Sunday, 31 August 2014

Hukum Tidur Terlentang

Apa hukum tidur terlentang? Apakah dibolehkan?
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُسْتَلْقِيًا فِى الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الأُخْرَى.
Dari ‘Abbad bin Tamim, dari pamannya bahwa ia pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur terlentang di masjid dalam keadaan meletakkan satu kaki di atas lainnya. (HR. Bukhari no. 475 dan Muslim no. 2100).
Imam Nawawi rahimahullah ketika membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin, beliau menyatakan dalam judul bab bahwa boleh tidur dalam keadaan terlentang. Demikian pula beliau nyatakan bolehnya dalam Al Majmu’, 4: 472.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menerangkan, “Yang lebih afdhol adalah tidur pada sisi kanan. Sedangkan tidur tengkurap adalah tidur yang tidak pantas kecuali dalam keadaan butuh. Sedangkan tidur dalam keadaan terlentang adalah tidak mengapa selama menjaga aurat tidak terbuka. Namun jika khawatir akan tersingkapnya aurat yaitu ketika mengangkat kedua kaki dan tidak memakai celana di bagian dalam jubah misalnya, maka itu tidaklah pantas. Namun kalau aman, maka tidaklah mengapa.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 346).
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarh Shahih Muslim mengenai hadits yang kita bawakan di atas bahwa para ulama berpandangan mengenai larangan hadits tidur terlentang dengan mengangkat kaki dimaksud untuk tidur yang sampai menyingkap aurat atau sebagian aurat. Adapun perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidak membuka aurat sama sekali. Seperti itu tidaklah masalah dan tidak pula dikatakan makruh.
Ada tulisan yang patut dikaji yaitu Adab Islami Sederhana Sebelum Tidur.
Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.Com sekalian. Moga keadaan tidur kita pun penuh berkah.
Disusun di Panggang, Gunungkidul, 23 Syawal 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Hukum Tidur Tengkurap

Bolehkah tidur tengkurap, di mana posisi perut di bawah?
Mengenai larangan tidur sambil tengkurap disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari Ya’isy bin Thokhfah Al Ghifariy, dari bapaknya, ia berkata,
فَبَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعٌ فِى الْمَسْجِدِ مِنَ السَّحَرِ عَلَى بَطْنِى إِذَا رَجُلٌ يُحَرِّكُنِى بِرِجْلِهِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ ضِجْعَةٌ يُبْغِضُهَا اللَّهُ ». قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Ketika itu aku sedang berbaring tengkurap di masjid karena begadang dan itu terjadi di waktu sahur. Lalu tiba-tiba ada seseorang menggerak-gerakkanku dengan kakinya. Ia pun berkata, “Sesungguhnya ini adalah cara berbaring yang dibenci oleh Allah.” Kemudian aku pandang orang tersebut, ternyata ia adalah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Abu Daud no. 5040 dan Ibnu Majah no. 3723. Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Juga hadits lainnya,
عَنِ ابْنِ طِخْفَةَ الْغِفَارِىِّ عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ مَرَّ بِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا مُضْطَجِعٌ عَلَى بَطْنِى فَرَكَضَنِى بِرِجْلِهِ وَقَالَ « يَا جُنَيْدِبُ إِنَّمَا هَذِهِ ضِجْعَةُ أَهْلِ النَّارِ ».
Dari Ibnu Tikhfah Al Ghifari, dari Abu Dzarr, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di hadapanku dan ketika itu aku sedang tidur tengkurap. Beliau menggerak-gerakkanku dengan kaki beliau. Beliau pun bersabda, “Wahai Junaidib, tidur seperti itu seperti berbaringnya penduduk neraka.” (HR. Ibnu Majah no. 3724. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam kitab Nuzhatul Muttaqin (hal. 339), Syaikh Musthofa Al Bugho, dkk berkata bahwa tidur sambil tengkurap itu terlarang.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak pantas seseorang tidur tengkurap lebih-lebih lagi dilakukan di tempat yang terbuka. Karena jika orang banyak melihat tidur semacam itu, mereka tidak suka. Namun jika seseorang dalam keadaan sakit perut, dengan tidur seperti itu membuat teredam sakitnya, maka seperti itu tidaklah mengapa karena dilakukan dalam keadaan butuh.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 343)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ditanya, “Ada yang mengatakan bahwa tidur tengkurap itu diharamkan, apakah benar? Jika benar, apa yang mesti kulakukan karena aku tidak bisa tidur pulas melainkan dengan cara tidur sambil tengkurap. Tidur seperti itu lebih menyenangkan bagiku.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau melihat sebagian sahabatnya tidur tengkurap lantas beliau menggerak-gerakkan dengan kakinya, lantas beliau bersabda, “Ini adalah seperti berbaring yang Allah murkai.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Tidur seperti itu adalah berbaringnya penduduk neraka.” Berbaring seperti itu jelas terlarang sehingga sepantasnya ditinggalkan kecuali dalam keadaan darurat seperti karena sakit perut. Adapun jika bukan darurat, maka baiknya ditinggalkan. Minimal tidur seperti itu dihukumi terlarang (makruh) karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa tidur tersebut dimurkai oleh Allah. Namun kalau kita lihat secara tekstual hadits, tidur dalam keadaan tengkurap diharamkan. Oleh karenanya, mukmin laki-laki maupun perempuan hendaklah meninggalkan bentuk tidur semacam itu kecuali dalam keadaan darurat yang sulit dihindari.”(Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz)
Hanya Allah yang memberi taufik.
Disusun di Panggang, Gunungkidul, 17 Syawal 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Saturday, 30 August 2014

