Monday, 31 March 2014

Keadaan Seorang Mukmin

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
“Manusia terdiri dari tiga golongan: mukmin, kafir, dan munafik.
Orang mukmin, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlakukan mereka sesuai dengan ketaatannya.
Orang kafir, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan mereka sebagaimana kalian lihat.
Adapun orang munafik, mereka ada di sini, bersama kita di rumah-rumah, jalan-jalan, dan pasar-pasar. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demi Allah, mereka tidak mengenal Rabb mereka. Hitunglah amalan jelek mereka sebagai bentuk ingkar mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh, tidaklah seorang mukmin memasuki waktu pagi melainkan dalam keadaan cemas, meski telah berbuat baik. Tidak pantas baginya selain demikian. Ia pun memasuki waktu sore dalam keadaan khawatir, meski telah berbuat baik. Sebab, dia berada di antara dua kekhawatiran:
• Dosa yang telah berlalu; dia tidak tahu apa yang akan Allah Subhanahu wa Ta’ala lakukan terhadap dosanya (apakah diampuni atau tetap dibalasi dengan azab, -red.).
• Ajal yang tersisa (dalam hidupnya); dia tidak tahu kebinasaan apa saja yang akan menimpanya pada masa yang akan datang.”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 57-58)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 95/VIII/1434 H/2013, rubrik Permata Salaf.
Artikel : atsar salaf

Pengaruh Orang Tua Terhadap Anak

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Berapa banyak orang yang mencelakan anaknya -belahan hatinya- di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 351)
Beliau rahimahullah menyatakan pula,
“Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yang bersumber dari orang tua, dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Orang tua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia. Ketika sebagian orang tua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab, ‘Wahai ayah, engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia. Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut’.” (Tuhfatul Maudud, hlm. 337)
[Diambil dari Huququl Aulad 'alal Aba' wal Ummahat, hlm. 8-9, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah]
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 96/VIII/1434 H/2013, rubrik Permata Salaf.

Sebab Penyimpangan

Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullah mengatakan,
“Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, saya telah merenungkan sebab yang mengeluarkan sekelompok orang dari as-Sunnah dan al-Jamaah, memaksa mereka menuju kebid’ahan dan keburukan, membuka pintu bencana yang menimpa hati mereka, dan menutupi cahaya kebenaran dari pandangan mereka.
Saya temukan sebabnya dari dua sisi:
1. Mencari-cari, berdalam-dalam, dan banyak bertanya yang tidak perlu (tentang masalah tertentu), yang tidak membahayakan seorang muslim kalau ia tidak tahu, serta tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin seandainya ia tahu.
2. Duduk bersama dan bergaul dengan orang yang tidak dirasa aman dari kejelekannya, yang berteman dengannya akan merusak kalbu.”
(al-Ibanah, karya Ibnu Baththah rahimahullah, 1/390)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 97/IX/1435 H/2013, rubrik Permata Salaf.
artikel : atsar salaf

Kehidupan Dunia Menurut Generasi Salaf

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari harta dengan cara baik, membelanjakannya dengan sederhana, dan memberikan sisanya.
Arahkanlah sisa harta ini sesuai dengan yang diarahkan oleh Allah. Letakkanlah di tempat yang diperintahkan oleh Allah. Sungguh, generasi sebelum kalian mengambil dunia sebatas yang mereka perlukan. Adapun yang lebih dari itu, mereka mendahulukan orang lain.
Ketahuilah, sesungguhnya kematian amat dekat dengan dunia hingga memperlihatkan berbagai keburukannnya. Demi Allah, tidak seorang berakal pun yang merasa senang di dunia. Karena itu, berhati-hatilah kalian dari jalan-jalan yang bercabang ini, yang muaranya adalah kesesatan dan janjinya adalah neraka.
Aku menjumpai sekumpulan orang dari generasi awal umat ini. Apabila malam telah menurunkan tirai kegelapannya, mereka berdiri, lalu (bersujud) menghamparkan wajah mereka. Air mata mereka berlinangan di pipi. Mereka bermunajat kepada Maula (yakni Rabb) mereka agar memerdekakan hamba-Nya (dari neraka).
Apabila melakukan amal saleh, mereka gembira dan memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut. Sebaliknya, apabila melakukan kejelekan, mereka bersedih dan memohon kepada Allah agar mengampuni kesalahan tersebut.”
[Mawa'izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 41-42]
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 94/VII/1434 H/2013, rubrik Permata Salaf.
artikel : atsar salaf

