Friday, 26 September 2014

Nasihat yang Sangat Berharga dari Seorang Ibu kepada Putrinya


Risalah ini dipersembahkan untuk setiap istri atau suami yang mengidam-idamkan datangnya bahtera kebahagiaan didalam rumah tangganya. Untuk istri yang mencintai suami, anak dan keluarganya diatas mahabbatullah. Untuk setiap pasangan yang mengharapkan terciptanya surga di rumah tangganya. Untuk setiap istri yang mengharapkan kebahagiaan berkibar dalam rumah tangganya, dan untuk setiap istri shalihah yang hendak mencari obat yang manjur untuk menyelesaikan setiap problema rumah tangganya.
Simaklah sebuah nasihat yang sangat berharga dari seorang ibu kepada gadisnya berikut ini.

Berkata Umamah binti Harith, seorang wanita Arab kepada anak gadisnya, ketika buah hatinya dan penyejuk pandangannya dipinang oleh Raja Kinda, ia mengatakan, yaitu Umamah binti Harith mengatakan kepada gadisnya ketika dipinang oleh raja Kinda (Raja Arab pada masa itu), dia mengatakan:

“Wahai putriku, sebentar lagi engkau tidak akan lagi menghirup udara yang selama ini dengannya engkau hidup, sebentar lagi engkau akan keluar dari sangkarmu yang selama ini engkau tumbuh besar. Jika seandainya wahai putriku seorang wanita tidak membutuhkan pria karena kekayaan yang dimiliki ayahnya dan sebab begitu cintanya mereka kepadanya, niscaya engkaulah wanita yang tidak memerlukan pria tersebut. Akan tetapi wanita telah di taqdirkan untuk laki-laki dan laki-laki telah ditaqdirkan untuk wanita.

Putriku, engkau akan meninggalkan rumah yang telah membesarkanmu selama ini menuju ke suatu tempat, engkau tidak pernah mengenalnya sama sekali, hidup bersama orang yang belum terbiasa engkau dengannya, maka jadilah engkau di kerajaannya sebagai pelayan baginya niscaya ia akan menjadi budak bagimu.

Ambillah dari ibu dan hafalkanlah 10 perkara, mudah-mudahan hal itu akan menjadi bekal bagimu dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Pertama dan kedua,  hendaklah engkau bergaul dengannya selalu bertemankan qana’ah dan ridha, serta mendengar dan mematuhi segala ucapan dan perbuatannya.

Ketiga dan keempat, selalulah menjaga tempat-tempat yang biasa dia pandang dan yang biasa ia cium dengan penciumannya, jangan sampai matanya jatuh ketempat yang kotor dan penciumannya mencium sesuatu yang tidak berkenan olehnya. Ketahuilah bahwa celak adalah sebaik-baik perhiasan dan air adalah sebaik-baik pembersih.

Kelima dan keenam, menjaga waktu makan dan tidurnya. Karena lapar mendatangkan emosi –karena suami yang lapar akan membuatnya mudah emosi dan marah- dan kurang tidur membuat pikiran tidak stabil dan kacau.

Ketujuh dan kedelapan, menjaga harta dan keluarganya. Inti dari menjaga harta adalah berhemat dan inti dari menjaga keluarga adalah pintar mengasuh dan pandai mendidik.

Adapun yang kesembilan dan yang kesepuluh, maka janganlah melanggar perintahnya dan jangan sekali-kali menebarkan rahasianya. Jika engkau melanggar perintahnya berarti engkau telah mengeruhkan pikirannya dan jika engkau tebar rahasianya maka engkau tidak akan selamat dari makar dan tipu muslihatnya. Kemudian wahai putriku, jangan sekali-kali engkau menampakkan wajah ceria tatkala ia berduka atau engkau menampakkan wajah duka tatkala ia berbahagia.