Dosa Besar Karena Pria Memakai Cincin Emas

Sebagian pria ada yang menggunakan perhiasan dari emas seperti pada cincin, gelang, kalung bahkan jam tangannya. Padahal memakai perhiasan emas seperti itu termasuk dosa besar.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِى يَدِ رَجُلٍ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ « يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِى يَدِهِ ». فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خُذْ خَاتَمَكَ انْتَفِعْ بِهِ. قَالَ لاَ وَاللَّهِ لاَ آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin emas pada seorang pria. Kemudian beliau melepaskannya lalu melemparkannya dan bersabda, “Kenapa seseorang dari kalian sengaja mengambil bara api dari neraka dan meletakkannya di tangannya?” Kemudian setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, lalu ada orang yang berkata kepada orang yang memiliki cincin tersebut, “Ambillah cincinmu. Manfaatkanlah cincin tersebut.” Orang itu menjawab, “Tidak, demi Allah saya tidak akan mengambil cincin ini selamanya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya.” (HR. Muslim no. 2090).
Hadits di atas menunjukkan bahwa bagi yang punya kuasa boleh mengingkari kemungkaran dengan tangannya. Kita pun bisa melihat bahwa para sahabat ketika mendengar perintah atau larangan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka langsung mematuhinya, bahkan mereka menanggapinya secara berlebihan sampai tidak mau mengambil sesuatu yang sudah dibuang padahal masih bisa dimanfaatkan. (Lihat Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin, hal. 109).
Sesuai maksud bahasan kita kali ini, memakai cincin emas bagi pria itu diharamkan. Bahkan memakainya termasuk dosa besar karena diancam akan dikenakan api neraka, na’udzu billah. (Lihat idem).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak boleh seorang pria mengenakan cincin dari emas dan juga tidak boleh menggunakan kalung dari emas. Begitu pula menggunakan baju yang berbahan emas. Seorang pria wajib menjauhi emas seluruhnya. Emas digunakan untuk berhias diri sehingga lebih layak digunakan oleh wanita sebagai perhiasan untuk suaminya.” (Syarh Riyadhis Sholihin, 2: 444).
Hanya Allah memberi taufik.
Selesai disusun di Pesantren Darush Sholihin, 25 Syawal 1435 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Biaya Akikah dari Siapa?