Cinta Itu Tidak Mengenal Usia

Suatu saat, ada seorang wanta lanjut usia menderita sakit. Lalu, cucunya mendatangkan dokter kerumah. Dokter melihat si nenek berdandan dan mengenakan pakaian yang berwarna warni. Dokter lalu bisa menebak sakitnya seraya mengatakan, “Nenek ini sakit karena ingin nikah.”
Cucunya terheran-heran seraya berkata, “Hah, masak sih nenek saya sudah tua begini masih ingin nikah?”
Sang Nenek lalu menjawab, “Dokter itu lebih pintar daripada kamu!!”
(Daulah Nisa’ hal.580 al Burquqi)
Kisah ini menunjukkan bahwa cinta itu tidak mengenal usia. Jadi, jangan heran jika ada orang yang sudah lanjut usia tetapi cinta kepada lawan jenisnya masih bersemi di hatinya.
Dikutip dari Majalah al Furqon Edisi 5 Tahun keduabelas, Muharram 1434, Hal.54

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Bukan Sekedar Pengakuan

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sudah sering kita dengar. Banyak orang atau kelompok yang mengaku berada di atas pemahaman/manhaj Ahlus Sunnah. Terkadang timbul konflik akibat pengakuan-pengakuan tanpa bukti semacam ini. Masing-masing merasa dirinya di atas kebenaran, sedangkan kelompok lain adalah menyimpang. Namun, yang lebih penting untuk kita kaji sekarang adalah, apakah di dalam diri kita sudah terdapat ciri-ciri Ahlus Sunnah?!

[1] Bersatu Di Atas Kebenaran

Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka memecah-belah agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan maka engkau (Muhammad) sama sekali tidak termasuk bagian mereka.” (QS. al-An’am: 159).
Allah ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan jangan berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran: 103).
Allah ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia! Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153).

[2] Kebenaran Yang Harus Kita Ikuti

Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang menaati Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan kaum yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Dan apa pun yang kalian perselisihkan maka hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10).
Allah ta’ala berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 6-7).
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)

[3] Menjunjung Tinggi Tauhid

Jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)
Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam,
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.”(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132)
Allah ta’ala berfirman,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘menaati setan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai setan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)
Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkanIyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Husain, Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)

[4] Memadukan Ilmu dan Amal

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki lalu dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

[5] Memuliakan Para Sahabat

Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18).
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan- adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)
Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul ‘Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar’ (lihatFath al-Bari [1/79]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun hadits yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadits yang lemah. al-Bazzar berkata, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 468-469)
Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihatQathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)

[6] Mengikuti Salafus Shalih, Menjauhi Bid’ah

Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. at-Taubah: 100).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah/ajaran Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih).
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam.
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Tawadhu, Akhlak Yang Sering Dilalaikan

Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallaahu ta’ala ‘anha mengatakan:
ﺇﻧﻜﻢ ﻟﺘﻐﻔﻠﻮﻥ ﻋﻦ ﺃﻓﻀﻞ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ: ﺍﻟﺘﻮﺍﺿﻊ.
Sesungguhnya kalian sungguh sangat melalaikan ibadah yang paling utama, yaitu tawadhu’“(Az-Zuhd Li Imam Wakii’ II/463, Taarikh Jurjaan: I/86).
Al-Imam Fudhai bin ‘Iyadh ketika ditanya apa yang dimaksud dengan tawadhu’, maka beliau rahimahullah berkata:
أﻥ ﺗﺨﻀﻊ ﻟﻠﺤﻖ ﻭﺗﻨﻘﺎﺩ ﻟﻪ ، ﻭﻟﻮ ﺳﻤﻌﺘﻪ ﻣﻦ ﺻﺒﻲ ﻗﺒﻠﺘﻪ ، ﻭﻟﻮ ﺳﻤﻌﺘﻪ ﻣﻦ ﺃﺟﻬﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺒﻠﺘﻪ
“(tawadhu’) adalah engkau merendah dan tunduk kepada kebenaran. Jika engkau mendengarnya dari seorang bocah engkau menerimanya, bahkan walaupun engkau mendengar kebaikan itu dari orang yang paling bodoh sekalipun engkau mau menerimanya”(Hilyatul Auliya: III/329).
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata:
ﻫﻮ ﺃﻥ ﺗﺨﺮﺝ ﻣﻦ منزلك ولا ﺗﻠﻘﻰ مسلما ﺇﻻ ﺭﺃﻳﺖ له عليك فضلا
“tawadhu’ adalah tatkala engkau keluar dari rumahmu dan tidaklah engkau menjumpai seorang muslim pun kecuali engkau menganggap dia lebih utama dibandingkan dirimu”(Al-Ihyaa’: III/28).
Ibunda kita yang mengingatkan kelalaian kita akan ibadah yang utama ini benar-benar mempraktekkan apa yang dikatakannya, ‘Uqbah Bin Shuhban al-Hunnaa’i rahimahullah mengisahkan:
Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang makna ayat: “Kemudian wariskan al-Kitab pada orang-orang yang kami pilih dari hamba-hamba kami, di antara mereka ada yg menzalimi dirinya, dan diantara mereka ada yg pertengahan dan diantara mereka ada orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan”. (QS. Faathir:32)
Beliaupun menjawab:
: ﻳﺎ ﺑﻨﻲ ، ﻫﺆﻻﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ. أﻣﺎ ﺍﻟﺴﺎﺑﻖ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮﺍﺕ ﻓﻤﻦ ﻣﻀﻰ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ، ﺷﻬﺪ ﻟﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﻭﺍﻟﺮﺯﻕ. ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﻘﺘﺼﺪ ﻓﻤﻦ ﺍﺗﺒﻊ ﺃﺛﺮﻩ ﻣﻦ  ﺻﺤﺎﺑﻪ ﺣﺘﻰ ﻟﺤﻖ ﺑﻪ. ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻈﺎﻟﻢ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻓﻤﺜﻠﻲ ﻭﻣﺜﻠﻜﻢ
“Wahai anakku , mereka semuanya merupakan ahli surga. Yang berlomba-lomba dalam kebaikan adalah mereka yang telah wafat di masa Rasulullah (hidup), mereka adalah orang-orang yang mendapat persaksian dari Rasulullah dengan kenikmatan hidup dan kebaikan rizki. Kaum pertengahan adalah mereka para shahabat Nabi yg mengikuti jejaknya hingga mereka bertemu dengannya(wafat). Adapun yang menzalimi dirinya sendiri adalah mereka adalah mereka yang seperti saya dan kamu”.(Tafsiir al-Qur’anil ‘Adziim:VI/549).
Sungguh menakjubkan, Ibunda Aisyah memasukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang mendzalimi dirinya sendiri. Padahal kita tahu beahwa beliau adalah wanita terbaik, wanita yang Allah bela kesucian dirinya dari atas langit, seorang wanita cerdas yang paling banyak meriwayatkan sunnah-sunnah kepada ummat.
Semoga Allah merahmatimu wahai As-Shiddiqah bintu as-Shiddiq. Dan semoga kami bisa meneladani keindahan akhlakmu.
**
Pangkalan Kerinci, Malam senin 22 Jumadal Uulaa 1435 H. 
Penulis: Abu Hatim Abdul Mughni as-Sundawy
Artikel Muslim.Or.Id

Friday, 28 March 2014

Karena Cinta Sejati atau Kecantikanmu Saja ?