Wahai gadisku, wahai putriku, wahai anakku, engkau akan mengarungi sebuah kehidupan yang baru, kehidupan yang tidak ada tempat untuk ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu. Engkau akan bergaul dengan seorang laki-laki yang ia tidak menginginkan engkau bergaul kecuali dengannya, sekalipun mereka dari darah dan dagingmu.

Jadilah engkau baginya sebagai seorang istri sekaligus sebagai seorang ibu, biarkan ia merasa bahwa engkau adalah segala-galanya dalam kehidupannya. Ingatlah selalu, bahwa setiap laki-laki siapapun ia, ia adalah bayi besar, akan diam dan tertawa kembali dengan sedikit ucapan manis darimu.

Dan jangan sekali-kali engkau merasa bahwa perkawinanmu dengannya menjadi penghalang antaramu dan keluarga, karena perasaan ini juga ia rasakan sebagaimana juga ia telah meninggalkan rumah orang tua dan kerabatnya hanya karenamu. Hanya wahai putriku perbedaanmu dengannya seperti perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan antaramu dengannya hanya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan.

Seorang wanita selalu merindukan keluarganya, seorang wanita selalu terkenang dengan kampung halamannya dimana ia tumbuh besar. Akan tetapi haruslah bagimu membiasakan diri dengan kehidupan barumu ini, haruslah engkau dapat beradaptasi dengannya yang sekarang telah menjadi suamimu, pemimpin keluarga dan ayah dari anak-anakmu. Inilah dunia barumu wahai putriku dan inilah masa depanmu. Inilah rumah tangga yang akan kalian bangun. Adapun kedua orang tuamu maka mereka akan berlalu.

Sayangku, ibu tidak akan meminta kepadamu agar engkau melupakan ibu, agar engkau melupakan ayah dan saudara-saudaramu karena mereka tidak akan pernah bisa melupakanmu selama-lamanya. Bagaimana mungkin seorang ibu akan melupakan belahan hatinya. Akan tetapi yang ibu pinta kepadamu agar engkau mencintai suamimu dan hidup bersamanya dan engkau berbahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”

~ Dikutip dari kajian “Anakku, Ia Surga atau Nerakamu” - Ustadz Armen rahimahullaahu ta'ala ~

***

Download Mp3 kajian selengkapnya via kajian.net pada link berikut:

Thursday, 25 September 2014

Bila Istrimu Minta Cerai - Sebuah catatan dari kajian "Setengah isi setengah kosong"


Ingat, ketahuilah bahwa orang tuanya telah menyerahkan dia sepenuhnya kepadamu, orang tuanya telah menyerahkan wanita ini sepenuhnya kepadamu tanpa ada paksaan, bahkan engkaulah yang datang meminang dan melamarnya dan dirimu telah menerima semua beban yang diserahkan kepadamu tatkala pernikahan itu, dan kau menerimanya.

Tatkala ayahnya mengatakan “aku nikahkan engkau, aku kawinkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar sekian.” Jawaban kita pada waktu itu apa?... “aku terimah nikah dan kawinnya dengan mahar yang disebutkan”. Sejak saat itu, bayangkan dengan hanya perkataan itu, wanita itu jadi milik kita dan kita menerimanya tanpa paksaan dan menerima wanita itu dengan semua kekurangan dan kelebihannya, karena, ingat, dia bukan malaikat. Dan dengan kata-kata itu kita bawa pulang wanita ini, padahal.. ingat, padahal kita tidak pernah merasakan sakitnya mengandung wnita itu, ibundanya 9 bulan mengandung wanita itu, lemah diatas kelemahan, sabar, tabah, melahirkannya mempertaruhkan nyawa. Kita tidak pernah ada andil disitu, orang tuanya yang laki bekerja, ngasih makan dia, kita juga tidak punya andil disitu. Dan tatkala membesarkan, merawatnya, menyekolahkan, kita juga tidak pernah punya andil.

