Tuesday, 31 August 2010

MEMAHAMI ARTI ZUHUD

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.


Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.


Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,


عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».


Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)


Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1]


Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits


Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,

وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)

“Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)

Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ - وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ - فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!

Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia

Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.

Abu Dzar mengatakan,

الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ

“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4]

Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah (jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6]

Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas.

Pertama: Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”

Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”

Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”

Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.

Kedua: Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.

Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah,

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا

“Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma'aashiika, wa min thoo'atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi 'alainaa mushiibaatid dunyaa" (Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah.

‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah.

Ketiga: Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman.

Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.”

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga.

Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7]

Pengertian Zuhud yang Amat Baik

Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,

أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ

“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”[8]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9]

Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.

Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak

Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. ...”[10]

Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”

Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.

Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta

Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.

Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”

Ibnul Mubarok mengatakan,

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.

“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11]

Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Artikel www.rumaysho.com

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal

Diselesaikan di sore hari, 17 Jumadits Tsani 1431 H (30/05/2010), di Panggang-GK

[1] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.

[3] Idem.

[4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A'idzullah bin 'Abdullah, sedangkan 'Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)

[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh. (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 347)

[6] Jaami’ul Ulum, hal. 347.

[7] Kami sarikan point ini dengan sedikit perubahan redaksi dari Jaami’ul Ulum, hal. 347-348.

[8] Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H.

[9] Jaami’ul Ulum, hal. 350.

[10] Jaami’ul Ulum, hal. 350

[11] Siyar A'lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi’ Ya’sub (penomoran halaman sesuai cetakan).

Monday, 30 August 2010

KAIDAH PENERAPAN SUNNAH 2 ( sampaikan sunnah dan jangan di perdebatkan )

Oleh : Ustadz Muhammad Umar as-Sewed hafidzohulloh

Kaidah yang kedua dalam penerapan Sunnah adalah menyampaikan Sunnah dan tidak memperdebatkannya. Karena memperdebatkan Sunnah hanya akan membawa pada pertikaian yang berbuntut pelecehan terhadap Sunnah Nabawiyah itu sendiri. Berkata Imam Malik rahimahullah: “Perdebatan hanyalah akan membawa pada pertikaian dan menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati, serta mengeraskan hati dan melahirkan kedengkian. (Syiar a’lamin Nubala’, 8/ 106). Demikian pula dikatakan oleh Imam Syafii dan lain-lain. (Syiar A’lamin Nubala’, 10/28)

Dalam pengamalan atau penyampaian sunnah kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan dengan jelas dan bukan memperdebatkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِينُ. المائدة: 92

Dan ta’atlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (al-Maidah: 92)

Sampaikanlah Sunnah dengan menjelaskan dalil-dalilnya secara ilmiah yaitu dengan menunjukkan keshahihan haditsnya dan menjelaskan ucapan para Ulama tentang maknanya. Dengan kata lain kita hanya menegakkan hujjah (dalil/keterangan, red) dan menunjukkan kebenarannya secara riwayat dan dirayah (lihat edisi yang lalu). Adapun masalah hidayah ada di tangan Allah.


Kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk menerima hidayah. Sehingga jika ada sebagian manusia yang membantah atau memperdebatkan Sunnah setelah jelas baginya hujjah, maka itu hanyalah salah satu dari beberapa cara penolakan terhadap Sunnah. Untuk itu mereka harus kita tinggalkan dan kita tidak perlu sibuk melayaninya. Jika kita melayani mereka, maka hal itu hanyalah akan membuang-buang waktu dan tidak akan memberikan faedah sama sekali, bahkan hanya akan menimbulkan madlarat.

Allah mengancam mereka yang menolak sunnah setelah jelas baginya dengan Adzab neraka Jahanam, sebagaimaa firman-Nya:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. النساء: 115

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa’: 115)

Pada suatu hari, Imam Malik pernah ditanya oleh seorang yang bernama Haitsam bin Jamil: “Wahai Abu Abdillah (yakni imam Malik), seorang yang memiliki ilmu tentang sunnah apakah boleh dia berdebat untuk membelanya?” Imam Malik menjawab: “Jangan! Tetapi hendaklah dia menyampaikan sunnah tersebut. Jika diterima, itulah yang diharapkan; namun jika ditolak, maka diamlah”. (Jami’ Bayanul Ilmih wa Fadlihi, juz 2 hal. 94)

Demikian pula Imam Ahmad menyatakan: “Sampaikanlah sunnah dan jangan kalian memperdebatkannya”. (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, melalui nukilan Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, hal. 89)