Siapakah yang menanggung biaya akikah? Apakah orang tua ataukah anak? Yang jelas, penanggung nafkah yaitu ayah yang mesti menunaikan akikah ini.
Akikah Tanggung Jawab Pemberi Nafkah
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa akikah itu dituntut dari orang tua yang menanggung nafkah anak. Orang tua mengeluarkan biaya akikah dari hartanya dan bukan harta anak. Orang yang tidak menanggung nafkah anak tidak membiayai akikah ini kecuali dengan izin yang menanggung nafkah yaitu orang tua. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 278.
Ash Shon’ani -rahimahullah- mengatakan, “Menurut Imam Asy Syafi’i, akikah itu dituntut dari setiap orang yang menanggung nafkah si bayi. Sedangkan menurut ulama Hambali, akikah itu dituntut khusus dari ayah, kecuali jika ayahnya tersebut mati atau terhalang tidak bisa memenuhi akikah. Sedangkan dalam lafazh hadits disebutkan penyembelihan akikah dengan kalimat pasif (yaitu disembelih atau tudz-bahu). Lafazh ini menunjukkan bahwa sah-sah saja jika yang melakukan akikah adalah orang lain selain yang memberi nafkah” (Subulus Salam, 7: 352-353)
Akikah Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada Hasan dan Husain
Dari Ummu Kurz Al Ka’biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallambersabda,
« عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ سَمِعْتُ أَحْمَدَ قَالَ مُكَافِئَتَانِ أَىْ مُسْتَوِيَتَانِ أَوْ مُقَارِبَتَانِ.
Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing.” Abu Daud berkata, saya mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling berdekatan.” (HR. Abu Daud no. 2834 dan Ibnu Majah no. 3162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengakikahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba).” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Akan tetapi riwayat yang menyatakan dengan dua kambing, itu yang lebih shahih). Lihat bahasan Rumaysho.Com:Akikah Anak Laki-Laki dengan Satu Kambing?
Dijawab oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku jawab bahwa yang dimaksud dengan akikah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada keduanya adalah perintah beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh jadi pula beliau yang memberikan hewan yang akan dijadikan akikah, atau barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain menjadi tanggungan nafkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang tua mereka adalah orang yang kurang mampu. Namun jika akikah itu diambil dari harta anak, maka itu tidak dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya. Karena akikah itu termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua sehingga tidak boleh hewan akikah diambil dari harta anak. ”  (Mughnil Muhtaj, 4: 391)
Ash Shon’ani menyebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi Hasan dan Husain karena beliau adalah bapak dari mereka berdua. Dalam riwayat disebutkan, “Setiap bani ummi teranggap sebagai ashobah. Kecuali anak Fathimah, aku adalah wali mereka dan ashobah mereka.” Dalam lafazh lain disebutkan, “Aku adalah bapak mereka.” Hadits ini dikeluarkan oleh Al Khotib dari hadits Fathimah Az Zahro’ dan dari hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.” (Subulus Salam, 7: 353)
Menunaikan Akikah Walau Mesti Berutang
Para ulama memang menyaratkan akikah ini bagi orang tua yang mampu menunaikannya. Namun ketika ayah susah untuk menunaikan akikah, maka dianjurkan untuk berutang agar akikah tersebut tetap dijalankan. Imam Ahmad pernah berkata,
إذا لم يكن مالكاً ما يعقّ فاستقرض أرجو أن يخلف اللّه عليه ؛ لأنّه أحيا سنّة رسول اللّه صلى الله عليه وسلم
“Jika seseorang tidak mampu akikah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (Matholib Ulin Nuha, 2: 489, dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 278). Lihat bahasan Rumaysho.Com tentang Berutang untuk Kurban.
Mengakikahi Diri Sendiri
Bahasan di atas sebagai penguat bahasan Rumaysho.Com yang telah lewat: Hukum Akikah Diri Sendiri. Seperti yang telah dibahas bahwa tidaklah tepat akikah untuk diri sendiri. Yang lebih berhak membiayai akikah adalah orang tua sebagai pemberi nafkah, bukanlah anak. Wallahu a’lam.
Beberapa artikel Rumaysho.Com tentang akikah:
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementerian Agama Kuwait.
Mughnil Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan keempat, tahun 1431 H.
Subulus Salam Al Muwshilah Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.
Selesai disusun di kantor Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 7 Dzulhijjah 1434 H