Namun tatkala kita datang kepada orang tuanya, datang ke bapaknya, kita melamar kita meminta, ingat, momen itu bukan momen yang indah buat orang tua, momen yang paling berat buat seorang tua. Bagaimana dia hendak melepaskan putri yang dia cintai kepada seorang lelaki yang dia tidak pernah tahu apakah putrinya akan berbahagia dengan lelaki itu. Ingat, amanah itu datang begitu mudahnya kepada kita, dan kita menerimanya.

Tapi akhirnya, sang bapak menikahkan putrinya, karena apa? bukan karena dia bosan membesarkan anaknya, bukan karena dia jenuh dengan putrinya, dengan istri kita, tidak, tapi karena perintah Allah untuk menikahkan putri-putri, karena sunnah Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam, padahal melepas seorang yang dicintai sangatlah berat sekali. Dan saya mendapati orang-orang bagaimana tatkala putrinya ada yang melamar, dua tiga hari dia tidak bisa tidur, memikirkan apakah putriku akan berbahagia dengan lelaki ini.

Maka sekarang kenapa dia minta cerai? Kenapa? Kenapa yang bertahun-tahun hidup dengan kita sekarang wanita itu minta cerai? Satu pilihan yang tidak mudah bagi seorang wanita untuk bercerai, untuk hidup sendri, tidak mudah. Pasti terjadi sesuatu. Maka koreksilah dirimu.

Ingatlah kau juga manusia yang tidak luput dari salah dan dosa. Bila istrimu berbuat dosa, kitapun pernah berbuat kesalahan, mungkin kita banyak salahnya, mungkin kau tidak lagi memperhatikan istrimu, mungkin kau sudah lupa dengan amanat Allah itu, mungkin tidak ada lagi kata-kata cinta, mungkin rumah itu sudah kering dan taman cintanya sudah layu, mungkin banyak kata-katamu yang menoreh luka dihatinya.

Carilah jawaban-jawaban, carilah jawaban-jawaban untuk kenapa istrimu minta cerai. Perbaiki dirimu. Perbaiki diri kita. Koreksi diri kita. Minta maaf padanya. Berjanjilah, berjanjilah pada istrimu bahwa kita akan berusaha lebih baik.

Katakan cintamu tak pernah pudar, namun kadang kesibukan yang membuatmu lupa perhatian.
Bukalah lembaran baru kembali seperti tatkala engkau meminangnya.
Dan katakan in sya Allah, katakan kepada istrinya yang minta cerai, “in sya Allah kita akan terus bersama sampai ajal memisahkan kita dan berjumpa kembali di pintu surga.”

Tulislah sebuah surat cinta, katakan;
“Maafkan bila aku terus mencintaimu,
Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa..
Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh dihatiku sendri..
Aku ingin bersamamu..
Selamanya....”


Dan ingatlah, istri kita adalah amanat yang diberikan oleh Allah kepada kita..

***

Silakan download kajian Ustadz Syafiq 'Setengah Isi Setengah Kosong" selengkapnya via kajian.net, klik link dibawah ini:

Tuesday, 23 September 2014

Cara Mengetahui Kadar Cintamu


Jika engkau ingin mengetahui kadar cintamu - juga kadar cinta selainmu - kepada Allah, maka lihatlah kadar kecintaanmu terhadap Al-Qur'an dalam hatimu. Kelezatanmu dengan mendengar firman-Nya seharusnya jauh lebih besar daripada kelezatan yang dirasakan orang-orang yang mencintai musik dan nyanyian. Termasuk perkara yang umum diketahui bahwa siapa yang mencintai seseorang pasti mencintai ucapan dan perkataannya pula, sebagaimana dikatakan oleh penya'ir:


Jika kau menyatakan cinta kepada-Ku,lalu mengapa kau jauhi Kitab-Ku?
Tidakkah kau perhatikan apa yang ada di dalamnya,yang merupakan kelezatan seruank-Ku.

'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu 'anhu berkata; "Sekiranya hati kita bersih, tentu tidak akan pernah kenyang dengan firman Allah."

[ Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab Ad-Daa' wa Ad-Dawaa' halaman 546-547 ]

Hubungan Antara Keimanan dan Kesabaran


"Kesabaran seorang hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya.
Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat.. 
Dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah.
Dan barangsiapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh 
maka sungguh dia telah keliru."