Para ulama telah mengingatkan kaum muslimin agar mereka jangan memperdebatkan masalah agama. Yang diperintahkan kepada mereka adalah mengamalkan hal-hal yang telah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan hal-hal yang telah dilarang. Kebinasaan yang telah menimpa orang-orang sebelum kita adalah karena banyaknya perdebatan, protes dan pertentangan serta perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

مَانَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ. فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائهِمْ. متفق عليه

Apa yang aku larang, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah sebisa kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya perselisihan dan pertentangan mereka terhadap para nabinya. (HR. Bukhari Muslim)

Oleh karena itu, kewajiban bagi kita kepada umat adalah menyampaikan sunnah dengan menjelaskan keshahihan riwayatnya dan kejelasan maknanya menurut ulama salaf. Jika mereka menerima dakwah kita, kita ucapkan “Alhamdulillah”. Dan kalau mereka menolak dengan mempermasalahkan dan memperdebatkannya dengan akal dan perasaan mereka, maka tinggalkanlah!.

Jeleknya Ilmu Kalam (Filsafat)

Perdebatan terhadap nash-nash yang telah jelas datangnya dari Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. غافر: 56

Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa ilmu yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tidak akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Ghafir: 56)

Memang orang-orang yang sesat seringkali diberi oleh Allah keahlian dalam berdebat dan bersilat lidah.

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. رواه أحمد

Tidaklah sesat satu kaum setelah datangnya petunjuk kecuali setelah diberikan kepada mereka kepandaian debat. (HR. Ahmad) (Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Barjas, hal. 89)

Ilmu debat/kalam bukanlah ilmu yang bermanfaat. Bahkan sebaliknya hanya akan membawa madlarat dan kesesatan, karena ilmu kalam adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana membantah dengan akal dan permainan kata-kata. Para ulama telah memperingatkan kita dari bahaya ilmu kalam atau mantiq tersebut.

Berkata Imam Ahmad: “Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul kalam, walaupun ia membela sunnah. Karena urusannya tidak akan membawa kebaikan!” (Al-Ibanah, juz 2/540 melalui nukilan Lamu ad-Duur Minal Qaulil Ma’tsur, Syaikh Jamal Ibnu Furaihan, hal. 40)

Berkata Abdul Harits: “Aku mendengar Abu Abdillah berkata: “Jika engkau melihat seseorang menyukai ilmu kalam, maka berhati-hatilah kalian dengannya”. (Idem)

Imam Syafi’i berkata; “Barangsiapa yang bermantiq, maka dia akan jadi zindiq (sesat)”. Beliau juga berkata: “Hukumanku bagi ahlul kalam adalah dipukul dengan pelepah korma dan sandal, dikelilingkan ke kampung-kampung dan diumumkan di hadapan manusia: “Inilah balasan bagi orang-orang yang meninggalkan kitab dan sunnah dan berpaling pada ilmu kalam””. (Syarh al-Aqidatul ath-Thahawiyah, hal. 72)

Ingatlah wahai kaum muslimin, agama ini bukanlah milik para pemenang debat. Tidak mesti mereka yang menjadi pemenang dalam perdebatan adalah orang yang berada di atas kebenaran.

Dikisahkan oleh Ma’n bin Isa: “Imam Malik bin Anas rahimahullah pada suatu pernah pulang dari suatu majlis dalam keadaan beliau bertekan pada tanganku. Kemudian beliau ditemui oleh seseorang yang dipanggil dengan nama Abul Hauriyah. Orang ini termasuk orang yang sesat beraliran murji’ah.

Ia berkata: “Wahai hamba Allah, dengarkanlah dariku sesuatu. Aku ingin berbicara denganmu menyampaikan argumentasiku kepadamu dan menyampaikan pendapatku kepadamu (yakni mengajak berdebat –pent.)”.

Maka Imam Malik menjawab: “Bagaimana jika engkau bisa mengalahkanku?”

Ia berkata: “Jika engkau kalah, maka engkau harus mengikutiku”.

Imam Malik berkata lagi: “Jika datang orang ke-3 menyampaikan argumentasinya kepada kita, kemudian ia mengalahkan kita?”

Ia menjawab: “Jika kita kalah, maka kitapun mengikutinya”.