Friday, 29 August 2014

Menikmati Nikmat Lupa

Apakah Anda sewaktu-waktu merasa bahwa lupa adalah sebuah nikmat besar yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia?! Sekiranya Allah tidak menurunkan kepada kita nikmat semacam ini, niscaya kehidupan kita berubah menjadi neraka yang tidak tertandingi.
Karena seorang manusia pada saat lupa, ia lupa akan kejadian-kejadian yang memilukan atau musibah-musibah yang menakutkan. Jika hal itu tidak terjadi, ia pasti akan selalu tersiksa, dan tidak akan mampu menebusnya.
Banyak orang tidak memandang nikmat ini, tidak menghargai nilai yang terkandung di dalamnya, bahkan mereka selalu mengingatkan dirinya dengan berbagai kesedihan, musibah-musibah atau kesulitan. Ada sebagian suami yang terus-menerus mengingat kejelekan-kejelekan isterinya dan ia tidak melupakannya. Karena itu, ia selalu mengingatnya. Jika isterinya melakukan kesalahan sebagaimana yang pernah dialaminya, ia mengatakan padanya, “Bukankah kamu telah melakukan hal yang demikian pada hari demikian.” Ia terus menghitung-hitung kejelekannya, dan dengan semua ini berarti ia sedang mengumpulkan kesulitan seluruhnya.
Sesungguhnya Islam yang agung telah mengajarkan kepada kita untuk melupakan kejelekan dari ikhwan-ikhwan kita kaum Muslimin, terlebih lagi dari isteri-isteri kita, dan mengajarkan kepada kita untuk menolak musuh-musuh kita dengan cara yang lebih baik, terlebih lagi kepada orang-orang yang kita cintai. Allah subhanahu wata’ala berfirman,” Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengalami sebagian kesulitan dari sebagian isteri-isterinya, sebagai akibat kecemburuan mereka, namun beliau dapat memikulnya dan tetap memberikan kasih sayangnya kepada mereka. Beliau tidak menghukum mereka terhadap kesalahan yang kecil dan yang besar, bahkan beliau memaafkan dan menghapuskannya. Inilah akhlak seorang suami yang shalih.
source : Ustadz Khalid

Semua pasti berlalu..


Hampir setiap orang pasti pernah merasakan yang namanya kesedihan. Hampir setiap orang juga pernah merasa kehilangan. Rasa yang timbul karena sesuatu hal yang tidak kita inginkan, mungkin akan menggores kesedihan dalam sanubari kita.

Saya juga pernah merasakan kesedihan, juga kehilangan. Dan saya juga bersedih, bahkan menangis.
Setiap kali terjebak dalam suatu permasalahan yang tidak menyenangkan, orang-orang terdekat saya memberi saya semangat untuk berusaha bangkit. Dan berusaha menyadarkan bahwa kesedihan saya tidak akan selamanya bersama saya. Kelak in sha Allah akan tergantikan dengan kebahagiaan yang tidak akan saya sangka. Dan hanya Allah yang dapat mengeluarkan kita dari situasi tidak menyenangkan tersebut. 
Dalam keadaan tersebut, dukungan-dukungan dari keluarga dan sahabat-sahabat yang memotivasi diri saya untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan adalah hal yang sangat berarti bagi saya untuk bisa bangkit.

Saya percaya, bahwa janji Allah benar, bahwa dalam setiap kesulitan akan datang kemudahan. Allah tidak pernah memberikan kita masalah tanpa solusi, dan Allah juga tidak akan menimpakan sesuatu pada kita diluar batas kemampuan kita. jadi, semua yang menimpa kita, in sya Allah kita akan mampu melewatinya.

Kepada dirimu yang kini tengah bersedih, yang hatinya tengah diselimuti kabut kesedihan, cobalah untuk menerima keadaan, jangan terpuruk dalam kesedihan, dan jangan berandai-andai yang tidak-tidak. Karena semua ini terjadi atas izin Allah. Dan sudah tertulis dalam taqdir kehidupanmu.
Jangan terlalu larut memikirkan kesedihan itu, karena orang-orang tercintamu juga akan merasakan kesedihan jika melihat kondisimu begitu terpuruk.
Bangkitlah, kuatkan diri untuk melawan kesedihan, karena, bahagia itu kita sendiri yang mengusahakannya, bahagia ada didalam hati kita, dan bahagia juga akan kita peroleh dengan mengikuti apa yang Allah perintahkan.

Seseorang yang telah saya anggap sebagai kakak pernah mengatakan ini pada saya :
 "De, badai itu pasti berlalu, dilewati atau tidak dia pasti akan tetap berlalu, yang terpenting adalah bagaimana kita setelah badai itu berlalu. Karena, sungguh tak ada proses hidup yang seluruhnya sesuai dengan setiap harapan kita, jadikan ini ladang ibadah dalam rangka mengais pahala. Bersabarlah.."

Mungkin beberapa orang mengatakan "mudah bagimu mengatakan hal yang tidak kau rasakan", betul, itu sangat betul, berkata-kata memang lebih mudah daripada melakukannya, akan tetapi, itulah gunanya teman bukan, ketika kita terjatuh dia menguatkan kita untuk bangkit, ketika kita lalai dia mengingatkan kita agar kita kembali pada rute yang benar. Itulah fungsi pertemanan.. pertemanan yang dilandasi karena cinta pada Allah. Teman yang benar-benar sayang pada temannya.