Saturday, 20 September 2014

Download Mp3 Kajian 'Rumahku Masih Ngontrak' - Ustadz Syafiq Basalamah


Diantara amalan untuk bisa mendapatkan rumah di surga adalah: 

1. Sholat sunnah 12 raka’at sehari semalam 
2. Membangun masjid meski sebesar sarang burung 
3. Membaca surah Al-Ikhlas 10 kali 
(Amalan ketiga ini terlihat paling ringan diamalkan.) 

Namun yang ringan akan menjadi susah jika bukan karena bimbingan Allah.

!!! Jangan remehkan amalan yang terlihat ringan

- Ustadz Syafiq Basalamah hafizhahullah dalam kajian 'Rumahku Masih Ngontrak'

***
    
 Silakan download Mp3 kajian ‘Rumahku Masih Ngontrak’ - Ustadz Syafiq Basalamah berikut via kajian.net : 

- Rumahku Masih Ngontrak – Materi - 14.41Mb

- Rumahku Masih Ngontrak – Tanya Jawab - 13.42Mb

Friday, 19 September 2014

Untukmu Yang Berjiwa Hanif


Dalam muqaddimah buku 'Untukmu Yang Berjiwa Hanif', Ustadz Armen rahimahullah menuliskan;

"Buku ini kuperuntukkan,

Untuk mereka yang mempunyai
fithrah yang lurus
dan hati yang hanif...

Untuk mereka yang sedang dalam pencarian islam
yang hakiki...

Untuk mereka yang haus ilmu Al-Qur'an
dan As-Sunnah...

Untuk mereka yang sedang menempuh jalan
yang ditempuh oleh Salman al-Farisi dan Waraqah bin Naufal..

Untuk para pemuda yang hendak menggalah
kejayaan dan mendulang
masa keemasan..."

_______________________________

Ketika jejak-jejak kasih sayang Allah Subhahu wa Ta'ala sudah mulai tampak di halaman kalbu, awan mahabbah dan kabut cinta Allah Subhanahu wa Ta'ala sedang datang berarak di langit hati, pertanda rahmat hidayah akan turun menyirami taman jiwa.

Tidak berselang lama, akan tumbuh bersemi fithrah yang suci, hadir perasaan tunduk dan patuh pada kebenaran, timbul motivasi dan semangat untuk berbuat kebaikan. Saat itulah kehidupan akan dirasa berarti dan kebahagiaan bisa direngkuh kembali. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan orang-orang yang berjuang dalam jalan Kami, akan Kami beri mereka hidayah menuju jalan-jalan kebaikan Kami." (Al-Ankabut; 69)

Sekiranya ia dibiarkan begitu saja, tidak diolah dengan benar bahkan sering ditelantarkan dan dilalaikan, pasti ia berlalu dan meninggalkannya dalam kesendirian menyebabkan ia harus menunggu dan menunggu pada sebuah penantian yang tidak berkesudahan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Ketika mereka menyeleweng dari jalan kebenaran, Kami selewengkan hati mereka." (Ash-Shaf; 5)

Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba kecuali melanjutkan pencarian dan memperkokoh keyakinan. Karena bangun dari kelalaian merupakan langkah awal dari sebuah perjalanan menuju Shiratul Mustaqim. Jalan yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul, orang-orang shiddiq, syuhada dan orang-orang yang shalih. Itu pula yang telah dilalui oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Beragama ala Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan menapaki jejak Salafush Shalih itulah sebuah keharusan, itulah hidayah yang hakiki. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Sekiranya mereka beriman seperti mereka beriman, niscaya mereka memperoleh hidayah." (Al-Baqarah; 137)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mengambil ubun-ubun kita kepada kebenaran. Aamiin

______

Silakan download Mp3 kajian 'Untukmu Yang Berjiwa Hanif" - Ustadz Armen Halim Naro rahimahullah via kajian.net

Apakah Jama’ah Haji Dianjurkan Pula untuk Berqurban?