Mendengar jawaban ini, imam Malik berkata: “Wahai hamba Allah, Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan agama yang satu, tetapi aku melihat engkau berpindah-pindah dari satu agama ke agama yang lain”. Dalam riwayat yang lain: “Bukanlah agama ini milik para pemenang debat”. (Asy-Syari’ah, al-Ajurri, 64)

Wallahu a’lam.

***

Sumber : Blog Arsip Ustadz Muhammad Umar as-Sewed hafidzohulloh

Sunday, 22 August 2010

MENIKAH DI USIA MUDA, SIAPA TAKUT !

Syaikh Sholih bin Fauzan bin 'Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah-

[Faedah pertama: Hati semakin tenang dan sejuk dengan adanya istri dan anak]
Di antara faedah segera menikah adalah lebih mudah menghasilkan anak yang dapat menyejukkan jiwa. Allah Ta'ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)
Istri dan anak adalah penyejuk hati. Oleh karena itu, Allah -subhanahu wa ta'ala- menjanjikan dan mengabarkan bahwa menikah dapat membuat jiwa semakin tentram. Dengan menikah seorang pemuda akan merasakan ketenangan, oleh karenanya ia pun bersegera untuk menikah.

هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Demikian pula dengan anak. Allah pun mengabarkan bahwa anak adalah separuh dari perhiasan dunia sebagaimana firman-Nya,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. ” (QS. Al Kahfi: 46)
Anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Setiap manusia pasti menginginkan perhiasan yang menyejukkan pandangan. Sebagaimana manusia pun begitu suka mencari harta, ia pun senang jika mendapatkan anak. Karena anak sama halnya dengan harta dunia, yaitu sebagai perhiasan kehidupan dunia. Inilah faedah memiliki anak dalam kehidupan dunia.
Sedangkan untuk kehidupan akhirat, anak yang sholih akan terus memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya, sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : علم ينتفع به ، أو صدقة جارية ، أو ولد صالح يدعو له

“Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: [1] ilmu yang bermanfaat, [2] sedekah jariyah, dan [3] anak sholih yang selalu mendoakannya.”1

Hal ini menunjukkan bahwa anak memberikan faedah yang besar dalam kehidupan dunia dan nanti setelah kematian.


[Faedah kedua: Bersegera nikah akan mudah memperbanyak umat ini]

Faedah lainnya, bersegera menikah juga lebih mudah memperbanyak anak, sehingga umat Islam pun akan bertambah banyak. Oleh karena itu, setiap manusia dituntut untuk bekerjasama dalam nikah membentuk masyarakat Islami. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تزوجوا فإني مكاثر بكم يوم القيامة

“Menikahlah kalian. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.”2 Atau sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.

Intinya, bersegera menikah memiliki manfaat dan dampak yang luar biasa. Namun ketika saya memaparkan hal ini kepada para pemuda, ada beberapa rintangan yang muncul di tengah-tengah mereka.


Rintangan pertama:

Ada yang mengutarakan bahwa nikah di usia muda akan membuat lalai dari mendapatkan ilmu dan menyulitkan dalam belajar. Ketahuilah, rintangan semacam ini tidak senyatanya benar. Yang ada pada bahkan sebaliknya. Karena bersegera menikah memiliki keistimewaan sebagaimana yang kami utarakan yaitu orang yang segera menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan semacam ini dan mendapatkan penyejuk jiwa dari anak maupun istri dapat lebih menolong seseorang untuk mendapatkan ilmu. Jika jiwa dan pikirannya telah tenang karena istri dan anaknya di sampingnya, maka ia akan semakin mudah untuk mendapatkan ilmu.
Adapun seseorang yang belum menikah, maka pada hakikatnya dirinya terus terhalangi untuk mendapatkan ilmu. Jika pikiran dan jiwa masih terus merasakan was-was, maka ia pun sulit mendapatkan ilmu. Namun jika ia bersegera menikah, lalu jiwanya tenang, maka ini akan lebih akan menolongnya. Inilah yang memudahkan seseorang dalam belajar dan tidak seperti yang dinyatakan oleh segelintir orang.


