitab Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin ibn Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ibn Abi Bakrin as-Suyuthi rahimahumallahu dijelaskan,
وَهِيَ الْمُلَاءَة الَّتِي تَشْتَمِل بِهَا الْمَرْأَة أَيْ يُرْخِينَ بَعْضهَا عَلَى الْوُجُوه إذَا خَرَجْنَ لِحَاجَتِهِنَّ إلَّا عَيْنًا وَاحِدَة
“Pakaian besar yang menutupi perempuan, yaitu menjulurkan sebagiannya ke atas wajah-wajah mereka ketika keluar untuk suatu keperluan hingga tidak menampakkannya kecuali hanya satu mata saja.” [Tafsir Al-Jalalain hal. 437, Darus salam, Riyadh, cet. Ke-2, 1422 H]
Dan masih banyak sekali dalil yang lainnya.
Ajaran Islam menutup wajah sudah ada di Indonesia sejak dulu
Contohnya adalah di daerah kami, khususnya Bima dan Dompu provinsi NTB, yaitu apa yang dikenal dengan rimpu,adalah sejenis kain yang dilipat sedemikian rupa hingga menutup semua kepala dan wajah kecuali mata. Dan ini karena pengaruh Islam. 1
Begitu juga kami mendengar ada di suku-suku Sumatera yang memiliki budaya menutup wajah. Dan tentunya ini adalah pengaruh ajaran Islam.
Di Eropa juga demikian, dahulunya wanita bangsawan dan anggota kerajaan memakai cadar lengkap dengan purdahnya, tidak heran karena masih ada sisa-sisa ajaran samawi yang masih agak murni. Maka kita akan terkaget-kaget membaca dan melihat gambarnya karena sungguh sangat berbeda dengan Eropa sekarang. 2
Kemudian kami bawakan fatwa ulama sebuah wadah dakwah yang cukup berpengaruh di Indonesia dan sudah eksis sebelum kemerdekaan, yakni tentang membuka wajah pada wanita.
MUKTAMAR VIII NAHDLATUL ULAMA
Keputusan Masalah Diniyyah Nomor : 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933 Tentang
Hukum keluarnya wanita dengan terbuka wajah dan kedua tangannya
Pertanyaan : Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah haram atau makruh? Kalau dihukumkan haram, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat, ataukah tidak? (surabaya)
Jawaban :
Hukumnya wanita keluar yang demikian itu haram, menurut pendapat yang mu’tamad (yang kuat dan dipegangi – penj ). Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, apabila tidak ada fitnah.
Sumber : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar,Munas, dan konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 m), halaman123-124, pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.Ma Sahal Mahfudh; lajnah ta’lif wan nasyr (ltn) NU Jatim dan Khalista, cet.iii, Februari 2007
Bagi yang berdakwah dan berpegang teguh dengan ajaran NU, silahkan menggunakan fatwa ini.
II. Yang dikhawatirkan wanita jika bercadar dan jawabannya
Cadar meyebabkan dirinya menjadi wanita yang terbatas dan tertutup dari masyarakat
Ini tidak benar karena masalah tertutup dari masyarakat adalah tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat. Memakai cadar dan purdah tidak mengharuskan menutup diri dari masyarakat. Tidak boleh keluar rumah, tidak boleh menghadiri acara dan kegiatan [boleh, asalkan kegiatannya sesuai dengan Islam], kemudian haram sama sekali berbicara dengan laki-laki asing sehingga tidak boleh berbicara dengan sepupu laki-laki, kepada suami bibinya dan lain-lain.
Maka ini adalah anggapan yang keliru. Karena Islam malah mengajarkan kita untuk berinteraksi dengan masyarakat dengan berhias akhlak yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” [HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa At Tirmidzi berkata, hasan shahih]
Jika ada acara khitanan, kelahiran dan lain-lain maka, wanita bercadar bisa berada di barisan terdepan dalam membantu tetangga dan saudaranya. Memasak dan menyiapkan kegiatan tersebut. Dan kemudahan teknologi komunikasi zaman sekarang memudahkan mereka berinteraksi walaupun sekedar dari rumah. Mengucapkan selamat, menanyai kabar dan lain-lainnya.