Perlu diketahui bahwa yang menjalankan ibadah haji dengan mengambil manasik tamattu’ dan qiron punya kewajiban untuk menunaikan hadyu (hewan sembelihan yang dihadiahkan untuk tanah haram Mekkah). Sedangkan di sisi lain saat Idul Adha juga dianjurkan bagi kaum muslimin untuk berqurban (menunaikan udhiyah). Bagaimanakah dengan jama’ah haji? Apakah mereka disunnahkan pula melakukan kedua-duanya?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Udhiyah (qurban) disunnahkan untuk jama’ah haji dan seorang musafir sebagaimana disunnahkan bagi orang yang mukim. Tidak ada beda dalam hal ini dan tidak ada beda pula sunnahnya hal ini bagi laki-laki maupun perempuan.” (Al Muhalla, 7: 375)
Riwayat berikut ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya saat berhaji.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ « إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (ia berkata), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah  menemui ‘Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu ‘Aisyah sedang menangis. Beliau pun bersabda, “Apakah engkau haidh?” “Iya”, jawab ‘Aisyah. Beliau bersabda, “Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain dari thawaf di Ka’bah.” Tatkala kami di Mina, kami didatangkan daging sapi. Aku pun berkata, “Apa ini?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan udhiyah (berqurban) atas nama dirinya dan istri-istrinya dengan sapi.” (HR. Bukhari no. 5548)
Syaikh Dr. ‘Abdullah As Sulmiy, Dosen Ma’had ‘Ali lil Qodho di Riyadh KSA ditanya, “Apa hukum menggabungkan antara hadyu dan udhiyah (qurban)?”
Beliau -semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata,
“Yang kita bahas pertama, apakah udhiyah (qurban) dianjurkan (disunnahkan) untuk jama’ah haji. Para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah bahwasanya hal itu tidak dianjurkan (disunnahkan). Sedangkan ulama Syafi’iyah, Hambali dan juga Ibnu Hazm berpendapat tetap disunnahkannya udhiyah (qurban) bagi jama’ah haji. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Karena udhiyah itu umum, untuk orang yang berhaji maupun yang tidak berhaji. Dan ada hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berqurban (menunaikan udhiyah) padahal beliau sedang berhaji. Seperti riwayat Daruquthi, namun asalnya dalam shahih Muslim yaitu dari hadits Tsauban …. Ini menunjukkan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban saat haji dan waktu lainnya.” [Sumber fatwa:http://www.youtube.com/watch?v=F-Oy26wROk0]
Lantas bagaimana mengenai larangan mencukur bagi shohibul qurban, apa berlaku juga untuk jama’ah haji yang juga berqurban di negerinya?
Syaikh Dr. Abdullah As Sulmi mengatakan bahwa larangan tersebut tetap berlaku bagi jama’ah haji yang berqurban. Namun setelah tahallul awal mereka boleh memotong kuku dan mencukur rambut meski qurbannya belum disembelih. Karena mencukur saat tahallul itu perintah dan untuk shohibul qurban tadi adalah larangan. Berdasarkan kaefah, perintah didahulukan dari larangan. [Faedah dari ceramah beliau pada link di atas]
Mudah-mudahan bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Bahasan penting yang perlu dikaji:

Setelah shalat Isya’ @ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSU, 29/11/1433 H