Cinta sejati adalah cinta yang terus menghujam tertancap kuat, tidakkan kecut dengan gelegar halilintar, tidakkan tergeser sejengkal tanah dengan air bah banjir dan tidak mudah berterbangan dengan hujan badai. Ialah cinta sejati karena Allah, mencintai seseorang karena ia mencintai Allah. Inilah cinta sejati, cinta yang takkan lenyap, tetap berangkulan di dunia dan berlanjut bersanding di surga akhirat tanpa gangguan cemburu bidadari.
Cinta sejati karena agama dan akhlaknya. Jika kecantikan masa muda mulai melambaikan tangan, kekuatan tubuh mulai melepas genggamannya, maka sebaliknya agama dan akhlak mulai semakin mendekap erat dan cinta tetap bersemayam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)
Renungkan ringkasan kisah berikut, maka cinta yang sesungguhnya bukan karena kecantikan, harta dan kekayaan, tetapi cinta karena Allah.
Sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu ketika bepergian ke Syam untuk berdagang, di tengah jalan ia bertemu seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Iapun jatuh cinta sampai tahap terkena penyakit mabuk cinta. Ia sering menyebut-nyebut mama Laila dan mengarang beberapa syair. Ia sejatinya merana karena cinta.
Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa kasihan kepadanya. Kemudian umar berkata kepada panglima perang yang akan berperang ke Syam,
إن ظفرت بليلى بنت الجودي عنوة فادفعها الى عبد الرحمن بن أبي بكر
“Jika engkau menang dan mendapatkan Laila bintu Al-Judi sebagai tawanan (menjadi budak), maka serahkanlah kepada Abdurrahman bin Abi Bakar”
فظفر بها فدفعها الى عبد الرحمن وأعجب بها وآثرها على نسائه حتى شكونه إلى عائشة فعاتبته على ذلك ا
Kemudian Laila bintu Al-Judi menjadi tawanan perang dan diserahkanlah kepada Abdurrahman bin Abi Bakar, dan Abdurrahman bin Abi Bakar lebih mendahulukan (cintanya) dibandingkan istri-istrinya yang lain. Istrinya yang lain mengadu kepada Aisyah (saudara Abdurrahman bin Abi Bakar), tetapi teguran Aisyah dibalas olehnya, Abdurrahman berkata,
والله كأني أرشف بأنيابها حب الرمان
“Demi Allah, seakan-akan aku mengisap gigi-giginya yang bagaikan biji delima”(ia sangat menikmmati kecantikan dan kemolekan Laila bintu Al-Judi)
Tak lama kemudian Laila bintu Al-Judi tertimpa penyakit yang menyebabkan bibir bawahnya terjatuh (wajahnya menjadi jelek), maka Abdurrahman sering berbuat kasar kepadanya (tidak cinta lagi), kemudian Laila bintu Al-Judi mengadu kepada Aisyah maka Aisyah berkata,
فقالت له عائشة يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى فأفرطت وأبغضتها فأفرطت فإما أن تنصفها وإما أن تجهزها إلى أهله
“Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus 35/34 oleh Ibnu ‘Asakir, Darul Fikr, Beirut, 1419 H, Asy-Syamilah)
Catatan:
Seperti inilah akhir cinta hanya karena kecantikan saja, maka perhatikanlah wahai para wanita apakah laki-laki mencintaimu hanya karena kecantikan saja? Atau ia tertarik dengan agama dan akhlakmu?
Yang perlu diperhatikan juga bahwa kita tidak boleh mencela sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu, karena ada larangan mencela sahabat, setiap orang pasti punya kesalahan, sahabat juga ada yang membunuh dan ada juga yang berzina, tetapi kita tahan lisan supaya tidak mencela mereka. Para sahabat sangat banyak jasanya terhadap Islam, bahkan ia lebih baik dari orang yang mencelanya. Mereka juga ada yang sudah bertaubat dari dosa-dosa mereka, misalnya para sahabat yang dulunya kafir dan memerangi keras Islam seperti Khalid bin Walid dan Abu sufyan. Mereka semua sudah bertaubat dan menjadi lebih baik.
**

Penyusun: Raehanul Bahraen

Thursday, 27 March 2014

Download MP3 Tabligh Akbar : Andai Aku Tidak Menikah Dengannya (Al Ustadz Dr.Syafiq Reza Basalamah, MA )

Silahkan download Mp3 Tabligh Akbar : Andai Aku Tidak Menikah Dengannya
Pemateri : Al Ustadz Dr.Syafiq Reza Basalamah, MA حفيظ الله
(Dosen STDI Imam Syafi’i Jember, Lulusan Doktoral Universitas Islam Madinah)
Andai Aku Tidak Menikah Dengannya  : Download

Source : Kajian.net