Wanita boleh keluar dari rumahnya jika ada keperluan, tidak ada yang mengharamkan. Mengenai berbicara dengan bukan mahram maka bukan tidak boleh sama sekali, boleh jika memang ada keperluan asalkan memperhatikan adab dan aturan Islam.
Berikut fatwa ketua Lajnah Daimah [MUI Arab Saudi] syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah,
هل يجوز للمرأة أن تكلم الأجانب عن طريق الهاتف، جزاكم الله خيراً. وهل هناك من شروط معينة تودون بيانها؟ جزاكم الله خيراً
Pertanyaan: Bolehkah seorang wanita berbicara dengan laki-laki bukan mahrom via telepon. Jazakallah khair. Adalah syarat tertentu yang membolehkan hal tersebut, jazakallahu khair?
لا حرج في تكليم أهل الرجل من طريق الهاتف إذا كان في مصلحةٍ شرعية، أو أمرٍ مباح كالسؤال عن العلم، أو سؤاله عن مريض، أو عن سؤاله عن صحته، أو عن شيءٍ مهم لا بأس بذلك
Jawaban: “Tidak mengapa seorang wanita berbicara dengan laki-laki via telepon jika memang ada maslahat yang syar’i, atau ada urusan yang sifatnya mubah seperti bertanya perihal agamanya, atau mungkin bertanya tentang kondisinya sakit ataukah sudah sehat. Hal-hal semacam itu tidaklah mengapa.
أما إذا كانت المكالمة للمغازلة كما يقولون، ولأسباب الفتنة، والدعوة إلى الفاحشة، أو ما يجر إلى الفاحشة هذا لا يجوز، الواجب على المرأة أن تحذر ذلك، وعلى الرجل أن يحذر ذلك، ليس للرجل أن يكلم النساء لهذا الغرض، وليس للمرأة أن تكلم الرجال لهذا الغرض، بل هذا يجر إلى شرٍ كثير وفسادٍ عظيم
Adapun jika berbicaranya adalah bermesra-mesraan yang menimbulkan fitnah (godaan bagi si pria), atau mengajak pada perbuatan bejat (mendekati zina), atau sebagai sarana menuju perbuatan yang dimurkai, maka tidak dibolehkan. Seorang wanita haruslah berhati-hati akan hal ini. Begitu pula dengan si pria perlu juga menjaga diri dari hal semacam ini. Janganlah sampai laki-laki berbicara dengan wanita via telepon untuk tujuan semacam ini, begitu pula si wanita. Bahkan hal semacam ini bisa mengantarkan kepada kerusakan yang banyak dan teramat bahaya.
، أما كونها تكلم زوج أختها، أو ابن عمها تسأل عن صحته، أو صحة أولاده، أو صحة والدته، أو أبيه، أو عن حاجةٍ تسألها عنه، شراء حاجة، أو يبيع حاجة، أو ما أشبه من الأمور التي ليس فيها شبهة، ولا ريبة ولا شر فلا حرج في ذلك
Adapun jika si wanita tadi berbicara dengan suami dari saudara perempuannya, atau berbicara kepada anak pamannya, ia menanyakan kesehatan mereka, kesehatan anak mereka, kesehatan ayah mereka, atau pada perkara yang ada hajat untuk ditanyakan, atau pada urusan jual beli yang urgent, selama itu tidak mengandung syubhat dan kejelekan maka tidaklah mengapa.
Dan tidak mengapa misalnya wanita berbicara kepada laki-laki yang menjual barang dagangannya, asal sebatas keperluannya. Dan perlu diingat juga, jika meyakini hukumnya hanya sunnah kemudian terkadang memakainya dan terkadang melepasnya. Maka tidak akan ada lagi kesan tertutup.
Takut celaan manusia bahwa ia ekstrim dalam agama dan merasa malu
“Nak, ber-Islamlah biasa-biasa aja, pakai jilbab yang lebar biasa, ga usah ekstrim seperti itu, pakai tutup muka, nanti kamu tertutup, ibu malu dengan teman-teman Ibu, kamu dikira sombong, ga mau berinteraksi”
Ini sedikit sindrian bagi mereka yang memakai cadar. Tidak sedikit wanita penggenggam bara api akan mendapat celaan, bahwa mereka akan terkungkung di rumah, tertutup, ketinggalan zaman karena kembali ke zaman Arab kuno serta tidak berkembang pikiran dan ilmunya.