Selalu ingatlah, bahwa diluar sana, ada manusia-manusia lain yang beban kesedihannya jauuhh lebih berat dari yang kamu alami saat ini, itulah yang akan membuatmu bersyukur atas apa yang kamu alami. Mungkin awalnya kita tidak bisa menerima apa yang terjadi, tetapi lihatlah, suatu waktu kamu akan bersyukur pada Allah atas kesedihan yang kamu alami saat ini..
Karena terkadang kita menilai sesuatu itu buruk bagi kita, padahal Allah menjadikan pada hal itu kebaikan yang banyak bagi kita dan begitu pula sebaliknya.. Dan saya pernah mengalaminya..

Jadi, tersenyumlah, hadapi kehidupan ini, kehidupan ini hanya sementara dan sebentar, akan sangat tidak menyenangkan bila kita menggunakan kesempatan hidup didunia yang sebentar ini hanya untuk bersedih dan menangis.. karena, kesedihan dan tangis itu takkan mungkin mengembalikan apa yang telah terjadi dimasa lalu, akan tetapi, menangisi dosa-dosa kita mungkin bisa banyak merubah bagaimana kita dimasa depan. :)

Bukan, bukan saya menyalahkan karena kamu bersedih dan menangis, bukan,, kita manusia, dan itu adalah hal wajar yang dirasakan oleh manusia, saya hanya ingin kamu tidak terlalu larut dalam kesedihan, itu saja.. dunia ini berputar.. kadang sedih kadang juga bahagia.. karena kesenangan dan kesusahan di dunia ini adalah ujian dari Allah. Perbanyak dzikirullaah, memohon ampun pada Allah dan berdo'a kepada Allah.. karena sebenarnya hanya Allah yang mampu menghilangkan sesak dan sempit yang ada didalam dada kita.

Saya teringat untaian nasihat dari Ustadz Syafiq hafizhahullah dalam kajian beliau yang berjudul Lenteraku Mulai Padam,, beliau mengatakan :
"Kadangkala dalam kehidupan ini kita tidak akan terlepas dari musibah, tak akan bisa. Karena itu sudah taqdir Allah bagi yang hidup di dunia ini. Tertawanya akan berhenti dengan tangisan, senyumnya akan hilang. Begitu pula orang yang senantiasa susah, kelak akan hilang kesusahannya. Kesenangan dunia tidak abadi. Sebagaimana susah sulitnya hidup juga tidak abadi."

Hidup kita tidak melulu bahagia, juga tidak melulu sedih.. Mari kita coba menjalaninya dengan tidak terlalu. Tidak terlalu sedih dan tidak terlalu bahagia ^^
Dan, mari kita berlibur.... lol XD

Thursday, 28 August 2014

Paling Dicintai oleh Allah Namun Paling Diuji dengan Kesedihan...

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

كَانَ مُنْذُ فَارَقَ يُوسُفُ يَعْقُوبَ إِلَى أن التقيا، ثمانون سنة، لم يفارق في الْحُزْنُ قَلْبَهُ، وَدُمُوعُهُ تَجْرِي عَلَى خَدَّيْهِ، وَمَا عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ عَبَدٌ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ يَعْقُوبَ .
"Selama 80 tahun nabi Ya'qub berpisah dengan Nabi Yusuf hingga mereka bertemu kembali, kesedihan tidak pernah terlepas dari hati Ya'qub, sementara air mata beliau mengalir ke kedua pipi beliau. Padahal beliau orang yang paling dicintai oleh Allah di atas muka bumi (tatkala itu)." (Tafsir Ibnu Katsir 4/413)
Jika antum sering mengalami kesedihan....janganlah suudzon kepada Allah..., siapa tahu antum dicintai oleh Allah....jangan berputus asa bagaimanapun juga, sebagaimana nabi Ya'qub yang selalu berharap Allah mengembalikan nabi Yusuf kepadanya. Dan setelah 80 tahun....Allah pun mengabulkan dan mempertemukan mereka kembali.
source : Ustadz Firanda

Tuesday, 5 August 2014

Baru Talaq Satu dan Dua, Jangan Segera Berpisah, Ia Masih Istrimu!