Rintangan kedua:

Ada yang mengatakan bahwa nikah di usia muda dapat membebani seorang pemuda dalam mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Rintangan ini pun tidak selamanya bisa diterima. Karena yang namanya pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan) dan akan membawa pada kebaikan. Menjalani nikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan seperti ini adalah suatu kebaikan. Seorang pemuda yang menikah berarti telah menjalankan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia pun mencari janji kebaikan dan membenarkan niatnya, maka inilah yang sebab datangnya kebaikan untuknya. Ingatlah, semua rizki itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)

Jika engkau menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu. Allah Ta'ala berfirman,

نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An'am: 151)

Oleh karenanya ,yang namanya menikah tidaklah membebani seorang pemuda sebagaimana anggapan bahwa menikah dapat membebani seorang pemuda di luar kemampuannya. Ini tidaklah benar. Karena dengan menikah akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya mereka jalani. Ia bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya.


-Demikian penjelasan dari Syaikh Sholih Al Fauzan-

Sumber: http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=698
Semoga Allah memudahkan para pemuda untuk mewujudkan hal ini dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mudhorot (bahaya). Jika ingin segera menikah dan sudah merasa mampu dalam menafkahi istri, maka lobilah orang tua dengan cara yang baik. Semoga Allah mudahkan.
oleh : Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : http://www.remajaislam.com

Saturday, 21 August 2010

Apakah Benar Tidurnya Orang yang Berpuasa Adalah Ibadah?!

Apakah benar tidur orang yang berpuasa itu berpahala? Apakah benar seperti itu?
Di bulan Ramadhan saat ini, kita sering mendengar ada sebagian da’i yang menyampaikan bahwa tidur orang yang berpuasa adalah ibadah. Bahkan dikatakan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dengan penyampaian semacam ini, orang-orang pun akhirnya bermalas-malasan di bulan Ramadhan bahkan mereka lebih senang tidur daripada melakukan amalan karena termotivasi dengan hadits tersebut. Dalam tulisan yang singkat, kami akan mendudukkan permasalahan ini karena ada yang salah kaprah dengan maksud yang disampaikan dalam hadits tadi. Semoga Allah memudahkan dan menolong urusan setiap hamba-Nya dalam kebaikan.

Derajat Hadits Sebenarnya

Hadits yang dimaksudkan,

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.


Perowi hadits ini adalah ‘Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437. Dalam hadits ini terdapat Ma’ruf bin Hasan dan dia adalah perowi yang dho’if (lemah). Juga dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih dho’if
Dalam riwayat lain, perowinya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr. Haditsnya dibawakan oleh Al ‘Iroqi dalam Takhrijul Ihya’ (1/310) dengan sanad hadits yang dho’if (lemah). dari Ma’ruf bin Hasan.





Kesimpulan: Hadits ini adalah hadits yang dho’if. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).


Tidur yang Bernilai Ibadah yang Sebenarnya

Setelah kita menyaksikan bahwa hadits yang mengatakan “tidur orang yang berpuasa adalah ibadah” termasuk hadits yang dho’if (lemah), sebenarnya maknanya bisa kita bawa ke makna yang benar.


Sebagaimana para ulama biasa menjelaskan suatu kaedah bahwa setiap amalan yang statusnya mubah (seperti makan, tidur dan berhubungan suami istri) bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk melakukan ibadah. Sebagaimana An Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) mengatakan,

أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ “Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”


Jadi tidur yang bernilai ibadah jika tidurnya adalah demikian.

Ibnu Rajab pun menerangkan hal yang sama, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.” (Latho-if Al Ma’arif, 279-280)
Intinya, semuanya adalah tergantung niat. 

Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun jika tidurnya adalah tidur dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah.
 
Jadi ingatlah “innamal a’malu bin niyaat”, setiap amalan tergantung dari niatnya.
Semoga Allah menganugerahi setiap langkah kita di bulan Ramadhan penuh keberkahan. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmatnya, segala kebaikan menjadi sempurna. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam, wal hamdu lillahi robbil ‘alamin.


Rujukan:
1. As Silsilah Adh Dho’ifah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh, Asy Syamilah 
2. Latho-if Al Ma’arif fil Mawaasim Al ‘Aam minal Wazho-if, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy 
3. Syarh Muslim, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah 
4. http://www.dorar.net/enc/hadith/نوم الصائم /pt

*** 
http://www.humairoh.inef.web.id/2010/08/apakah-benar-tidurnya-orang-yang.html

Sunday, 15 August 2010

KAIDAH PENERAPAN SUNNAH 1 ( pastikan keshahihan riwayat dan makna )