Thursday, 18 September 2014

Panduan Qurban

Saat ini Rumaysho.com akan menampilkan panduan qurban secara ringkas. Pembahasan dimulai dari hukum qurban, hikmah qurban, ketentuan hewan qurban dan aturan dalam penyembelihan, serta ditambahkan dengan kebiasaan keliru di masyarakat yang biasa menjual kulit qurban. Moga-moga yang ingin berqurban tahun ini bisa mendapat panduan bermanfaat.
Secara bahasa udhiyah berarti kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul Adha. Sedangkan menurut istilah syar’i, udhiyah adalah sesuatu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada AllahTa’ala pada hari nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus.
Istilah qurban lebih umum dari udhiyahQurban adalah segala bentuk pendekatan diri pada Allah baik berupa penyembelihan atau selainnya. Kaitan udhiyah dan qurban yaitu keduanya sama-sama bentuk pendekatan diri pada Allah. Jika bentuk qurban adalah penyembelihan, maka itu lebih erat kaitannya.
Pensyariatan Qurban
Udhiyah (qurban) pada hari nahr (Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya ayat (yang artinya), “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun nahr)”.(Lihat Zaadul Masiir, 9: 249)
Keutamaan Qurban
Tak diragukan lagi, udhiyah adalah ibadah pada Allah dan pendekatan diri pada-Nya, juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kaum muslimin sesudah beliau pun melestarikan ibadah mulia ini. Tidak ragu lagi ibadah ini adalah bagian dari syari’at Islam. Hukumnya adalah sunnah muakkad (yang amat dianjurkan) menurut mayoritas ulama. Ada beberapa hadits yang menerangkan fadhilah atau keutamaannya, namun tidak ada satu pun yang shahih. Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aridhotil Ahwadzi (6: 288) berkata, “Tidak ada hadits shahih yang menerangkan keutamaan udhiyah. Segelintir orang meriwayatkan beberapa hadits yang ajiib (yang menakjubkan), namun tidak shahih.” (Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 9)
Ibnul Qayyim berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah.”
Hukum Qurban
Hukum qurban adalah sunnah (dianjurkan, tidak wajib) menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah hadits dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim). Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini adalah dalil bahwasanya hukum udhiyah tidaklah wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin menyembelih qurban …”. Seandainya menyembelih udhiyah itu wajib, beliau akan bersabda, “Janganlah memotong rambut badannya hingga ia berqurban (tanpa didahului dengan kata-kata: Jika kalian ingin …, pen)”.” (Disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro).
Dari Abu Suraihah, ia berkata, “Aku pernah melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak berqurban.” (HR. Abdur Rozaq). Ibnu Juraij berkata bahwa beliau berkata kepada ‘Atho’, “Apakah menyembelih qurban itu wajib bagi manusia?” Ia menjawab, “Tidak. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban.” (HR. Abdur Rozaq)
Niatan Qurban untuk Mayit
Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’i, qurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj, “Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut.
Yang masih dibolehkan adalah berqurban untuk mayit namun sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasarnya adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia. (Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udhiyah wadz Dzakaah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 12-13)
Waktu Penyembelihan Qurban
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
Sedangkan mengenai waktu akhir dari penyembelihan qurban, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullahmenjelaskan, “Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya adalah melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama.Wallahu a’lam.” Sedangkan yang menyatakan bahwa waktu penyembelihan pada seluruh hari tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) dibangun di atas riwayat yang dho’if. (Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 119)
Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 5612, 11: 423-424)
Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah no. 1997, 11: 424-425)
Ketentuan Hewan Qurban
Hewan yang digunakan untuk qurban adalah unta, sapi (termasuk kerbau), dan kambing.
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang menurut pendapat yang lainnya).
Sedangkan ketentuan umur yang mesti diperhatikan: (1) unta, umur minimal  5 tahun; (2) sapi, umur minimal 2 tahun, (3) kambing, umur minimal 1 tahun, (4) domba jadza’ah, umur minimal 6 bulan.