Masih ada salah kaprah di masyarakat kita, yaitu ketika seorang suami menjatuhkan talak ra'jiy atau menceraikan istrinya. Maka statusnya langsung bukan suami istri . Maka baru saja talak terjadi dan belum habis masa iddah, semua sudah dipisahkan. Istri langsung
pulang ke rumah orang tua, barang-barang punya istri langsung diangkat dan harta langsung dipisahkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih AL-'Utsaimin rahimahullah berkata,

ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻵﻥ ﻣﻦ ﻛﻮﻥ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺇﺫﺍ ﻃﻠﻘﺖ
ﻃﻼﻗﺎً ﺭﺟﻌﻴﺎً ﺗﻨﺼﺮﻑ ﺇﻟﻰ ﺑﻴﺖ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﻓﻮﺭﺍً ، ﻫﺬﺍ
ﺧﻄﺄ ﻭﻣﺤﺮﻡ
"Manusia pada saat ini (beranggapan) status istri jika ditalak dengan talak raj'iy (masih talak satu dan dua), maka istri langsung segera pulang ke rumah keluarganya. Ini adalah kesalahan dan diharamkan." [1]

Talak satu dan dua masih bisa balik rujuk (talak raj'iy)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

ﻟﻄَّﻼﻕُ ﻣَﺮَّﺗَﺎﻥِ ﻓَﺈِﻣْﺴَﺎﻙٌ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﺃَﻭْ ﺗَﺴْﺮِﻳﺢٌ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ
"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan baik" (Al-Baqarah: 229)

Dan selama itu suami berhak merujuk kembali walaupun tanpa persetujuan istri.
Allah Ta'ala berfirman,

ﻭَﺍﻟْﻤُﻄَﻠَّﻘَﺎﺕُ ﻳَﺘَﺮَﺑَّﺼْﻦَ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻦَّ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﻗُﺮُﻭﺀٍ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞُّ
ﻟَﻬُﻦَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻜْﺘُﻤْﻦَ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﺃَﺭْﺣَﺎﻣِﻬِﻦَّ ﺇِﻥْ ﻛُﻦَّ
ﻳُﺆْﻣِﻦَّ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂَﺧِﺮِ ﻭَﺑُﻌُﻮﻟَﺘُﻬُﻦَّ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﺮَﺩِّﻫِﻦَّ ﻓِﻲ
ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺍﺩُﻭﺍ ﺇِﺻْﻠَﺎﺣًﺎ
" Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (masa 'iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa 'iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah " (Al Baqarah: 228).

Jangan segera berpisah

Suami istri bahkan diperintahkan tetap tinggal satu rumah. Demikianlah ajaran islam, karena dengan demikian suami diharapkan bisa menimbang kembali dengan melihat istrinya yang tetap di rumah dan mengurus rumahnya.
Demikian juga istri diharapkan mau ber- islah karena melihat suami tetap memberi nafkah dan tempat tinggal.

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﻨَّﻔَﻘَﺔُ ﻭَﺍﻟﺴُّﻜْﻨَﻰ ﻟِﻠْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﺇِﺫَﺍﻛَﺎﻥَ ﻟِﺰَﻭْﺟِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
ﺍﻟﺮَّﺟْﻌَﺔُ .
" Nafkah dan tempat tinggal adalah hak istri, jika suami memiliki hak rujuk kepadanya." [2]

Allah Ta'ala berfirman,

ﻟَﺎ ﺗُﺨْﺮِﺟُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﺑُﻴُﻮﺗِﻬِﻦَّ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺨْﺮُﺟْﻦَ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﺗِﻴﻦَ
ﺑِﻔَﺎﺣِﺸَﺔٍ ﻣُﺒَﻴِّﻨَﺔٍ
" Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang." QS. Ath Thalaq: 1.