Oleh : Ustadz Muhammad Umar as-Sewed hafidzohulloh

Dalam menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kita harus berhati-hati dan teliti. Dalam masalah ini kita harus memperhatikan beberapa kaidah yang telah para ulama tetapkan agar penerapan sunnah itu tidak justru berbalik memancing orang untuk mencemoohkannya, padahal hal itu diakibatkan oleh kesalahan kita dalam penerapannya.
Kesalahan tersebut dapat berasal dari dua sisi. Pertama, hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang dlaif (lemah) atau bahkan palsu. Atau pemahaman kita yang keliru terhadap hadits yang kita jadikan sebagai sandaran walaupun shahih.
Oleh karena itu kaidah pertama yang harus kita perhatikan dalam penerapan sunnah adalah memastikan kesahihan hadits dan memastikan kebenaran istinbat (pengambilan, red) hukumnya. Yang pertama diistilahkan dengan riwayah, dan yang kedua diistilahkan dengan dirayah.
Keshahihan Riwayat

Dalam penerapan sunnah kita harus memastikan kebenaran hadits tersebut dari sisi riwayatnya. Dengan demikian dengan yakin kita mengamalkan hadits yang shahih dan benar-benar merupakan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Karena hadits-hadits yang dlaif, palsu, atau mungkar atau yang sejenisnya tidak dapat dijadikan sandaran dalam seluruh amalan kita.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak boleh kita menyandarkan syariat agama ini pada hadits-hadits yang dhaif (lemah), yang tidak shahih (benar, red) ataupun tidak hasan (baik, red). (Majmu’ Fatawa juz I, hal.250)

Berkata Syaikh Zakariya bin Muhammad al-Anshari: “Jalan orang yang ingin berdalil dengan hadits dari kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab musnad, jika dia memiliki kemampuan untuk memeriksa hadits-hadits tersebut, hendaklah meneliti sanadnya (bersambung atau tidak -pent). Juga perawi-perawinya (terpercaya atau tidak) dan seterusnya. Kalau tidak mampu dan telah ada para ulama ahlul hadits yang menshahihkannya atau menghasankannya, boleh baginya untuk mengikutinya”.

Semua ucapan para ulama tersebut, membimbing kita agar jangan kita terjerumus dalam pemakaian hadits yang lemah yang akibatnya akan fatal terhadap diri kita dan terhadap dakwah. Jangan sampai kita digolongkan ke dalam orang-orang yang berdusta atas nama nabi, menyampaikan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata begini dan begitu ternyata beliau tidak pernah mengatakannya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengancam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. متفق عليه

Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)

Adapun hadits-hadits yang dlaif (lemah) tidak bisa menentukan suatu hukum apapun. Juga tidak bisa mewajibkan sesuatu atau menjadikannya mustahab (sunat) seperti ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak seorangpun dari para ulama yang menyatakan bolehnya menganggap sesuatu adalah wajib atau mustahab dengan hadits dlaif. Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka dia telah menyelisihi ijma’ dan kesepakatan para ulama!”. (Majmu’ Fatawa, 251)

Demikianlah prinsip ahlus sunnah dalam penerapan sunnah. Hal ini berbeda dengan ahlul bid’ah dari kalangan tarikat-tarikat sufi, baik yang tergabung dalam kelompok jamaah tabligh ataupun kelompok-kelompok dzikir atau dalam bentuk sosok-sosok sufi yang ditokohkan sebagai ulama. Mereka menganggap bahwa hadits dlaif dapat menjadi dalil dalam fadlailul a’mal. Sehingga buku mereka dipenuhi dengan hadits-hadits dlaif, maudlu’ (palsu) dan lainnya. Ketika ditegur mereka menjawab dengan enteng: ”Dlaif-dlaif juga merupakan hadits”. Akibatnya jelas, yaitu membawa mereka pada kesesatan dan penyimpangan.


Kebenaran Istimbath Hukum

Perkara yang kedua, jika telah dipastikan keshahihan suatu hadits, kita harus meneliti pula makna yang dimaksudkan. Kita harus benar dalam mengambil hukum (istimbath hukum) dari hadits tersebut. Tentunya, harus kita ketahui bahwa yang paling tepat dalam melakukan istimbath hukum dan penerapannya terhadap sunnah adalah generasi pertama dan utama dari umat ini, yakni dari kalangan para Shahabat Radhiallahu ‘anhum.