Yang paling dianjurkan sebagai hewan qurban adalah: (1) yang paling gemuk dan sempurna, (2) hewan qurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, namun satu ekor kambing lebih baik daripada kolektif dalam sapi atau unta, (4) warna yang paling utama adalah putih polos, kemudian warna debu (abu-abu), kemudian warna hitam, (5) berkurban dengan hewan jantan lebih utama dari hewan betina.
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
1- Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4:
  1. Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
  2. Sakit dan tampak jelas sakitnya
  3. Pincang dan tampak jelas pincangnya
  4. Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
2- Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:
  1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
  2. Tanduknya pecah atau patah
3. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 370-375)
Tuntunan Penyembelihan Qurban
1- Syarat hewan qurban, Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati).
2- Syarat orang yang akan menyembelih: (1) berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz, (2) yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani), (3) menyebut nama Allah ketika menyembelih.
Perhatian: Sembelihan ahlul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal.
3- Syarat alat untuk menyembelih: (1) menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong, (2) tidak menggunakan tulang dan kuku.
4- Adab dalam penyembelihan hewan: (1) berbuat baik terhadap hewan, (2) membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih, (3) meletakkan kaki di sisi leher hewan, (4) menghadapkan hewan ke arah kiblat, (5) mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir.
Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca “bismillaahi wallaahu akbarhadza minka wa laka” atau”hadza minka wa laka ’annii atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” atau berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minnii (Semoga Allah menerima qurbanku) atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban).
Sudah Berqurban Kok Malah Dijual?
Ketika Imam Ahmad di tanya tentang orang yang menjual daging qurban, ia terperanjat, seraya berkata, “Subhanallah, bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan untuk Allah tabaraka wa taala”.
Secara logika suatu barang yang telah anda berikan kepada orang lain bagaimana mungkin anda menjualnya lagi.
Imam Syafi’i juga berkata,” Jika ada yang bertanya kenapa dilarang menjual daging qurban padahal boleh dimakan? Jawabnya, hewan qurban adalah persembahan untuk Allah. Setelah hewan itu dipersembahkan untukNya, manusia pemilik hewan tidak punya wewenang apapun atas hewan tersebut, karena telah menjadi milik Allah. Maka Allah hanya mengizinkan daging hewan untuk dimakan. Maka hukum menjualnya tetap dilarang karena hewan itu bukan lagi menjadi milik yang berqurban”. Oleh karena itu para ulama melarang menjual bagian apapun dari hewan qurban yang telah disembelih; daging, kulit, kikil, gajih, kepala dan anggota tubuh lainnya. Mereka melarangnya berdasarkan dalil, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka qurbannya tidak diterima.” (HR. Hakim dan Baihaqi, shahih)
Hadis di atas sangat tegas melarang untuk menjual qurban sekalipun kulitnya karena berakibat kepada tidak diterimanya qurban dari pemilik hewan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Janganlah kalian jual daging hewan hadyu (hewan yang dibawa oleh orang yang haji ke Mekkah untuk disembelih di tanah haram), juga jangan dijual daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta pergunakan kulitnya.” (HR. Ahmad, mursal shahih sanad). Hadits ini juga tegas melarang menjual daging hewan qurban.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Nabi memerintahkanku untuk menyembelih unta hewan qurban miliknya, dan Nabi memerintahkan agar aku tidak memberi apapun kepada tukang potong sebagai upah pemotongan”. (HR. Bukhari). Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak boleh diberikan bagian apapun dari anggota tubuh hewan qurban kepada tukang potong sebagai imbalan atas kerjanya memotong hewan. Bila saja upah tukang potong tidak boleh diambilkan dari hewan qurban apatah lagi menjualnya kepada orang lain.
Begitu juga orang yang bekerja sebagai panitia qurban tidak boleh mengambil upah dari hewan qurban. Bila menginginkah upah mengurus qurban mintalah kepada pemilik qurban berupa uang.
Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq[Muhammad Abduh Tuasikal, Riyadh-KSA, 2 Dzulqo’dah 1433 H]
www.rumaysho.com