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,

ﻭَﻗَﻮْﻟُﻪُ : } ﻟَﺎ ﺗُﺨْﺮِﺟُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﺑُﻴُﻮﺗِﻬِﻦَّ ﻭَﻻ ﻳَﺨْﺮُﺟْﻦَ { ﺃَﻱْ :
ﻓِﻲ ﻣُﺪَّﺓِ ﺍﻟْﻌِﺪَّﺓِ ﻟَﻬَﺎ ﺣَﻖُّ ﺍﻟﺴُّﻜْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺰَّﻭْﺝِ ﻣَﺎ
ﺩَﺍﻣَﺖْ ﻣُﻌْﺘَﺪَّﺓً ﻣِﻨْﻪُ، ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻟِﻠﺮَّﺟُﻞِ ﺃَﻥْ ﻳُﺨْﺮِﺟَﻬَﺎ، ﻭَﻟَﺎ
ﻳَﺠُﻮﺯَ ﻟَﻬَﺎ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﺍﻟْﺨُﺮُﻭﺝُ ﻟِﺄَﻧَّﻬَﺎ ﻣُﻌْﺘَﻘَﻠَﺔٌ ‏( 3‏) ﻟِﺤَﻖِّ ﺍﻟﺰَّﻭْﺝِ
ﺃَﻳْﻀًﺎ .
"Yaitu: dalam jangka waktu iddah, wanita
mempunyai hak tinggal di rumah suaminya selama masih masa iddah dan tidak boleh bagi suaminya mengeluarkannya. Tidak bolehnya
keluar dari rumah karena statusnya masih
wanita yang ditalak dan masih ada hak suaminya juga (hak untuk merujuk)." [3]

Istri yang ditalak raj'iy berdosa jika keluar
dari rumah suami

Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan,

: ﺃﻱ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﺃﻥ ﻳﺨﺮﺟﻬﺎ ﻣﻦ ﻣﺴﻜﻦ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻣﺎ
ﺩﺍﻣﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﺃﻳﻀﺎً ﺍﻟﺤﻖ
ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺇﻻ ﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﻇﺎﻫﺮﺓ؛ ﻓﺈﻥ ﺧﺮﺟﺖ ﺃﺛﻤﺖ ﻭﻻ
ﺗﻨﻘﻄﻊ ﺍﻟﻌﺪﺓ
"yaitu tidak boleh bagi suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya selama masih masa iddah dan tidak boleh bagi wanita keluar juga karena (masih ada) hak suaminya kecuali pada keadaan
darurat yang nyata. Jika sang istri keluar maka ia berdosa dan tidaklah terputus masa iddahnya." [4]

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dijelaskan,

ﺗﺄﺛﻢ ﺍﻟﻤﻌﺘﺪﺓ ﻣﻦ ﻃﻼﻕ ﺭﺟﻌﻲ ﺇﺫﺍ ﺧﺮﺟﺖ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ
ﻣﻄﻠﻘﻬﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺇﺧﺮﺍﺝ ﻟﻬﺎ ، ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺩﻋﺖ ﺇﻟﻰ
ﺧﺮﻭﺟﻬﺎ ﺿﺮﻭﺭﺓ ، ﺃﻭ ﺣﺎﺟﺔ ﺗﺒﻴﺢ ﻟﻬﺎ ﺫﻟﻚ
" Mendapat dosa jika wanita yang ditalak raj'iy jika keluar dari rumah suaminya , asalkan tidak dikeluarkan (diusir). Kecuali jika ada keperluan darurat yang membolehkannya." [5]

Semoga bisa menimbang kembali
Mengenai ayat,

ﻟَﺎ ﺗَﺪْﺭِﻱ ﻟَﻌَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤْﺪِﺙُ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﻣْﺮًﺍ
" Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru " (Ath- Thalaq: 1).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,

ﺃﻱ : ﺇﻧﻤﺎ ﺃﺑﻘﻴﻨﺎ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻓﻲ ﻣﻨﺰﻝ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻓﻲ ﻣﺪﺓ
ﺍﻟﻌﺪﺓ، ﻟﻌﻞ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻳﻨﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﻃﻼﻗﻬﺎ ﻭﻳﺨﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ
ﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ ﺭﺟﻌﺘﻬﺎ، ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﺃﻳﺴﺮ ﻭﺃﺳﻬﻞ .
"Istri yang dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di rumah suami selama masa 'iddahnya. Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada istrinya. Lalu Allah membuat hatinya untuk
kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah". [6]


Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid 11 Shafar 1434 H

Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com

___________

[1] Fatawa Asy-Syar'iyyah dinukil dari: http://islamqa.info/ar/ref/122703
[2] Hadits shahih. Riwayat An-Nasa'i (VI/144)
[3] Tafsir Ibnu katsir 8/143, Darut Thayyib,
cet. III, 1420 H, syamilah
[4] Tafsir Qurthubi 18/154, Darul Kutub Al-
Mishriyah, Koiro, cet. II, 1384 H, syamilah
[5] Fatwa Al-Lajnah 20/224 no. 9097, syamilah
[6] Tafsir Ibnu katsir 8/144, Darut Thayyib,
cet. III, 1420 H, syamilah