Mengenai celaan maka, kita katakan inilah ujiannya. Semakin tinggi keimanan seseorang maka akan semakin tinggi pula ujiannya. Allah Ta’ala berfirman mengenai orang mukmin,
وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“Dan yang tidak takut celaan orang yang suka mencela.” [QS. Al-Maidah: 54]
Kemudian Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari radhiallhu ‘anhu
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: …beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah… [HR. Ahmad dalam musnadnya V/159, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 2166]
Celaan ini hilang dengan segera jika ia menghiasi cadarnya dengan kesabaran, akhlak yang baik, interakasi yang baik dan dakwah yang bijaksana kepada orang sekitarnya dan masyarakat. Dan ini sudah banyak terbukti.
Mengenai malu bercadar, mengapa anda harus malu jika itu benar? Kemana ghirah /cemburu anda terhadap wanita-wanita yang tidak malu mamakai pakaian yang membuka aurat, bahkan mereka bangga, bangga memakai bikini diajang-ajang, bangga bisa ikut kontes miss universe dan miss world.
Nanti tidak bisa modis, kaku dan serba hitam
Jika modis untuk suami maka anda para wanita dalam hal ini boleh. Tetapi jika untuk modis dan menarik perhatian laki-laki bukan mahram, maka yang perlu diperbaiki adalah hatinya. Adalah suatu hal yang terlarang dalam agama jika wanita bisa menimbulkan fitnah bagi laki-laki asing baik dengan penampilan dan suaranya. Ingin membuat kecantikannya diakui dan diperebutkan oleh banyak lelaki. Padahal mereka para lelaki hanya ingin menghisap gula tebu dan membuang jauh ampasnya. Dan fitnah wanita bisa menghilangkan akal laki-laki yang istiqamah sekalipun.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menghilangkankan akal laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” [HR. Bukhari no. 304]
Tidakkah anda wanita ingin membuat suami anda atau calon suami anda kelak semakin cinta dengan mengatakan,
“Kupersembahkan wajahku ini hanya untukmu, suamiku”
Kita sudah tahu bahwa kecantikan wajah adalah salah satu bagian yang paling nikmat bagi laki-laki. Maka kami heran jika ada laki-laki yang rela wajah dan kecantikan istrinya dinikmati oleh orang banyak dan leluasa. Apa ia tidak cemburu? Padahal cemburu adalah bagian dari cinta. Kemana rasa memiliki itu? Mengapa foto istri anda dipajang ditempat-tempat umum dan jejaring sosial? Sungguh lelaki zaman sekarang sudah dipengaruhi oleh budaya barat dimana rasa cemburu itu telah hilang. Lihat bagaimana Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu melarang para lelaki membiarkan istrinya di pasar dan berdedak-desakan dengan laki-laki yang lain.
Mengenai modis, maka terserah anda bergaya bagaimanapun asal untuk suami anda. Pakaian model terbaru atau pakaian yang [maaf] hot seperti lingerie. Dan justru untuk suamilah, anda mempersembahkan yang tercantik dan terbaik. Zaman sekarang sudah terbalik jauh, wanita modis dan harum di luar rumah. Sedangkan di rumah baju seadanya, lusuh dan tua, baunya bau minyak goreng, minyak gosok, dan balsem.
Mengenai serba hitam, maka tidak mesti jilbab dan cadar warna hitam. Warna hitam diutamakan oleh sebagian ulama karena ia adalah warna mati karena tidak menimbulkan keinginan laki-laki asing. Warnanya boleh warna lain asal tidak menimbulkan fitnah dan menarik perhatian laki-laki.
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا
Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Mantan istri Rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” [HR. Bukhari no. 5377]
Begitu juga dengan riwayat bahwa Aisyah dan Istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain melakukan ihram dengan pakaian yang dicelup ‘ushfur saat ihram, yang berwarna merah.
1. Bisa dilihat sumbernya di: http://masaries.multiply.com/journal/item/220?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
2. Silakan lihat di sumbernya: http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/10/03/cadar-di-eropa-dulu-bangsawan-bangga-memakainyasekarang-dihina-dan-didenda%E2%80%A6/
Bersambung insyaAllah…
Penyusun: Raehanul Bahraen
Muroja’ah: Ust. Ammi Nur Baits
***