Niatan Qurban untuk Mayit

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum qurban adalah sunnah atau sunnah muakkad (yang amat dianjurkan) bagi orang yang hidup dan mampu, itu pun boleh diniatkan untuk keluarganya. Hukum sunnah ini menjadi pendapat mayoritas ulama. Sebagian ulama mengatakan hukum qurban itu wajib. Sedangkan qurban untuk mayit (secara khusus), tidaklah dituntunkan selama bukan karena wasiat atau nadzar sebelum meninggal dunia. Serial keempat kali ini akan mengkaji mengenai niatan qurban untuk mayit.
Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’i, qurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj,
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يُوصِ بِهَا
Tidak sah qurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut.
Kita dapat membagi berqurban untuk mayit menjadi tiga rincian sebagai berikut:
Pertama: Berqurban untuk mayit hanya sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasar dari bolehnya hal ini adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.
Bahkan jika seseorang berqurban untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah mati, bisa termasuk dalam niatan qurbannya. Dalilnya,
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[1]
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”[2]
Kedua: Berqurban untuk mayit atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal dunia). Hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 181).
Ketiga: Berqurban dengan niatan khusus untuk mayit, bukan sebagai ikutan, maka seperti ini tidak ada sunnahnya (tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak pernah berqurban untuk salah satu orang yang telah meninggal dunia dengan niatan khusus. Beliau tidak pernah berqurban atas nama pamannya, Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-, padahal ia termasuk kerabat terdekat beliau. Tidak diketahui pula kalau beliau berqurban atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu tiga anak perempuan beliau yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tidak diketahui pula beliau pernah berqurban atas nama istri tercinta beliau, Khodijah -radhiyallahu ‘anha-. Begitu pula, tidak diketahui dari para sahabat ada yang pernah berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia di antara mereka.[3]
Syaikh Muhammad bin Rosyid bin ‘Abdillah Al Ghofiliy dalam buku kecil beliau yang menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Di antaranya beliau menerangkan mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berqurban. Beliau berkata,
7 – Di antara kekeliruan yang dilakukan oleh orang yang berqurban adalah bersengaja menjadikan (niat) qurban untuk mayit (orang yang telah tiada). Ini jelas keliru karena asalnya qurban diperintahkan bagi orang yang hidup (artinya yang memiliki qurban tadi adalah orang yang hidup, pen). Namun dalam masalah pahala boleh saja berserikat dengan orang yang telah tiada (mayit). Yang terakhir ini tidaklah masalah. Adapun menjadikan niat qurban tadi untuk si mayit seluruhnya, ini jelas tidak ada dalil yang mendukungnya.
Dalam penjelasan di halaman selanjutnya beliau hafizhohullah menjelaskan,
Jika yang berdo’a dengan do’a, “Ya Allah jadikanlah pahala qurban ini seluruhnya untuk kedua orang tuaku yang telah tiada”, ini sama sekali tidak ada dalil yang mendukungnya, ini termasuk perkara (amalan) yang mengada-ada. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak ada dasarnya, maka amalannya tertolak” (Muttafaqun ‘alaih)[4]
Sebagian ulama membolehkan niatan qurban untuk mayit secara khusus karena dianggap seperti sedekah. Di antara yang membolehkan adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Al Lajnah Ad Daimah, dan fatwa Syaikh Sholih Al Fauzan yang kami dengar secara langsung di majelis beliau. Jadi masalah ini masih ada perselisihan, namun kami lebih tentram dengan alasan-alasan yang melarang di atas. Wallahu a’lam.
Lihat pula bahasan yang pernah dikaji oleh Rumaysho.com mengenai “Berniat Qurban atas Nama Ibu yang Telah Tiada” di sini.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com sekalian.
Wallahu waliyyut taufiq, hanya Allah yang memberi petunjuk (taufik).

@ Sakan 27 KSU, Riyadh, KSA, 25 Syawal 1433 H


[1] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142.
[2] Nailul Author, Asy Syaukani, 8: 125, Mawqi’ Al Islam.
[3] Dikembangkan dari keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 12-13.
[4] Diambil dari buku Syaikh Muhammad bin Rosyid bin ‘Abdillah Al Ghofiliy yang berjudul “Min Akhtoi fil ‘Usyri’, terbitan Darul Masir, cetakan pertama, Dzulhijjah, 1417 H, hal. 20-21.