Jangan sampai kita keliru dalam menafsirkan atau mengambil kesimpulan terhadap hadits-hadits yang shahih tersebut. Sebagai contoh, ada sebagian kaum muslimin yang menafsirkan kalimat khuruj fie sabilillah dengan mengembara yang diistilahkan oleh syaikhul Islam dengan siyahah. Beliau menjelaskan bahwa siyahah adalah perkara kebid’ahan kaum sufi. Padahal dalam al-Qur’an dan asSunnah maksud kalimat “khuruj fie sabilillah” adalah jihad dan berperang di jalan Allah.

Untuk itu, dalam masalah istimbath kita harus merujuk kepada mereka yang telah dipastikan kebenarannya dalam penerapan Qur’an dan as-Sunnah, yaitu generasi para shahabat, sebagaimana Allah berfirman:

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. التوبة: 100

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)

Dalam ayat ini Allah meridlai tiga golongan manusia yakni kaum Muhajirin, Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (baik). Hanya merekalah yang telah mendapatkan rekomendasi dan pujian dari Allah. Hal ini menunjukkan kalau mereka telah tepat dalam menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupannya.

Karena kita bukan dari kaum Muhajirin dan bukan pula kaum Anshar, maka hendaknya kita menjadi para pengikut mereka dengan ihsan (baik, red), baik dalam memahami, istimbath hukum, menafsirkan dan ataupun penerapannya agar kita termasuk dalam golongan yang diridlai-Nya. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti mereka, berarti mereka telah menentang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan tidak mau mendengarkan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berikut:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ. متفق عليه

Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya. (HR. Bukhari Muslim)

Manusia yang terbaik adalah para shahabat, kemudian yang mengikuti mereka setelahnya (para tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (atba’ut tabi’in).
Para shahabat merupakan generasi yang telah dipastikan keimanan mereka dalam ucapan Allah Ta’ala :

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. الأنفال: 74

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah (kaum muhajirin), dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin yakni kaum anshar), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (al-Anfaal: 74)
Dengan demikian barangsiapa yang tidak mau mengikuti orang-orang yang beriman tersebut terancam dengan kesesatan di dunia dan adzab jahannam di akhirat. Allah tegaskan dalam firman-Nya:

لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. النساء: 115

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa’: 115)

Oleh karena itu barangsiapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan petunjuk, dan yang meninggalkannya terancam akan mendapatkan kesesatan.

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ . البقرة: 137

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 137)

Dalam ayat ini yang dimaksud kata ganti orang kedua yaitu “kalian” dalam ucapan Allah: “Jika mereka beriman seperti kalian beriman” adalah para shahabat. Artinya, jika mereka beriman seperti para shahabat beriman, maka dia akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan lurus. Namun sebaliknya jika mereka tidak mau mengikuti para shahabat, mereka akan terus berada dalam pertikaian dan perselisihan, menyimpang dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam kesesatan dan kebid’ahan.

Para perusak Sunnah


Mereka yang menyelisihi kaidah pertama dalam penerapan sunnah ini bukanlah orang yang termasuk menghidupan sunnah, tetapi justru mematikan sunnah. Karena mereka yang memakai hadits-hadits dlaif, maudlu’, palsu, dan sejenisnya justru menjatuhkan martabat sunnah nabawiyah. Karena riwayat-riwayat yang mungkar dan palsu tersebut adalah buatan manusia biasa yang banyak mengandung kesalahan, kekurangan atau sebaliknya mengandung ekstrimitas dan berlebih-lebihan. Dan semua penyimpangan tersebut diatas namakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Demikian pula yang tidak memahami hadits-hadits nabi dengan pemahaman para shahabat niscaya yang terjadi justru kesesatan pula. Dengan demikian menyalahi kaidah pertama ini konsekwensinya adalah terjerumus dalam kebid’ahan dan kesesatan.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidla’ Sirathil Mustaqiem Fie Mukhalafati Ashhabil Jahim menyatakan bahwa golongan yang mematikan sunnah ada dua jenis: Pertama, yang tidak mau mengamalkan sunnah; Kedua, mereka yang menambah-nambahinya dengan perkara baru. Yakni mereka yang menambahi sunnah dengan perkara baru, pemahaman baru, cara istimbath hukum yang baru atau hadits-hadits baru (yakni hadits yang maudlu’ dan palsu) secara tidak sadar mereka juga ikut membantu mematikan Sunnah Nabawiyah. Dengan kata lain menerapkan sunnah tidak dengan kaidah sunnah adalah justru menghancurkan dakwah Sunnah.


***
Sumber : Blog Arsip Ustadz Muhammad Umar as-Sewed hafidzohulloh